You are currently viewing No Pork, No Lard, Belum Tentu Halal

No Pork, No Lard, Belum Tentu Halal

Sertifikasi halal merupakan bahan pertimbangan utama bagi kaum muslim untuk memilih produk. Karena, tidak semua produk konsumsi yang beredar di pasaran memenuhi kategori halal sebagaimana yang di syariatkan agama Islam. Pun saat tercantum tulisan No Pork, No Lard, tak menjamin kehalalan produk di tempat itu. Sebab, tidak semua produk yang beredar wajib bersertifikasi halal.

Maka dari itu, perusahan atau produsen perlu memahami mana saja yang termasuk kategori produk yang wajib bersertifikasi halal untuk mendukung keberlangsungan bisnisnya.

Produk Wajib Bersertifikat Halal

Mengacu kepada aturan dalam Pasal 68 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2019, produk yang wajib mempunyai sertifikat halal pada dasarnya terdiri atas dua jenis, yaitu barang dan jasa.

Berikut ini adalah barang yang harus bersertifikasi halal, seperti:

  • Makanan dan minuman;
  • Obat;
  • Kosmetik;
  • Produk kimiawi;
  • Produk biologi;
  • Produk rekayasa;
  • Barang gunaan yang di pakai, di gunakan, atau di manfaatkan (barang yang di maksud adalah barang yang berasal dari dan/ atau mengandung unsur hewan, baik penggunaannya adalah untuk sandang, aksesori, peralatan rumah tangga, kemasan makanan dan minuman, alat tulis dan perlengkapan kantor, hingga perlengkapan yang di manfaatkan sebagai alat kesehatan).

Jasa Bersertifikasi Halal

Sedangkan jasa yang harus bersertifikasi halal, yaitu:

  • Penyembelihan;
  • Pengolahan;
  • Penyimpanan;
  • Pengemasan Pendistribusian;
  • Penjualan;

Kewajiban melabeli produk dengan sertifikat halal merupakan upaya pemerintah untuk melindungi masyarakatnya, terutama kaum muslim, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan yang di syariatkan oleh agama.

Jika di tinjau dari aspek bisnis, sertifikasi produk pun dapat menjadi faktor yang mendukung pertumbuhan usaha karena akan mendorong kepercayaan masyarakat sehingga membeli produk tersebut.

Di Indonesia lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal suatu produk adalah LPPOM MUI. Sertifikat Halal yang dimiliki oleh setiap produsen pangan merupakan cara konsumen muslim mendapatkan jaminan bahwa produk yang di konsumsinya adalah halal.

Terdapat 11 kriteria jaminan halal yang wajib di penuhi oleh perusahaan yang ingin memperoleh sertifikat halal untuk produknya:

1. Kebijakan Halal

Suatu langkah yang merupakan komitmen, di buat oleh perusahaan secara tertulis untuk menghasilkan produk halal secara konsisten. Kebijakan ini, harus di tetapkan dan di sosialisasikan kepada pihak yang berkepentingan.

2. Tim Manajemen Halal

Tim manajemen halal merupakan sekelompok orang yang bertanggung jawab terhadap perencanaan, implementasi, evaluasi dan perbaikan sistem jaminan halal di perusahaan.

Manajemen puncak harus menetapkan tim manajemen halal dengan di sertai bukti tertulis. Tanggung jawab tim manajemen halal harus di uraikan dengan jelas. Manajemen puncak harus menyediakan sumber daya yang di perlukan oleh tim manajemen halal.

3. Pelatihan

Pelatihan adalah kegiatan peningkatan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitude) untuk mencapai tingkat kompetensi yang di inginkan. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan pelatihan.

Pelatihan harus diberikan oleh personel yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, implementasi, evaluasi dan perbaikan sistem jaminan halal sesuai dengan persyaratan sertifikasi halal Hasil pelatihan internal harus dievaluasi untuk memastikan kompetensi peserta pelatihan.

4. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi produk yang di sertifikasi tidak boleh berasal dari bahan haram atau najis. Bahan-bahan tersebut mencakup:

  • bahan baku (raw material), yaitu bahan utama untuk menghasilkan produk;
  • bahan tambahan (additive), yaitu bahan tambahan untuk meningkatkan sifat produk;
  • bahan penolong (processing aid), yaitu bahan yang digunakan untuk membantu produksi tetapi tidak menjadi bagian dari komposisi produk (ingredient);
  • kemasan yang kontak langsung dengan bahan dan produk;
  • pelumas/greases yang digunakan untuk mesin dan mungkin kontak langsung dengan bahan dan produk;
  • sanitizer dan bahan pembersih untuk sanitasi fasilitas/peralatan yang menangani bahan dan produk;
  • media validasi hasil pencucian yang kontak langsung dengan produk.

Bahan di kelompokkan menjadi dua, yakni bahan tidak kritis (bahan-bahan yang termuat di dalam Daftar Bahan Positif Halal) dan bahan kritis (bahan-bahan yang tidak termasuk di dalam Daftar Bahan Positif Halal). Apabila menggunakan bahan kritis, maka perusahaan wajib melengkapinya dengan dokumen pendukung yang cukup.

5. Fasilitas Produksi

Fasilitas produksi mencakup bangunan, ruangan, mesin dan peralatan utama serta peralatan pembantu yang di gunakan untuk menghasilkan produk.

Tiga jenis fasilitas produksi dalam 11 kriteria jaminan halal yang perlu mendapat perhatian khusus, yaitu industri olahan pangan, obat, dan kosmetik, Rumah Pemotongan Hewan (RPH), dan dapur/katering/restoran.

Industri Olahan Pangan, Obat-obatan, Kosmetika

  • Semua pabrik, baik milik sendiri dan di sewa dari pihak lain, untuk menghasilkan produk yang didaftarkan dan dipasarkan di Indonesia harus didaftarkan;
  • Produksi halal dapat di lakukan di halal dedicated facility atau sharing facility;
  • Fasilitas pendingin (chiller/refrigerator dan freezer) yang digunakan untuk menyimpan bahan dari bagian tubuh hewan sembelihan dan produk olahannya, harus halal dedicated;
  • Fasilitas selain yang di sebutkan pada point c) di atas dapat bersifat sharing facility. Jika produksi halal dilakukan di sharing facility, maka semua fasilitas yang kontak langsung dengan bahan atau produk harus bersifat bebas bahan babi dan turunannya (pork/porcine free);
  • Untuk sharing facility pada point d) di atas, perusahaan perlu menjamin fasilitas dibersihkan terlebih dahulu saat pergantian produksi dari produksi produk yang tidak disertifikasi ke produksi produk yang disertifikasi apabila terdapat bahan turunan hewan (selain babi) untuk produk yang tidak disertifikasi.

Restoran/Katering/Dapur

  • Semua dapur, gudang dan outlet yang di gunakan untuk menghasilkan produk, baik milik sendiri atau di sewa dari pihak lain, harus di daftarkan.
  • Fasilitas berikut harus bersifat halal dedicated facility:
    1. Outlet restoran;
    2. Fasilitas pendingin(chiller/refrigerator dan freezer) di dapur atau di gudang di luar outlet yang digunakan untuk menyimpan daging atau produk olahannya.
  • Fasilitas selain yang di sebutkan pada point di atas dapat bersifat sharing facility. Jika digunakan sharing facility, maka semua fasilitas yang kontak langsung dengan bahan atau produk harus bersifat bebas babi (pork free).

Rumah Potong Hewan (RPH)

  • Fasilitas RPH hanya di khususkan untuk produksi daging hewan halal (tidak bercampur dengan pemotongan untuk hewan yang haram untuk di makan – halal dedicated facility);
  • Lokasi RPH harus terpisah secara nyata dari RPH/peternakan babi, yaitu RPH tidak berlokasi dalam 1 site dengan RPH babi, tidak bersebelahan dengan site RPH babi, dan berjarak minimal radius 5 km dari peternakan babi, serta tidak terjadi kontaminasi silang antara RPH halal dan RPH/peternakan babi;
  • Jika proses deboning di lakukan di luar RPH tersebut (misal: Unit Penanganan Daging), maka harus di pastikan karkas hanya berasal dari RPH halal;
  • Alat penyembelih harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (i) Tajam; (ii) Bukan berasal dari kuku, gigi/ taring atau tulang; (iii) Ukuran di sesuaikan dengan leher hewan yang akan di potong; dan (iv) Tidak di asah di depan hewan yang akan di sembelih. Untuk alat penyembelih mekanis, harus memenuhi persyaratan penyembelihan halal.

6. Produk

Perusahaan harus memberi nama produk sesuai dengan panduan penamaan produk yang di tetapkan. Selain itu, produk tidak boleh:

  • Mempunyai kecenderungan atau kemiripan bau maupun rasa yang mengarah pada produk haram; dan
  • Menggunakan bentuk produk, bentuk kemasan, maupun label yang menggambarkan sifat vulgar, erotis, maupun porno.

Jadi, berdasarkan penamaan, produk yang tidak dapat disertifikasi halal adalah nama produk yang mengandung nama minuman keras, mengandung nama babi dan anjing serta turunannya (meskipun bahan yang digunakan halal), mengandung nama setan, yang mengarah pada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan, serta mengandung kata-kata berkonotasi erotis, vulgar, dan/atau porno.

PENTING untuk memberi penamaan produk yang baik. Karena dalam Islam, selain kehalalan di perhatikan juga keberkahan dari makanan yang di makan. Khusus untuk produk retail, jika suatu produk dengan merk/brand tertentu di daftarkan, maka semua varian atau produk lain dengan merk/ brand yang sama yang di pasarkan di Indonesia harus di daftarkan.

7. Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis

Aktivitas kritis adalah aktivitas yang dapat mempengaruhi status kehalalan produk. Secara umum, aktivitas kritis mencakup:

  • Penggunaan bahan baru untuk produk yang sudah di sertifikasi;
  • Formulasi dan pengembangan produk;
  • Pemeriksaan bahan datang;
  • Produksi;
  • Pencucian fasilitas produksi;
  • Penyimpanan bahan dan produk;
  • Transportasi bahan dan produk.

Ruang lingkup aktivitas kritis dapat bervariasi sesuai dengan proses bisnis perusahaan. Prosedur tertulis dapat berupa SOP (Standard Operating Procedure), instruksi kerja atau bentuk panduan kerja yang lain. Prosedur tertulis ini dapat di gabungkan dengan dengan prosedur sistem lain yang di terapkan perusahaan.

8. Kemampuan Telusur

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis yang menjamin ketertelusuran produk yang di sertifikasi yang menjamin produk tersebut dapat di telusuri berasal dari bahan yang di setujui LPPOM MUI dan di produksi di fasilitas yang memenuhi kriteria fasilitas.

9. Penanganan Produk Yang Tidak Memenuhi Kriteria

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis menangani produk yang tidak memenuhi kriteria yang menjamin produk yang tidak memenuhi kriteria tidak di proses ulang atau di-downgrade dan harus di musnahkan atau tidak di jual ke konsumen yang membutuhkan produk halal. Jika produk sudah terlanjur di jual, maka produk harus di tarik.

10. Audit Internal

Audit internal di lakukan oleh auditor internal yang independen dan kompeten. Hasil audit internal di sampaikan ke LPPOM MUI dalam bentuk laporan secara berkala.

Jika di temukan kelemahan (tidak terpenuhinya kriteria) dalam audit internal, maka perusahaan harus mengidentifikasi akar penyebabnya dan melakukan perbaikan. Perbaikan harus di lakukan dengan target waktu yang jelas dan harus mampu menyelesaikan kelemahan serta mencegah terulangnya di masa yang akan datang.

11. Kaji Ulang Manajemen

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis kaji ulang manajemen. Kaji ulang manajemen harus di lakukan setidaknya sekali dalam setahun. Kaji ulang manajemen di maksudkan untuk menilai efektivitas penerapan sistem jaminan kehalalan dalam perusahaan tersebut berikut merumuskan perbaikan berkelanjutan.

Demikianlah 11 kriteria jaminan halal yang di tetapkan oleh LPOM MUI. Untuk informasi detail dapat di lihat pada website halal MUI.

Salam Dyarinotescom


This Post Has One Comment

Tinggalkan Balasan