Pernah merasa lagi di puncak performa, ide melimpah ruah panen raya, dan semangat kerja lagi membara? Eh, tetiba ambruk “Gubrakkk!🥴” begitu saja gara-gara omongan atasan yang berubah-ubah kayak filter Instagram? Hari ini bilang A, besok jadi Z, lusa entah jadi huruf apa lagi. Rasanya kayak lagi main tebak-tebakan, tapi hadiahnya cuma sakit hati dan deadline yang mepet. Jujur saja deh, pasti ada di antara kita disini yang pernah atau bahkan sedang merasakan sensasi campur aduk ini.
Plus (+)
Parahnya, seringkali kita tanpa sadar kalau kelakuan atasan yang mencla-mencle ini bukan sekadar “ketidak-tegasan” biasa. Ada udang di balik bakwan, ada maksud tersembunyi di balik janji-janji manis yang menguap begitu saja. Jangan kaget kalau ternyata, kita cuma dijadikan tumbal dalam drama operasional mereka.
Iya, tumbal! Tumbal proyek, tumbal deadline, bahkan tumbal biar atasan terlihat paling bersinar di mata bosnya lagi. Geli, kan?
Atasan Mencla-Mencle? Kenali Ciri-Cirinya Biar Gak Terjebak!
Nah, kalau sudah merasa geli dan curiga, yuk kita bongkar tuntas ciri-ciri atasan yang mencla-mencle dan suka memanfaatkan karyawannya. Ini bukan sekadar omongan asal, tapi kenyataan pahit yang sering dialami banyak orang tanpa mereka sadari.
Siap-siap melongo, ya! Ngoooooookkk
Pertama, perhatikan deh, atasanmu sering banget kasih arahan yang enggak jelas. Hari ini minta laporan warna biru, besok minta yang template-nya kuning, padahal isinya sama persis. Atau, dia sering bilang “nanti saya pikirkan”, “kita lihat nanti ya”, tapi ujung-ujungnya keputusan diambil mendadak dan kita yang harus kejar setoran. Ini bukan fleksibel, ini namanya gak punya rencana matang alias “kosong!”, dan kamu yang jadi korban dadakan.
Kedua, mereka jago banget dalam hal melempar bola panas. Misalnya ada project yang kacau balau, dia bakal langsung menunjukmu sebagai penanggung jawab utama, padahal sejak awal arahannya aja udah gak jelas. Begitu ada masalah, dia cuci tangan dan kamu yang harus membersihkan kekacauan itu. Mereka seolah bilang, “ini tanggung jawabmu!” padahal itu adalah konsekuensi dari ketidakjelasan arahannya sendiri.
Ketiga, hati-hati sama atasan yang suka janji manis tapi nihil bukti. Misalnya, menjanjikan promosi atau kenaikan gaji kalau project ini berhasil, tapi setelah berhasil, boro-boro realisasi, yang ada cuma pujian kosong. Atau, menjanjikan training keren, tapi pas hari H selalu ada alasan dadakan yang bikin training itu batal. Mereka cuma mau motivasi kita, tapi enggak berniat kasih benefit nyata.
Terakhir, mereka sering menggunakan narasi “kita” tapi ujung-ujungnya “aku”. Saat ada keberhasilan, dia akan bilang “kita sukses karena kerja keras saya.” Tapi saat ada kegagalan, dia akan bilang “kalian kurang maksimal.” Ini adalah ciri khas atasan yang narsis dan hanya ingin menikmati hasil jerih payahmu tanpa mau berbagi tanggung jawab. Duh, pengen banget rasanya bilang, “Sadar dong, Anjeeeeng!”
Stop Jadi “Bucin” Atasan Mencla-Mencle! Jangan Sampai Skill-mu Sia-Sia! Begini Caranya:
Setelah mengenali ciri-ciri atasan yang mencla-mencle dan doyan memanfaatkan, sekarang saatnya kita move on dari posisi “bucin” yang cuma jadi tumbal. Jangan sampai skill dan potensi emas yang kamu punya jadi sia-sia cuma buat menyenangkan hati atasan yang plin-plan.
Saatnya bertindak! Ini dia beberapa jurus ampuh untuk menghadapi mereka, katakan:
1. “Silent Quitting”: Bekerja Sesuai Porsi, Bukan Ekspektasi Kosong!
Pertama, mulailah dengan konsep “silent quitting”. Bukan berarti kamu jadi malas-malasan atau enggak kerja sama sekali. Justru ini tentang menetapkan batasan yang sehat. Kerjakan semua tugas sesuai deskripsi pekerjaan dan jam kerja. Jangan lagi lembur demi menyelesaikan request mendadak atasan yang enggak ada di list prioritasmu. Jangan juga terlalu ambil pusing dengan drama atau omongan mereka yang enggak jelas.
Fokus pada hasil kerjamu, bukan pada drama yang mereka ciptakan. Ingat, kamu bekerja untuk mengembangkan diri dan kariermu, bukan untuk jadi boneka yang bisa dimainkan seenaknya. Dengan “silent quitting,” kamu menjaga mental health dan energinya biar enggak terkuras sia-sia.
2. “Setting Boundaries”: Tegas Tapi Tetap Santai!
Poin penting selanjutnya adalah “setting boundaries”. Belajar bilang “tidak” atau “saya butuh waktu untuk ini” dengan cara yang profesional. Kalau atasan kasih tugas dadakan yang enggak masuk akal, sampaikan bahwa kamu sedang mengerjakan prioritas lain dan minta dia untuk mengatur ulang prioritas. Ini bukan berarti kamu menolak perintah, tapi kamu sedang menegaskan bahwa waktu dan tenagamu juga punya batasan.
Awalnya mungkin akan terasa canggung, tapi percayalah, ini akan membuat atasanmu berpikir dua kali sebelum seenaknya kasih instruksi. Tegas bukan berarti kasar, tapi kamu sedang menunjukkan bahwa kamu punya kendali atas pekerjaanmu.
3. “Document Everything”: Bukti Tak Bisa Bohong!
Ini jurus paling jitu buat atasan yang mencla-mencle: “document everything”. Setiap arahan, setiap janji, setiap feedback, catat semuanya! “Kalo perlu rekam vedio skandal-nya” Baik itu di email, chat, atau bahkan notulen rapat. Kalau bisa, konfirmasi ulang instruksi melalui email agar ada bukti tertulis. Misalnya, “Pak/Bu, saya konfirmasi instruksi tadi ya, jadi ABC. Mohon koreksinya jika ada kekeliruan.”
Dengan punya bukti tertulis, mereka enggak bisa lagi berkelit atau bilang “saya enggak pernah bilang begitu.” Ini juga melindungimu dari tuduhan yang enggak berdasar dan jadi senjata ampuh saat kamu merasa dirugikan.
4. “Networking is Power”: Punya Jaringan, Punya Masa Depan!
Jangan cuma fokus sama atasanmu saja. Bangun jaringan yang luas di luar departemenmu, bahkan di luar perusahaan. Ikut webinar, workshop, atau komunitas yang relevan dengan bidangmu. Kenapa? Karena punya jaringan yang kuat bisa jadi escape plan kalau situasi makin enggak kondusif.
Siapa tahu, dari jaringan ini kamu bisa menemukan peluang kerja yang lebih baik, dengan atasan yang lebih supportive dan lingkungan kerja yang lebih sehat. Ingat, networking itu investasi masa depanmu!
5. “Upskill”: Biar Makin Cuan, Makin Dicari!
Terakhir, tapi enggak kalah penting: “upskill”. Terus tingkatkan kemampuan dan skill yang kamu punya. Ikut kursus online, belajar tools baru, atau ambil sertifikasi yang relevan. Dengan skill yang makin mumpuni, nilai jualmu makin tinggi di pasar kerja.
Kalau atasanmu cuma melihatmu sebagai tumbal, skill yang kamu miliki adalah paspormu menuju kesempatan yang lebih baik. Biarkan dia mencla-mencle, yang penting kamu makin expert dan makin cuan!
Terkuak! Ternyata Cuma Incar “Benefit” Darimu, Bukan Kompetensi.
Dulu, temannya teman saya “ceritanya”, pernah punya pengalaman lucu tapi juga menyakitkan dengan atasan yang mencla-mencle.
Waktu itu, dia gencar banget memuji ide-ide “gila” yang si teman tadi ajukan, katanya “inovatif” dan “akan mengubah segalanya”. Dan tentu saja, karena masih polos, culun, dan semangat membara, langsung tancap gas kerjain semuanya dari nol, begadang, bahkan sampai mimpi deadline.
Pokoknya, all out banget deh, biar ide ini bisa terealisasi dan “ia bisa jadi sesuatu” seperti mimpinya. Lucu-nya: setiap kali ada rapat dengan stakeholder penting, atasan ini selalu memamerkan ide si teman tadi seolah-olah itu idenya sendiri. Dia dengan pedenya presentasi, senyum sana-sini, dan menerima pujian.
Planga-plongo, kayak yang paling tolol, cuma duduk manis di pojokan, sesekali diminta menjelaskan detail teknis kalau ada pertanyaan yang terlalu rumit buat dia. Rasanya kayak, “Ini ide gue, kok yang acting kayak penemu cuma dia ya?”
Dan puncaknya, ketika project itu berhasil dan mendapat apresiasi besar, Si atasan ini dengan bangga menerima penghargaan, bahkan press release kantor hanya mencantumkan namanya sebagai leading figure.
Sedangkan si teman?
Cuma dapat ucapan “terima kasih banyak atas bantuannya” yang rasanya hambar kayak seblak gak pake garam. Baru sadar, ternyata selama ini cuma dijadikan ‘alat’ buat dia meraih keuntungan pribadi, bukan karena dia menghargai atas: kompetensi atau ide-ide brilian. Sakit tapi gak berdarah, nih.
“Sabaar….” 😤
Punya Circle Toxic. Atasan Mencla-Mencle Cuma Mau Untung Sendiri!
Memang benar, atasan mencla-mencle adalah salah satu elemen krusial dalam “circle toxic” di lingkungan kerja. Mereka adalah “mahluk nyata” si muka setan! dari individu yang hanya peduli pada keuntungan pribadi, tanpa memikirkan dampak pada tim atau bahkan karier para tim dibelakangnya. Mereka akan terus memanfaatkan kita sampai kita sadar dan berani mengambil langkah.
Maka dari itu, mengenali ciri-ciri dan strategi untuk menghadapinya adalah kunci agar kita untuk tidak terus-menerus jadi tumbal. Jangan biarkan skill dan passion-mu terkubur karena harus menghadapi drama dan ketidakjelasan yang mereka ciptakan. Ingat, kamu berhak mendapatkan lingkungan kerja yang sehat dan supportive.
Pada akhir-nya:
Hidup ini terlalu singkat untuk terjebak, menyerah, ambekan, dalam “lingkaran pecundang” dari atasan yang mencla-mencle dan egois. Lingkungan yang baik akan menarik kebaikan, dan lingkungan yang buruk akan menarik kekacauan. Pilihlah dengan bijak, sebab kamu adalah produk dari lingkunganmu. Jadi, beranilah untuk memilih lingkungan yang membuatmu tumbuh, bukan yang membuatmu layu.
Salam Dyarinotescom.