Kenaikan harga yang terus-menerus seringkali memaksa konsumen mengubah pola kebiasaan belanja. Ketika harga produk menjadi terlalu tinggi, konsumen cenderung mencari alternatif yang lebih murah. Fenomena yang kami kenal sebagai downtrending.
Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumen itu makhluk ekonomi yang sangat-sangat rasional. “Seberapa ada uang dikantong, itu yang mereka sesuaikan”. Mereka itu selalu berusaha memaksimalkan kepuasan dengan anggaran yang dicukupkan.
Table of Contents
Toggle
Konsumen rokok, misalnya.
Seperti halnya konsumen lainnya, sangat sensitif terhadap perubahan harga. “Berubah seribu, dua ribu, sangat berasa” kata Mono dan Indro. Ketika harga rokok terus meningkat, mereka cenderung mencari alternatif yang lebih murah, meskipun hal ini berpotensi membawa dampak negatif bagi kesehatan.
Harga Terlalu Tinggi, Neeh…
Downtrending adalah sebuah kondisi di mana satu produk dengan harga yang terlalu tinggi, “komoditas tembakau, dan lainnya”, malah turun dalam jangka waktu tertentu karena konsumen yang beralih. Ini adalah kebalikan dari uptrend, di mana harga cenderung naik karena sedang naik daun.
Mengapa bisa terjadi?
Meskipun mungkin terdengar ‘Kontra Intuitif’, harga memang sudah terlalu tinggi, dan memang seringkali menjadi salah satu penyebab utama terjadinya downtrending. Banyak juga faktor yang menjadi penyebabnya. Bisa saja itu terjadi karena kenaikan tarif cukai, misal.
Kenaikan tarif cukai yang signifikan secara cepat meningkatkan harga jual. Ketika harga rokok menjadi terlalu tinggi “tapi rasa masih samaaa saja”, konsumen cenderung mencari alternatif baru. “Kami mencari yang lebih terjangkau”.
Sembari menghisap dengan candanya mengatakan: “Kami ini perokok kuy. Bukan budak yang harus ikut-ikutan. Membeli rokok itu karena rasanya cocok, bukan karena merek atau brand. Brand itu tidak bisa dihisap, bro ckckck”. Jadi cari yang muraaah saja, toohh… jika rasamu sama.
Ketika Kondisi Ekonomi Memburuk
Ini juga tak lain karena ekonomi sedang lesu.
Ketika kondisi ekonomi memburuk dut dut, pendapatan masyarakat di pastikan cenderung turun. Dalam situasi seperti ini, konsumen akan lebih selektif dalam pengeluarannya, termasuk untuk “urusan udut mengudut”.
Di tambah lagi tingkat pengangguran yang tinggi, juga dapat mengurangi daya beli masyarakat, sehingga mendorong mereka untuk mencari produk yang lebih murah atau bahkan “Say Noooo!” Stop merokok.
Bisa Juga dengan Cari-cari Barang Baru.
Jika barang sudah terlalu tinggi, beberapa perokok dari kalangan ‘menengah bawah’ beralih ke merek yang lebih murah sebagai langkah awal untuk mengurangi konsumsi rokok atau bahkan membeli ketengan.
Adanya alternatif produk tembakau yang lebih murah, seperti rokok elektrik atau produk tembakau yang dipanaskan, juga dapat mendorong terjadinya downtrading. Yang jelas permintaan menurun dan bahkan kami ‘konsumenmu’ beralih.
Beberapa Fenomena Downtrending Lainnya
Jika ngobrolin urusan udut mengudut gak ada habis-habisnya, di tambah segelas kopi harum di atas meja kerja, Beeeee. Lanjut, bukanlah barang baru, Fenomena Downtrending ini banyak juga terjadi di beberapa sektoor, pada masanya.
Tahukah kamu sekitar tahun 1990-an, “Gelembung Dot-com”, harga saham perusahaan teknologi melonjak sangat tinggi. Namun, gelembung ini akhirnya pecah dan menyebabkan pasar saham mengalami penurunan yang tajam.
Sama juga ketika terjadi kenaikan harga minyak mentah akibat urusan perang. “Urusan hancur menghancurkan”, Kenaikan harga minyak yang tajam seringkali di ikuti oleh penurunan harga saham perusahaan penerbangan dan perusahaan otomotif, karena kenaikan biaya produksi.
Downtrending Di Berbagai Negara Dan Pelajaran Yang Dapat Kita Ambil.
Fenomena downtrending dalam konsumsi rokok bukanlah hal yang unik bagi Indonesia. Banyak negara lain juga mengalami hal serupa, namun dengan karakteristik dan penyebab yang berbeda-beda. Belajar dari pengalaman Australia, Inggris, dan beberapa negara lainnya begitu sangat menarik.
Sebut saja Australia, merupakan salah satu negara yang sukses dalam mengurangi konsumsi rokok melalui kebijakan pengendalian tembakau yang komprehensif, termasuk kenaikan cukai yang signifikan, larangan iklan, dan kemasan polos. Inggris juga telah berhasil banyak, mengurangi prevalensi merokok melalui berbagai kebijakan, termasuk program berhenti merokok yang di dukung pemerintah. Kereeenn!
Kebijakan cukai, larangan iklan, dan pembatasan penjualan rokok sangat bervariasi antar negara. Negara-negara dengan kebijakan pengendalian tembakau yang ketat cenderung mengalami penurunan konsumsi rokok yang lebih signifikan.
Apakah berpengaruh pada Tingkat Pendapatan?
Kenaikan cukai tidak selalu mengurangi pendapatan pajak negara. “Jika tak cukup banyak pendapatan dari komoditas tembakau, cari dong! komoditas lain yang sama menguntungkannya.”
Meskipun pada awalnya, kenaikan cukai mungkin terlihat menurunkan konsumsi, dan mengurangi pendapatan negara dari cukai, namun faktanya tidak selalu demikian.
Mengapa demikian?
Nyata, kualitas produk rokok lokal tak kalah bersaing dengan negara lain. Jika permintaan terhadap rokok bersifat inelastis (artinya, meskipun harga naik, permintaan tidak terlalu berkurang), maka kenaikan cukai justru akan meningkatkan pendapatan tooh, dan masih banyak lagi lainnya.
Tapi jika itu cukai tidak dinaikkan, banyak hal buruk terjadi.
Hal Buruk Terjadi Jika Itu Tidak Dilakukan
Kamu bayangkan, jika “rokok begitu murah dan mudah diakses” oleh semua kalangan, termasuk anak-anak, pekerja informal, seperti: mamang becak dan ojek, dampaknya akan sangat berlapis, luas, dan justru membebankan negeri ini.
Kita mendiamkan Generasi Muda yang Sakit.
Anak-anak yang mulai merokok sejak usia dini akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan mental. Hal ini akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan. Belum lagi biaya pengobatan penyakit terkait tembakau akan meningkat secara signifikan, sehingga membebani anggaran negara dan keluarga.
Tahukah kamu, kesulitan ekonomi terjadi bukan karena mereka tak punya uang. Tapi karena sebagian besar pendapatan mereka “habis dibakar” untuk membeli rokok. Hal yang justru dapat memperparah masalah kemiskinan.
Bagaimana dengan Lingkungan Hidup Tercemar? Sampah puntung rokok akan semakin banyak mencemari lingkungan.
Larangan Iklan Rokok! Benteng Pertahanan Terakhir untuk Kesehatan Masyarakat
Larangan iklan rokok di semua media memang merupakan langkah krusial dalam melindungi masyarakat, terutama generasi muda, dari pengaruh buruk industri tembakau. Iklan rokok itu seringkali dirancang dengan sangat menarik dan kreatif, sehingga mampu menarik perhatian anak-anak dan remaja.
Mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap keingintahuan dalam merokok.
Iklan rokok secara tidak langsung menormalisasi perilaku merokok. Dengan menampilkan gambar-gambar yang menarik dan orang-orang yang dianggap keren sambil merokok, iklan ini membuat merokok terlihat sebagai hal yang biasa dan dapat diterima secara sosial.
Dan pastinya Membentuk Persepsi yang Salah.
Iklan rokok seringkali tidak mengungkapkan secara jujur tentang bahaya merokok. Mereka lebih fokus pada aspek positif yang tidak realistis, seperti meningkatkan kepercayaan diri atau membuat seseorang terlihat lebih dewasa.
Iklan rokok dapat mempengaruhi pilihan hidup seseorang, terutama bagi mereka yang belum memiliki kesadaran penuh tentang bahaya merokok. Tujuannya adalah untuk menarik konsumen baru, terutama anak-anak dan remaja, dan mempertahankan konsumen yang sudah ada.
Downtrending Itu Bukan Hanya Tentang Harga Yang Tinggi
Fenomena downtrending di Indonesia dapat di jadikan momentum untuk memperkuat kebijakan pengendalian tembakau. Upaya pemerintah dalam menekan konsumsi rokok melalui kenaikan harga telah memberikan dampak yang kompleks.
Meskipun berhasil mengurangi konsumsi rokok secara keseluruhan, kebijakan ini juga telah memicu fenomena downtrending yang tidak terduga. Akal-akalan konsumen berpindah ke produk rokok yang lebih murah justru mengkhawatirkan karena dapat memicu munculnya pasar ilegal dan menghambat upaya pengendalian tembakau.
Downtrending Juga Bukan Hanya Tentang Harga Yang Tinggi.
Downtrending dalam konsumsi rokok merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor yang saling terkait. Meskipun harga yang tinggi merupakan faktor penting, namun faktor-faktor non-harga, seperti: kesadaran kesehatan, perubahan gaya hidup, dan kebijakan pemerintah juga memainkan peran yang sangat signifikan.
Merokok itu memang urusan pribadimu, tapi… merokok di ruang publik itu urusan publik. Dan sebenarnya tak penting juga “bagi kami” kamu hidup dengan merokok atau tidak. Kasihan saja melihat teman terlihat bodoh karena merokok. Mati itu memang sepenuhnya kuasa Tuhan, tapi mati karena sebab rokok itu konyol.
Salam Dyarinotescom.