You are currently viewing Cancel Culture, Cara Cepat Melunturkan Reputasi

Cancel Culture, Cara Cepat Melunturkan Reputasi

Reputasiku kian hari kian membaik. Berjuang membangun era positif dimana kami ingin dikenal dimata masyarakat. Tapi kini semua hancur. Mereka melakukannya. Secara masif menyingkirkan karena menganggap kami salah. “Boikot mereka!”. Sanksi sosial yang menjadi budaya. Cancel Culture.

Sedikit lebih mudah memperbaiki nurani yang jelek, daripada mengatasi reputasi yang buruk. Buruk karena diperburuk oleh desas desus suara dinding yang berkuping. Terus menerus menjadi kebiasaan.

“Budaya Boikot!”. Mereka berbisik-bisik dan mengatakan hal buruk tentang kami. Mungkin kami salah. Tapi ini terlalu berlebihan dan merusak ‘sesuatu’ yang kami bangun selama bertahun-tahun. Dukungan yang dulu bagai udara segar, kini sesak dengan kotornya polusi fitnah. Apa yang kami katakan kini dianggap dusta. Semua yang kami perbuat kalian anggap pansos.

[INSERT_ELEMENTOR id=”18561″]

Cancel Culture Is Back

Cancel Culture Is Back, istilah yang ‘mereka’ gunakan untuk menggambarkan sebuah fenomena di mana ‘satu pihak’ di berikan sanksi sosial secara massal dengan menarik dukungan “boikot” karena dianggap telah melakukan kesalahan. Mengatakan sesuatu yang tidak pantas atau menyinggung, misalnya.

Fenomena ini sering terjadi di media sosial, di mana orang-orang dapat cepat dan mudah menyebarkan informasi dan membentuk opini buruk. Publik mejadi hakim keadilan. Pertama kali ini digunakan pada tahun 2010-an, tetapi kembali menjadi senjata andalan beberapa tahun kemudian. Perwujudan dari Kampanye Penolakan. #SuaraBerbisik.



Mengapa Bisa Terjadi

Namanya salah yang tetap saja salah. Lalu, bagaimana bisa terjadi?

Ini dikarenakan meningkatnya kesadaran akan isu-isu sensitif, seperti: rasisme, diskriminasi, dan kekerasan seksual. Masyarakat menuntut keadilan dari ‘tindakan atau perkataan’ yang diperbuat institusi, pesohor, tokoh, atau perusahaan. “Anda dinyatakan bersalah!”. Ping, Ping, Pong.

Maka Ini Terjadi.

Ada banyak kejadian cancel culture yang bisa kita jadikan contoh. Seorang tokoh yang kehilangan pekerjaan ketika dengan sombongnya membuat komentar rasis di media sosial, misalnya. Ini sesuatu yang sangat di benci masyarakat. Masyarakat memang tidak mempunyai kuasa untuk menindak secara langsung, Boikot menjadi gerakan yang paling bisa di gunakan. “Cancel!” Dan langsung saja bagai terjun ke jurang tuh si Buyan.

Ada juga ketika satu perusahaan kehilangan banyak pelanggan setelah diketahui menggunakan tenaga kerja anak di bawah umur atau produk gagal. Masih untung tidak di demo. Penggunaan tenaga kerja anak adalah pelanggaran hukum. Pelanggaran norma sosial. Pastinya merasa kecewa dan marah jika mengetahui hal tersebut dan hanya mementingkan keuntungan.

Sebuah program televisi juga bisa ‘diboikot’ setelah salah satu pemerannya dituduh melakukan pelecehan seksual. Kasus pelecehan seksual di industri hiburan menjadi perhatian publik yang serius. karena tidak ingin ‘dikait-kaitkan’ dengan perilaku yang tidak pantas, program langsung menghentikannya. Media juga ingin melindungi diri dari para penjahat kelamin.



Mereka Melunturkan Reputasiku

Cancel culture telah menjadi topik perdebatan yang kontroversial. Banyak orang yang mendukung cancel culture sebagai cara untuk mendorong kepedulian sosial dan meningkatkan kesadaran akan isu-isu penting. Namun, ada juga yang mengkritik cancel culture sebagai bentuk persekusi dan penyensoran.

Cancel culture bukan main efeknya.

Pastinya kamu gemar dengan program “The Cosby Show” kisaran tahun 1984 s/d 1992. Komedi situasi populer yang dibintangi Bill Cosby, di batalkan setelah Cosby di tuduh melakukan pelecehan seksual oleh puluhan orang. Ia didakwa melakukan pemerkosaan dan serangan seksual, dan di nyatakan bersalah pada tahun 2018.

Siapa yang tidak tahu dengan Charlie Sheen dalam “Two and a Half Men” di tahun 2003-2015. Komedi situasi populer ini di batalkan setelah Sheen membuat komentar yang menghina dan mengancam terhadap produser serial tersebut. Sheen kemudian di pecat dan dia di gantikan oleh Ashton Kutcher.



Ada yang Mendukung dan Ada juga yang Menolak

Banyak orang mendukung ‘Budaya Cancel’ ini sebagai bagian dari penindakan dari rasa keadilan. Tapi banyak juga lho yang menolak dan kurang setuju dengan cara-cara semacam ini. Walupun nyatanya kita tahu bahwa itu di gunakan untuk berbagai kepentingan.

Cancel culture di anggap mendorong perubahan sosial dengan memaksa para pihak untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Ini sebagai bentuk dari suara kelompok-kelompok yang terpinggirkan. – Suara rakyat jelata. Yaitu satu cara untuk dapat meningkatkan kesadaran akan isu-isu penting, seperti: diskriminasi, kekerasan seksual dan rasisme.

Jika ini diprakarsai oleh kompetitor apakah bisa di benarkan? Tentunya tidak. Cancel culture dapat menjadi bentuk persekusi dan penyensoran. Budaya ini bisa menjadi bentuk fitnah jika di dasarkan pada informasi yang salah atau tidak lengkap, sebagai bentuk peralihan tentang isu-isu penting lainnya.




Pemahaman Tentang fakta dan konteks

Cancel culture di pahamai sebagai fenomena yang kompleks dengan warna yang tidak selalu hitam dan boleh jadi putih. Ada banyak bait-bait yang dapat memengaruhi “apakah seseorang itu bersalah atau tidak?”. Penting bagi kita untuk mendapatkan pemahaman fakta, konteks, jenis tuduhan yang di buat, dan reaksi publik terhadap tuduhan tersebut.

Pertimbangkan menilai satu demi satu kebenaran. Sifat tuduhan seperti apa? Serius atau tidak, dan apakah itu merupakan tuduhan secara pribadi atau publik. Pamahi juga, apakah yang bersangkutan memiliki motif tertentu? Bisa jadi ia mempunyai bukti untuk mendukung tuduhannya.

Paling penting sekali yaitu apakah orang tersebut mengakui tuduhan dan meminta maaf atas tindakannya. Dan apakah publik mau percaya, seraya mendukung pembatalan orang yang dituduh? Semua tergantung pada publik yang menilai. Nilai dari catatan harian Dyarinotescom.




Catatan Harian

Kurang bijak jika kita masyarakat di jadikan sebagai alat pemukul atas kepentingan yang ingin menghancurkan reputasi satu pihak. Membangun reputasi itu tidak mudah. Perlu waktu bertahun-tahun membentuk opini dan kepercayaan masyarakat. Tapi walaupun begitu, tidak adil rasanya jika satu pihak dengan sewenang-wenangnya melakukan kejahatan verbal, rasisme dan kekerasan seksual, dengan tengil berkata “Aku memiliki imunitas”.

Hukum tetaplah hukum. Di buat untuk mengadili yang bersalah atau yang di anggap telah bersalah. Di lakukan dengan atau tanpa instrumen Negara. Supremasi hukum dan peran pengadilan menjadi sorotan, walaupun rasa benci bukan menjadi bukti, tapi reputasi menjadi taruhannya. Makanya jangan biarkan penjahat bergabung. Salah-salah kamu akan ikut terbawa dan di anggap “tenyata kamu juga sama”.

Pada akhirnya, apakah cancel culture merupakan fenomena yang positif, negatif masih menjadi perdebatan yang belum terselesaikan. Tapi untuk hari ini cukup kami selesaikan dengan catatan kami.

Salam Dyarinotescom.

Tinggalkan Balasan