Pernahkah kamu melihat sekumpulan domba yang terus berputar tanpa arah di sekeliling kobaran api? Bukan karena terperangkap, melainkan karena naluri buta untuk mengikuti kawanan. Mereka menciptakan lingkaran kematian, death circle, di mana setiap putaran membawa mereka semakin dekat pada kelelahan dan kehancuran, bukan karena api itu sendiri, melainkan karena ketidakmampuan mereka untuk berpikir kritis, sebuah refleks ikut-ikutan tanpa mempertanyakan tujuan. Ironisnya, bahaya utama bukanlah ancaman dari luar, melainkan kepatuhan buta atau ‘Blind obedience’, sebuah kondisi yang membuat mereka menyerahkan akal sehat pada mayoritas yang bergerak menuju kehancuran.
End.
Gambaran tragis ini mungkin terasa mirip-mirip “domba yang tersesat”, namun coba kita telaah lebih dalam. Bukankah seringkali kita, sebagai manusia, terjebak dalam pusaran serupa? Mudah terombang-ambing oleh tekanan sosial, tunduk pada otoritas tanpa penjelasan, bahkan memuja tren hanya karena sedang hype doang.
Parahnya lagi,
Kita kerap kali lupa untuk mengaktifkan radar nalar, mengabaikan pertanyaan mendasar tentang makna, hilirnya kemana nih dan arah. Fenomena blind obedience yang ingin kita ‘telanjangi’ bukan sekadar konsep abstrak, tetapi sebuah realitas yang mengintai di balik hingar bingar kehidupan dengan basis: kekinian.
Menjadi Sheeple di Tengah Lingkaran Api
Istilah sheeple, sebuah ‘lakuran’ dari sheep (domba) dan people (orang). Okey😒… ini mungkin terdengar agak kasar kali yaa, namun secara akurat menggambarkan kondisi di mana manusia kehilangan “hak” individualitas dan memilih untuk mengikuti arus tanpa mempertanyakan di tengah lingkaran api metaforis yang kita ciptakan sendiri.
Ini kita bisa cocoklogi-kan dengan tren konsumtif yang tak berujung, keyakinan yang dianut tanpa refleksi, atau bahkan fanatisme buta terhadap figur publik. Terlihat kita bergerak bersama, merasa aman dalam keramaian, padahal sebenarnya sedang menuju kelelahan spiritual dan intelektual.
Apakah bodoh kata yang tepat untuk ini?
Sama seperti domba-domba malang yang kita bicarakan, fokus kita seringkali tertuju pada “api” di tengah kemeriahan isu-isu yang muncul di permukaan, drama media sosial, atau validasi dari “luar” entah siapa ini orang, dari mana asalnya, kita pun tak tau.
Kita lupa bahwa bahaya sesungguhnya terletak pada diri kita sendiri, pada ketidakmauan untuk keluar dari barisan, untuk mengambil jeda dan bertanya: “Ke mana sebenarnya kita sedang menuju?”. Kita lebih nyaman menjadi bagian dari herd mentality (naluri kawanan), merasa terlindungi dalam anonimitas massa, meskipun arah yang dituju belum tentu benar.
Seperti banyak orang yang mengatakan “kalian itu domba-domba yang tersesat” padahal mereka sendirilah yang tersesat lagi menyesatkan.
Dan, bisa saja itu karena:
Kita Bagian Dari Silent Majority
Pernahkah kamu merasa berbeda pendapat dengan mayoritas, namun memilih untuk diam?
Golput, Golput!
Mungkin kita melihat kejanggalan dalam sebuah tren yang diagung-agungkan, atau meragukan narasi yang digaungkan oleh banyak orang, namun memilih untuk tidak bersuara karena takut dianggap ‘out of touch’ atau bahkan di-cancel?
Jika ya, kemungkinan besar kamu itu adalah bagian dari silent majority. Tenang bukan domba kok, lol 😁.
Fenomena silent majority ini menarik. Individu-individu yang sebenarnya memiliki pemikiran kritis dan mungkin menyadari adanya “lingkaran api” di depan mata, memilih untuk tetap dalam barisan karena berbagai alasan: takut akan konfrontasi, tidak ingin berbeda, atau merasa suara mereka tidak akan didengar.
Tapi, akumulasi dari silent majority “yang memilih diam” inilah yang justru melanggengkan blind obedience. Meng-aminkan ketidak-benaran! Kita berasumsi bahwa karena “semua orang” melakukannya atau menyetujuinya, maka hal tersebut pasti benar, tanpa menyadari bahwa “semua orang” itu mungkin juga sedang menahan keraguan mereka masing-masing.
Banyak sekali yang seperti ini, dan kita juga keliru dalam:
Waspadai Groupthink, Mainstream yang Bisa Saja Menjerumuskan.
Groupthink itu menjadi fenomena psikologis di mana keinginan untuk harmoni atau konformitas dalam kelompok menghasilkan keputusan yang irasional atau disfungsional. Dalam konteks ‘blind obedience’, groupthink menjadi bahan bakar utama-nya.
Ketika kita terlalu fokus untuk menjaga atas nama: “kekompakan kelompok” dan menghindari perbedaan pendapat, kemampuan kita untuk mengevaluasi situasi secara objektif menjadi tumpul. Kita lebih memilih untuk mengikuti narasi dominan, meskipun secara logika terasa janggal. “Agak laen!”
Jangan salah paham dulu bro, menjadi bagian dari komunitas itu penting. Namun, kewaspadaan terhadap mainstream juga krusial.
Sejarah telah membuktikan bahwa kebenaran tidak selalu berpihak pada mayoritas. Tren yang sedang in, misalnya, belum tentu membawa kebaikan, dan otoritas yang diagungkan sangat bisa tidak selalu benar.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Bukan 100 persen benar, tapi coba dengan:
1. Aktifkan Mode “Skeptis Cerdas”
Jangan Telan Mentah-Mentah Semua Informasi, Bro!
Di era oversharing dan banjir informasi seperti sekarang, penting untuk mengaktifkan mode “skeptis cerdas”. Jangan mudah termakan hoaks atau narasi yang viral tanpa melakukan double check. Biasakan diri untuk bertanya “kenapa?” dan “bagaimana?” alih-alih langsung percaya pada apa yang sedang trending.
Latih diri untuk mencari sumber informasi yang kredibel dan membandingkan berbagai perspektif sebelum membuat kesimpulan. Ini adalah langkah awal untuk memutus rantai blind obedience.
2. Berani Jadi “Kontrarian” yang Konstruktif
Jangan Takut Beda Pendapat!
Menjadi bagian dari silent majority mungkin terasa aman, tapi seringkali justru melanggengkan groupthink. Cobalah untuk berani menyuarakan pendapat yang berbeda, tentu saja dengan cara yang sopan dan konstruktif. Jangan takut dianggap anti-mainstream atau bahkan di-bully secara online.
Ingatlah, inovasi dan kemajuan seringkali lahir dari pemikiran yang out of the box. Justru dengan berani menjadi “kontrarian” yang konstruktif, kita bisa membuka ruang diskusi yang lebih sehat dan mencegah terjebak dalam echo chamber.
3. Perluas “Circle of Trust”
Jangan Terjebak dalam Satu Frekuensi!
Jika kita hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa, kita rentan terhadap confirmation bias dan semakin terperangkap dalam groupthink. Sengaja perluas “circle of trust” kamu.
Berinteraksilah dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, keyakinan, dan perspektif. Dengarkan opini yang berbeda, meskipun awalnya terasa tidak nyaman. Ini akan membantu kita melihat isu dari berbagai sudut pandang dan menghindari filter bubble yang membatasi wawasan.
4. Prioritaskan “Value Diri” di Atas Validasi Eksternal
Jangan Hidup untuk Like dan Retweet!
Kecenderungan untuk mencari validasi dari likes, retweet, atau komentar di media sosial bisa membuat kita rentan terhadap tekanan mainstream. Kita jadi lebih mudah mengikuti tren atau opini populer hanya untuk mendapatkan pengakuan. Cobalah untuk membangun “value diri” yang kuat, yang tidak bergantung pada validasi eksternal.
Kenali nilai-nilai yang kita anut dan berpegang teguh padanya, meskipun berbeda dengan narrative yang sedang dominan. Dengan memiliki kompas internal yang kuat, kita tidak akan mudah terombang-ambing oleh hype sesaat.
5. Kembangkan “Critical Thinking Skill”
Poin-nya: Asah otak biar ngak gampang di-begoin!
Critical thinking adalah kunci untuk melawan blind obedience. Latih kemampuan menganalisis informasi secara logis, mengidentifikasi bias, dan mengevaluasi argumen. Jangan malas untuk mencari tahu lebih dalam tentang suatu isu, alih-alih hanya mengandalkan headline atau tweet viral.
Ada banyak sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk mengasah critical thinking skill, mulai dari buku, artikel dyarinotescom, hingga tonton podcast nya Rockeey Garung, atau siapapun lah.
Rela membayar demi membangun kemampuan berpikir kritis, sejatinya merupakan investasi untuk kemerdekaan intelektual kita.
Blind Obedience: Mati Bukan Karena Api, Tapi Karena Mati Akal.
Kisah domba dalam lingkaran kematian adalah peringatan yang abadi. “Mereka” tidak mati karena api yang berkobar di tengah, tetapi karena mereka membiarkan diri mereka mati akal, menyerahkan kemampuan berpikir kritis pada naluri ikut-ikutan yang menyesatkan. Begitu pun dengan kita.
Bahaya terbesar bukanlah tantangan eksternal yang menghadang, melainkan kecenderungan internal untuk patuh tanpa persepsi dan opini, untuk menjadi sheeple yang kehilangan arah dalam keramaian.
Keluar dari lingkaran setan blind obedience!
Asah kembali kemampuan berpikir kritis, latih keberanian untuk berbeda, dan hargai setiap perspektif yang muncul. Ingatlah, menjadi individu yang berpikir merdeka jauh lebih berharga daripada menjadi bagian dari mayoritas yang tersesat.
Jangan biarkan diri kita menjadi domba-domba modern yang mati bukan karena api, tetapi karena membiarkan akal sehat padam. Otak tumpul bukan karena tak makan, tapi karena tak paham.
Sejati-nya: Tidak ada orang yang pintar ataupun bodoh. Yang ada hanyalah: orang itu tidak tahu, atau orang lain lebih tahu. Coba cari tahu 😀.
Salam Dyarinotescom.