Di balik indahnya surga Indonesia, tersembunyi jeritan pilu kaum perempuan. Krisis yang mereka hadapi bagaikan benang yang terlanjur kusut, melilit erat, mencekik leher dan ketiak, serta merenggut hak-hak mereka sebagai manusia bebas. Mereka hanya bisa menjerit di dalam hati dibalik tirai ketidakadilan. Mari kita lucuti, dan saksikan keterbukaan ini.
Melucuti Jeritan Dibalik Tirai
Negeri ini memiliki masalah ketidakadilan dan kekerasan yang terlalu sering memakan korban. Setiap hari, perempuan Indonesia di hantui bayang-bayang kekerasan. KDRT, pelecehan seksual, pernikahan anak di bawah umur, dan perdagangan manusia menjadi momok yang terlihat, tapi di anggap lumrah “sudahlah, itu biasa saja”.
Data jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan (per Maret 2024) berdasarkan pada bentuk kekerasan yang di adukan ke Komnas Perempuan, menunjukkan bahwa: kekerasan psikis mendominasi dengan jumlah sebesar 3.498 atau 41,55%. Di ikuti dengan kekerasan fisik sebesar 2.081 atau 24,71%, kekerasan seksual sebesar 2.078 atau 24,69%, dan kekerasan ekonomi sebesar 762 atau 9,05%.
Meningkatnya angka pengaduan atau pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan mungkin kita artikan sebagai “meningkatnya keberanian dari si korban untuk melaporkan kasus yang dialaminya”. Namun sejujurnya masih banyak lagi kasus yang tidak terungkap, terbungkam oleh rasa takut dan stigma.
Mereka dengan mudahnya menganggap bahwa banyaknya kasus seperti ini sudah biasa terjadi di negara-negara manapun di belahan dunia. “Dunia ini penuh dengan ketidakadilan, bro”. Dengan argumentasi menjurus kepada: “Ini semua karena masalah ekonomi”. Dan memang betul.
Ekonomi yang di Ekonomisasi
Kesetaraan gender di dunia ekonomi masih jauh dari yang semestinya. Perempuan nusantara masih tertinggal dalam hal akses pendidikan, pekerjaan, dan upah yang layak. Kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan masih lebar, dan perempuan lebih banyak terjebak dalam pekerjaan informal dengan upah rendah.
Pun jika si perempuan memiliki nilai plus, seperti: good looking, atau sedikit kepandaian dalam pendidikan dan komunikasi, “jangan marah” kebanyakan hanya di jadikan pajangan layaknya “pemanis buatan”. (Kompor sekali yaa nih penulis). Okeylah, ada juga perempuan dari beberapa kalangan yang cukup membanggakan membawa kaumnya terlihat “berperan penting”. Tapi kecil sekali yang terekspos.
Ketidakadilan Yang Multidimensi
Dalam urusan politik, suara perempuan masih terpinggirkan dalam ranah ini. Walau mereka perjuangkan dengan ‘BH’ dan teriakan, tapi masih dengan penuh ketidakadilan. Kurangnya representasi perempuan di pemerintahan dan parlemen mencerminkan: budaya patriarki yang mengakar kuat. Keputusan-kebijakan yang di buat sering kali mengabaikan kebutuhan dan aspirasi perempuan.
Tutup mata untuk mendapatkan layanan kesehatan yang baik, jika tak punya bait-bait rupiah dan jabatan. Kesehatan perempuan masih menjadi isu yang terabaikan. Akses terhadap layanan kesehatan reproduksi dan seksual masih terbatas, terutama bagi perempuan di daerah terpencil. Angka kematian ibu dan bayi masih tinggi, dan perempuan masih rentan terhadap penyakit menular seksual dan HIV/AIDS.
Krisis perempuan bukan hanya satu masalah, tetapi krisis multidimensi yang menuntut solusi dan perjuangan. Di perlukan upaya kolektif dari pemerintah, masyarakat sipil, dan individu untuk mengatasi berbagai rintangan yang di hadapi perempuan.
Tapi, Masih Ada Harapan
Meskipun di liputi krisis, secercah harapan tetap bersinar. Berbagai organisasi dan aktivis perempuan terus berjuang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Kesadaran masyarakat tentang kesetaraan gender semakin meningkat, dan pengelola negara mulai terlihat kerja untuk menunjukkan komitmen dalam mengatasi krisis ini.
Sayangnya, semakin banyak kita berbicara tentang keadilan bagi perempuan, kami menyadari sesuatu, bahwa memperjuangkan hak-hak perempuan terlalu sering di samakan dengan “kebencian terhadap laki-laki”. Jika itu sebab nya, tentu harus kita hentikan dan kamu luruskan.
Kebebasan perempuan adalah tanda-tanda dari keadilan sosial. Berbicara soal Keadilan itu sama halnya tentang memastikan bahwa bersikap sopan tidak sama dengan “kamu diam”. Di masa-masa yang akan datang, tidak ada kata pemimpin perempuan, dengan lantang berteriak “Aku mewakili kalian perempuan”, tapi yang ada hanyalah pemimpin. Titik!
Pokok-Pokok Yang Dicatatkan
Masih banyak yang harus di lakukan untuk mencapai kesetaraan gender di Negeri Tercinta seperti Indonesia. Kita perlu terus menyuarakan jeritan perempuan “Ayoo, kamu bisa”, mendorong perubahan kebijakan, dan mendukung upaya pemberdayaan perempuan.
Tetaplah bergerombol dengan panci dan centong, untuk bersama-sama menapaki jalan keadilan dan kesetaraan, demi masa depan yang lebih cerah, di mana perempuan dapat hidup bebas dari krisis dan meraih potensi penuh. Walau semua ini tak akan pernah mencukupi maunya kamu, Perempuan.
Salam Dyarinotescom.
1 Comment
Hmmmmm.. 😄😄😄😄😄😄😂