Ada Apa dengan Kepala? ❎, Ada Apa dengan Kelapa? ✅

You are currently viewing Ada Apa dengan Kepala? ❎, Ada Apa dengan Kelapa? ✅

Mungkin kita lebih sering mendengar ungkapan “ada apa dengan kepala” yang menyiratkan kebingungan atau masalah di benak seseorang. Namun, kali ini mari kita kesampingkan sejenak urusan “isi kepala” dan fokus pada “isi kelapa” yang ternyata menyimpan segudang manfaat dan kisah menarik.

Buah yang satu ini bukan hanya sekadar penghias es campur atau bahan dasar santan doang, lho! Lebih dari itu, kelapa (coconut) adalah superfood alami yang sayangnya, tingkat keberadaannya kini terasa makin “mencelos” seiring dengan tingginya permintaan pasar.

Dari ujung daun hingga sabutnya, dari atas hingga bawah, hampir semua bagian pohon kelapa memiliki nilai guna. Air kelapa yang menyegarkan bak “booster” alami, daging buahnya yang gurih kaya serat, minyak kelapa yang kini jadi primadona di dunia kesehatan dan kecantikan, hingga batok dan sabutnya yang bisa diolah menjadi berbagai produk bernilai ekonomi.

Tak heran jika kelapa dijuluki sebagai “Tree of Life” di banyak budaya tropis. Namun, di balik segudang manfaat dan popularitasnya yang kian “meroket”, tersimpan tantangan besar terkait ketersediaannya.

Supply vs Demand

 

Si “Emas Hijau” yang Kian Diburu

Permintaan kelapa dan produk turunannya di pasar global memang sedang “on fire”. Kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat dan tren penggunaan bahan-bahan alami mendongkrak popularitas minyak coconut murni (VCO), santan organik, hingga air kelapa kemasan. Industri kosmetik dan makanan pun tak mau ketinggalan memanfaatkan keajaiban coconut dalam berbagai produknya. Alhasil, permintaan kelapa segar dan olahannya terus meningkat tajam.

Sayangnya,

Peningkatan permintaan ini tidak selalu diimbangi dengan ketersediaan pasokan yang memadai. Beberapa faktor menjadi penyebabnya, mulai dari alih fungsi lahan perkebunan kelapa menjadi area pemukiman atau industri, hingga usia pohon kelapa yang sudah tua dan kurang produktif.

Belum lagi,

Tantangan dari sisi budidaya yang membutuhkan waktu dan perhatian khusus. Akibatnya, harga coconut di pasaran pun tak jarang ikut “terbang”, membuat sebagian masyarakat harus berpikir dua kali untuk menikmati manfaatnya.

Sepanjang tahun 2024, panggung ekspor coconut bulat mencatatkan angka fantastis, mencapai 431.915 ton berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan. Tren positif ini berlanjut di awal tahun 2025, di mana dalam dua bulan pertama saja, tak kurang dari 71.000 ton kelapa bulat telah berlayar ke mancanegara.

Legit-nya: Negeri Tirai Bambu menjadi “pemain utama” dengan menyerap sekitar 68.000 ton dari total ekspor tersebut.

 

Ekspor Kelapa: Antara Peluang dan Tantangan

Salah satu pasar ekspor coconut yang cukup menggiurkan tentu saja Tiongkok. Dengan populasi yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, Tiongkok menjadi “ladang basah” bagi komoditas kelapa. Berbagai produk turunan kelapa, hingga produk makanan dan minuman berbahan dasar ‘coconut’ memiliki potensi pasar yang sangat besar di sana.

Namun, menembus pasar Tiongkok juga bukan jalan toll sekali bayar. Persaingan dengan negara-negara produsen coconut lainnya, standar kualitas produk yang ketat, hingga regulasi ekspor-impor yang masih ‘jelimet’ menjadi beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Notes-nya: Perlu berbenah diri, meningkatkan kualitas produk, menjaga kontinuitas pasokan, serta memahami seluk beluk pasar dunia agar dapat memanfaatkan peluang ini secara optimal.

Golden Ticket?

Yaa! Ini adalah jendela terbuka sekaligus epic comeback bagi anak muda yang punya passion untuk terjun ke dunia perdagangan komoditas kelapa. Bayangkan saja, dengan demand setinggi langit, bukan hanya China yang ngebet dengan si ‘emas hijau’ ini, tapi juga negara-negara lain yang sadar betul akan segudang manfaatnya.

Di tengah situasi serba-chaos pasokan kelapa global akibat climate change dan kebijakan proteksionis, coconut Indonesia justru tampil sebagai the next big thing. Namun, kesuksesan ekspor ini bagai standart ganda, membawa konsekuensi serius bagi ketersediaan di dalam negeri.

Sebut saja Kepulauan Riau, misalnya, yang meskipun bukan sentra produksi, namun memiliki industri pengolahan kelapa yang bejibun, kini ‘hanya mampu’ mencukupi sekitar 60 persen kebutuhan bahan baku hariannya.

Alhasil, hukum ekonomi supply and demand pun bicara, kelangkaan ini memicu harga yang auto-naik di tingkat hilir, di mana konsumen di Jakarta harus merogoh kocek lebih dalam, bahkan lebih dari empat kali lipat harga di tingkat petani Riau pada April 2025.

 

Saatnya “Move On” Bukan Pilihan, Tapi Keharusan

Saatnya kita move on dari praktik-praktik eksploitatif yang hanya mengejar keuntungan sesaat tanpa mempedulikan regenerasi dan keseimbangan ekosistem coconut. Kita perlu upgrade cara pandang terhadap kelapa, bukan hanya sebagai komoditas ekspor semata, tetapi juga sebagai aset yang harus di jaga kelestariannya.

Ini adalah momentum yang tepat untuk reboot sektor perkebunan ‘coco’ kita. Peremajaan pohon coconut yang sudah uzur, penerapan teknik budidaya yang ramah lingkungan, dan pemberdayaan petani melalui pendampingan dan akses teknologi adalah beberapa langkah next level yang perlu segera di implementasikan.

Selain itu, inovasi dalam pengolahan kelapa juga menjadi kunci. Kita juga perlu dalam menciptakan produk-produk turunan coconut yang memiliki nilai tambah tinggi, tidak hanya untuk pasar ekspor, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan domestik yang semakin meningkat. Kita tidak hanya mengamankan pasokan kelapa, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ini bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.

Jika kita tidak gercep dalam ‘mengambil posisi’, bukan tidak mungkin generasi mendatang hanya akan mengenal ‘coconut’ dari buku cerita. Jadi, bukan hanya bicara soal “ada apa dengan kelapa”, tapi juga berlari untuk memastikan kelapa tetap menjadi bagian penting dari kehidupan kita kini dan nanti.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan