Di tengah ramainya aktivitas organisasi masyarakat (ormas) yang tampak begitu peduli dengan kegiatan sosial, terselip sebuah ‘cerita miring’ mirip-mirip celana dalam bolong yang tak jarang membuat dahi berkerut. Bantuan kemanusiaan, aksi gotong royong, hingga pengawalan acara keagamaan, menjadi wajah manis yang mereka tampilkan di permukaan.
Namun, di balik layar,
Santer terdengar bisikan tentang “tarif” tak tertulis yang harus dibayar demi kelancaran atau keamanan sebuah kegiatan, termasuk urusan usaha.
Fenomena “main cantik”, seolah menjadi dua sisi mata uang bagi sebagian ormas, di mana label positif (+) dibangun di satu sisi, sementara pundi-pundi rupiah diamankan melalui cara-cara yang abu-abu di sisi lain.
Lantas, bagaimana sebenarnya praktik ini berjalan? Benarkah ormas yang seharusnya menjadi wadah aspirasi dan pemberdayaan masyarakat justru menjelma menjadi aktor di balik praktik-praktik yang merugikan?
Ormas Gahar, Bisnis Lancar! Kedok Premanisme Berbaju .Org
Eksistensi organisasi masyarakat di Indonesia atau “agar lebih halus kita sebut di Konoha”, misalnya, memiliki akar sejarah yang panjaaaaaang dan beragam dan tak perlu juga untuk kita pelajari. Boleh jadi awalnya, ormas tumbuh sebagai wadah bagi masyarakat untuk berserikat, berkumpul, ngopi-ngopi, menyalurkan aspirasi, dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Namun, seiring berjalannya waktu, tak dapat dipungkiri bahwa sebagian ormas justru mengalami pergeseran fungsi. Kekuatan massa yang mereka miliki kini ‘tersinyalir’ disalahgunakan untuk kepentingan mereka (pribadi atau kelompok), bahkan berujung pada praktik premanisme yang di organisir.
Fenomena “ormas gahar” yang identik dengan citra kekerasan, intimidasi, dan pemaksaan bukanlah isapan jempol. Dengan “berbaju” organisasi yang legal “gaya militer”, oknum-oknum di dalamnya mampu bergerak lebih leluasa, membangun jaringan, dan bahkan menekan pihak-pihak tertentu demi keuntungan.
Ini tentu bukan cerita baru yang kami buat.
Mereka memanfaatkan legitimasi organisasi untuk melakukan “show”, memperebutkan lahan basah, hingga memonopoli sektor-sektor ekonomi tertentu di tingkat lokal. Tak jarang, ormas semacam ini tumbuh subur di area-area di mana “penegakan hukum loyo” atau terjadi “relasi patron-klien” dengan aparat maupun penguasa setempat.
Dan jangan kaget!
Ternyata ‘Hidden Boss’ di Balik Layar Bisnis Lokal
Mungkin banyak yang tak menyadari, (ini bisa salah dan juga bisa benar) di balik gemerlap aktivitas bisnis lokal, terselip peran ormas tertentu sebagai “hidden boss”. Mereka tidak selalu tampil di permukaan, namun memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan arah dan kelancaran sebuah usaha. Keberadaan mereka bisa jadi seperti “restu” yang harus di dapatkan agar bisnis dapat berjalan tanpa gangguan.
Pola operasinya pun beragam.
Ada yang secara terang-terangan meminta jatah “keamanan” atau “kontribusi”, namun ada pula yang bermain lebih halus dengan menawarkan “kerjasama” yang sebenarnya berujung pada pemerasan terselubung.
Tentu! Para pengusaha seringkali berada dalam posisi dilematis dan serba salah.
Menolak permintaan ormas bisa berakibat pada terganggunya operasional bisnis, bahkan tak jarang berujung pada tindakan yang meresahkan. Melapor ke aparat keamanan, eeh! malah mereka lebih takut dan kabur bagai pengecut.
Jadi harus bagaimana?
Alhasil, banyak yang memilih untuk “mengamankan diri” dengan mengikuti “aturan main” yang ditetapkan oleh para “hidden boss”, meskipun itu dengan nilai yang dirasa cukup besar dan memberatkan.
Ketika Ormas Jadi ‘Pintu Belakang’ Kekuasaan dan Cuan, Kita Bisa Apa?
Dulu, jika dengar ormas, seburuk-buruk yang kebayang mungkin cuma urusan jaga parkir doang “Yaa kan?” atau terkait urusan nagih “uang keamanan” ala setoran wajib lapor. Tapi, jangan salah, level permainan ormas kini sudah naik kelas. Mereka sudah agak pintar.
Mereka bukan lagi sekadar tukang pukul di pinggir jalan, tapi sudah menjelma jadi pemain belakang yang lihai dalam urusan kekuasaan dan, tentu saja, soal pundi-pundi haram. Kedekatan mereka dengan para “oknum-oknum penghianat rakyat” di lingkaran kekuasaan, membuat mereka punya semacam “baju besi” masuk ke proyek-proyek basah.
Bayangkan saja,
Dengan modal massa yang segepok, mereka bisa gebrak meja seenaknya, memastikan proyek-proyek gurih itu mampir ke kantong mereka. Ada juga, cuma jadi makelar lengkong (Maleng), dapat komisi gede tanpa perlu keringetan untuk kerja.
Pokoknya, mereka ini sudah mulai ada otaknya dalam ‘ngatur skor’ di balik layar.
Fenomena ini jelas membuat sistem ekonomi jadi berjalan miring “yaa gak om😁”, persaingan sehat jadi zonk, karena praktik-praktik menjijikkan seperti KKN, yang melibatkan ormas terus menggerogoti. Lantas, kita sebagai masyarakat biasa, cuma bisa Ngooook “melongo” jadi tolol sambil garuk-garuk kepala.
Nah, jangan pesimis dulu, ini beberapa langkah “sat-set” yang bisa kita lakukan, misal:
1. Solidaritas dan Jaringan ‘Perkawanan’
Bangun Kekuatan Kolektif!
Jangan biarkan diri kita merasa sendirian menghadapi tekanan. Sendiri itu tak baik. Membangun solidaritas antar individu, komunitas, dan organisasi masyarakat sipil yang memiliki visi yang sama adalah kunci utama. Jaringan “perkawanan” ini bisa menjadi wadah untuk saling berbagi informasi, memberikan dukungan moril dan materiil, serta merancang langkah gerakan bersama.
Kekuatan kolektif akan membuat suara kita lebih lantang dan sulit diabaikan. Ingat, “sendirian rapopo, bareng-bareng auto berotot!”
2. ‘Speak Up’ dan Dokumentasi ‘No Hoax’
Ungkap Fakta dengan Bukti Konkret!
Jangan biarkan praktik-praktik “tarif bawah meja” dan penyalahgunaan kekuasaan oleh ormas tersembunyi di balik layar. Masyarakat perlu berani “speak up” dan menceritakan pengalaman atau informasi yang valid. Lebih dari itu, pengumpulan dan dokumentasi bukti-bukti konkret (“no hoax!”) menjadi krusial.
Taukah kamu: Keadilan di Negeri ini bisa didapat oleh karena itu viral 😀. Jika pun tidak, apa guna kami milih sampean Wok! Anjing galak itu jangan dipelihara Pak, nanti menggigit tuannya sendiri.
Fokus!
Nah, bukti ini bisa berupa foto, video, rekaman percakapan, atau dokumen yang menunjukkan adanya praktik pemerasan, intimidasi, atau KKN yang melibatkan ormas. Informasi dan bukti yang terverifikasi dapat menjadi amunisi berharga untuk membuka mata publik dan mendorong tindakan dari pihak berwenang.
3. Mengawal Kebijakan dan Anggaran
‘Kepo’ Itu Penting!
Salah satu celah yang di manfaatkan ormas untuk meraup “cuan” adalah melalui proyek-proyek. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih aktif “kepo” (ingin tahu) dan mengawal agar berjalan dengan baik.
Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan proyek, harus terus di dorong. Dengan memantau dan mengkritisi “bau” yang berpotensi di salahgunakan, kita bisa mempersempit ruang gerak ormas yang bermain di “pintu belakang”.
4. Memanfaatkan Media dan Platform Digital
Viralkan yang Benar!
Di era digital ini, media sosial dan platform online dapat menjadi senjata ampuh untuk menyebarkan informasi dan membangun kesadaran publik. Kisah-kisah nyata tentang dampak negatif praktik ormas, hasil investigasi, atau ajakan untuk bertindak dapat diviralkan secara masif.
Namun, penting untuk memastikan bahwa informasi yang disebarkan adalah benar dan terverifikasi (“jangan termakan clickbait doang!”). Kekuatan viralitas dapat menekan pihak-pihak terkait untuk bertindak dan menghentikan praktik-praktik yang merugikan.
5. Edukasi dan Advokasi ‘Anti Mainstream’
Bangun Kesadaran Kritis Sejak Dini!
Perubahan yang berkelanjutan membutuhkan upaya edukasi dan advokasi yang “anti mainstream”. Kita perlu menanamkan nilai-nilai integritas, anti-korupsi, dan pentingnya supremasi hukum sejak dini kepada generasi muda.
Selain itu,
Advokasi yang cerdas dan strategis kepada para pemangku kebijakan juga penting untuk mendorong reformasi regulasi dan penegakan hukum yang lebih efektif dalam menghadapi praktik ormas yang menyimpang.
Dengan membangun kesadaran kritis dan pemahaman yang benar, di harapkan generasi mendatang tidak lagi “kagetan” dengan kotornya bangsa ini dari “ormas yang kafir terhadap tujuan awal” dan mampu melawannya secara lebih terstruktur.
Jika perlu: Sikat!
Main Cantik Ala Ormas, Dari Kegiatan Sosial dan ‘Tarif’ Di Bawah Meja
Kita sangat sadar, untuk menjadi jahat itu bisa dengan ‘segala cara’, termasuk memanfaatkan tangan ormas yang seharusnya menjadi pilar masyarakat.
Tegas-nya: Wajah organisasi yang menampilkan kegiatan sosial nan ‘wah’ terkadang hanyalah ‘gimmick’ belaka, menutupi praktik ‘tarif bawah meja’ yang merugikan banyak pihak.
Serigala berbulu domba lebih berbahaya dari serigala yang tampak buas.
Kembalikan marwah ormas sebagai organisasi yang benar-benar berkhidmat untuk kepentingan publik, bukan sekadar alat untuk mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok dengan ‘modus operandi’ yang ‘licin’. Perubahan ke arah yang lebih baik harus di mulai dari satu langkah dan di besarkan oleh kesadaran kita bersama.
Salam Dyarinotescom.