Sound Horeg: Suara Harapan atau Frustrasi Masyarakat?

You are currently viewing Sound Horeg: Suara Harapan atau Frustrasi Masyarakat?

Malam itu, di sebuah gang sempit pinggir kota, ponsel kita bergetar hebat bukan karena notifikasi grup WhatsApp yang rame, tapi karena getaran aneh dari tanah. Rasanya, jantung mau copot, seolah ada gempa lokal yang hanya terasa di telinga dan dada. Bukan! ini bukan bencana alam. Ini adalah ‘Sound Horeg’ sebuah kebisingan yang kini jadi soundtrack tak resmi di setiap penjuru negeri. Sebuah bassline yang tak kenal ampun, memuntahkan desibel di luar nalar, merasuki setiap sendi baskom dan panci, dari hajatan, sunatan sampai kampanye 50-ribuan.

Pernahkah kamu bertanya, di balik guncangan sonik ini, apa sebenarnya yang sedang terjadi pada mereka?

Di era di mana semua terlihat makin canggih, justru suara yang seolah “pecah” dan “kotor”, sedikit rada kampungan: jadi primadona. Bukan cuma soal volume, tapi juga getaran yang membuat bulu jembut rontok. Seolah ada energi tak kasat mata yang dilepaskan, mencari jalan keluar dari setiap celah kebosanan hidup.

Kita, para penikmat tahu lah mana yang musik bagus mana yang tidak.

Tapi tidak pada “Sound Horeg!” Orang jika mendengar ini, hanya bisa terombang-ambing di antara gelombang suara. Ini bukan adzan. Sekadar musik tapi keras nya luar biasa, kawan. Ini maklum-nya sebuah pengkhianatan budaya yang patut kita bongkar.

Ini semacam kegilaan akan suara keras.

Kebenaran pun menembus permukaan: “Apakah ini jeritan hati yang mencari harapan, atau justru simbol frustrasi yang tak bertuan?”

Mirip PK yang menari-nari. 😁

 

Horeg Jadi “Healing”: Ketika Bass Menggantikan Kesenangan Sejati

Awal-nya: sound system raksasa ini mungkin muncul dari kebutuhan sederhana. Di pelosok desa, atau bahkan sudut-sudut kota, hiburan itu barang langka dan mahal. Bioskop? Konser musik mahal? Ah, itu buat privilege tertentu. Lalu, muncullah para “perakit” jenius dengan kreativitas di luar kotak.

Mereka memanfaatkan perangkat bekas, merakit speaker raksasa dengan amplifier seadanya, dan voila! Lahirlah suara jedag-jedug yang kemudian kita kenal sebagai sound horeg. Ini adalah inisiatif dari bawah, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Sebuah do-it-yourself (DIY) yang meledak di tengah dahaga akan pesta.

Tidak ada catatan pasti kapan dan siapa yang pertama kali memulainya. Namun, gelombang sound horeg mulai booming sekitar satu dekade terakhir, berbarengan dengan menjamurnya festival rakyat, karnaval desa, hingga perhelatan kampanye politik.

Para pemilik sound system “dadakan” ini berlomba-lomba memodifikasi rig mereka, bukan cuma untuk volume, tapi juga untuk “goyang”-nya. Bass yang menghantam dada, frekuensi tinggi yang membuat telinga berdenging, menjadi ciri khas yang tak bisa ditawar. Ini adalah inovasi lokal yang bergerak dari mulut ke mulut, dari desa ke desa, menyebar bak virus euforia.

Secara historis, fenomena ini akarnya mungkin bisa ditarik dari tradisi kesenian rakyat yang selalu melibatkan suara keras dan energi besar, seperti reog, jaranan, atau bahkan dangdut koplo. Sound horeg ini seolah evolusi modern dari spirit yang sama: kebutuhan akan ledakan energi kolektif, sebuah katarsis massal.

Kata-nya: Ini adalah “healing” versi rakyat, di mana bassline yang menggetarkan seolah memijat jiwa yang lelah.

Jadi, di balik rig yang berjejer tinggi menjulang dan noise yang memekakkan, ada sebuah cerita konyol tentang upaya masyarakat untuk menciptakan kebahagiaan mereka sendiri. Sebuah bukti bahwa kadang, kesenangan sejati itu bukan datang dari kemewahan, tapi dari kreativitas yang gila dan semangat yang tak pernah padam.

Ini adalah cara mereka, sebagai masyarakat, untuk menemukan “sesuatu” di tengah keterbatasan, meski harus “mengorbankan” sedikit pendengaran. Terlihat orang seperti mau perang, tapi sadar diri bagai anjing berteriak “sudah malam woy!”.

 

Apa yang Ditangkap di Balik Gemuruh Sound?

Fenomena sound horeg ini memang gila dan unik.

Di satu sisi, ia menyajikan hiburan yang mudah diakses dan merakyat, sebuah pelarian singkat dari rutinitas. Di sisi lain, ia juga memunculkan pertanyaan tentang kualitas, dampak lingkungan, “mengganggu tidur orang”. Ini bukan sekadar soal setuju atau tidak, ini tentang apa yang kita tangkap di balik gemuruhnya. Apa makna di balik desibel yang melampaui batas toleransi normal?

Kita coba “menangkap” esensi di balik gemuruh sound horeg, dan mudah-mudahan menemukan beberapa hal menarik yang mencerminkan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Ini bukan sekadar suara, tapi sebuah narasi.

 

1. Venting Kolektif: Luapan Energi Terpendam

Coba perhatikan, saat sound horeg menggelegar, banyak yang ikut menari, berteriak, atau sekadar mengangguk-angguk. Ini bukan cuma hiburan pasif, tapi sebuah venting kolektif. Semacam luapan energi terpendam, emosi yang mungkin tak punya saluran lain di tengah rutinitas yang monoton.

Kita hidup di dunia yang serba terstruktur, seringkali membatasi ekspresi spontan. Nah, sound horeg membuka katup itu. Di sana, kita bisa melepaskan diri, berteriak sekencang-kencangnya, atau menari sampai lelah tanpa khawatir dihakimi. Ini adalah terapi pelepasan emosi yang tak disadari, sebuah pelepasan energi yang sangat dibutuhkan.

 

2. Manifestasi ‘Power’: Kuasa dalam Suara

Bagi para perakit atau pemilik sound horeg, ini adalah manifestasi ‘power’. Mereka punya kemampuan untuk mengendalikan keramaian, menciptakan atmosfer, bahkan ‘memaksa’ orang untuk mendengar. Semakin kencang dan dahsyat suara yang dihasilkan, semakin besar ‘kuasa’ yang mereka miliki atas ruang dan perhatian massa.

Fenomena ini juga bisa dilihat sebagai bentuk empowerment dari bawah. Ketika akses terhadap kekuasaan atau sumber daya terbatas, menciptakan sesuatu yang bisa menarik perhatian dan menggerakkan massa, meskipun hanya lewat suara, bisa jadi bentuk ‘kuasa’ yang valid di ranah lokal.

 

3. Solidaritas Kebisingan: Ikatan dalam Keriuhan

Anehnya, kebisingan ekstrem dari sound horeg justru bisa menciptakan solidaritas kebisingan. Orang-orang berkumpul, berdesakan, berbagi vibes yang sama di tengah hiruk-pikuk. Ini bukan hanya tentang musiknya, tapi tentang ikatan yang terbentuk di antara mereka yang rela ‘tahan banting’ dengan volume super tinggi.

Ini semacam ritual inisiasi informal, di mana hanya mereka yang ‘kuat telinga’ yang bisa bertahan dan menjadi bagian dari inner circle perayaan tersebut. Kebersamaan dalam ‘derita’ kebisingan ini justru bisa mempererat ikatan sosial, menciptakan memori kolektif yang unik.

 

4. Demokratisasi Hiburan: Hiburan untuk Semua Kalangan

Salah satu kekuatan utama sound horeg adalah demokratisasi hiburan. Ini adalah hiburan yang tidak pandang bulu, bisa dinikmati siapa saja tanpa tiket mahal atau dress code tertentu. Dari anak-anak hingga orang dewasa, dari pekerja keras hingga pengangguran, semua bisa larut dalam getaran yang sama.

Ini mengisi kekosongan hiburan yang selama ini sulit diakses oleh sebagian besar masyarakat. Dengan modal seadanya, sebuah hajatan sederhana bisa mendadak berubah menjadi konser mini dadakan yang meriah, membuka kesempatan bagi siapa saja untuk merasakan kegembiraan yang setara.

 

5. Teriakan Eksistensi: Ketika ‘Horeg’ Jadi Cara Menunjukkan Diri

Coba kita pikirkan, untuk membangun dan mengoperasikan sound horeg yang dahsyat itu, butuh dana yang tidak sedikit. Ini bukan hobi murahan. Maka, di balik investasi itu, ada teriakan eksistensi yang kuat. Para pemilik atau komunitas sound horeg seolah ingin mengatakan, “Ini lho kami! Kami punya sesuatu yang bisa bikin kalian rame!” Ini adalah bentuk aktualisasi diri, cara menunjukkan “siapa gue” di tengah keramaian.

Dalam kondisi di mana banyak orang merasa tak terlihat atau tak didengar, memiliki sound system yang bisa menggetarkan bumi menjadi cara ampuh untuk mencari perhatian dan menegaskan keberadaan. Ini bukan sekadar kesenangan semata, tapi juga sebuah pernyataan bahwa mereka, dengan cara mereka sendiri, mampu menciptakan gelombang perubahan atau setidaknya, gelombang suara yang tak bisa diabaikan.

 

Pesta Rakyat Nge-gas: Antara Euforia Semu dan Kebutuhan Aktual

Mengamati fenomena sound horeg ini, seorang “Edi si mamang tongkrongan” mungkin akan melihatnya sebagai cerminan paradoks masyarakat kita.

Kita mendambakan kemeriahan, kegembiraan, dan kebersamaan, namun seringkali “pesta rakyat” yang kita saksikan justru berakhir dengan telinga berdenging dan sensasi “capek” akibat kebisingan berlebihan. Ini bukan hanya tentang musik, tapi juga tentang bagaimana kita mendefinisikan kebahagiaan kolektif di era modern.

Menurut-nya: euforia yang dihasilkan dari sound horeg bisa jadi bersifat semu. Otak manusia merespons stimulasi intens seperti suara keras dan getaran dengan pelepasan hormon stres dan adrenalin, yang bisa disalahartikan sebagai “kesenangan” atau “energi”.

Namun, stimulasi berlebihan justru dapat menyebabkan kelelahan mental, iritasi, bahkan kerusakan pendengaran jangka panjang. Ini seperti kita berlari kencang tanpa tujuan, hanya demi merasakan sensasi kecepatan.

Dari sudut pandang lainnya juga: menyoroti kesenjangan akses terhadap hiburan berkualitas.

Ketika hiburan “standar” terlalu mahal atau tidak tersedia, masyarakat akan berinovasi dan menciptakan alternatifnya sendiri. Sound horeg adalah bukti nyata dari resourcefulness ini. Namun, di sisi lain, ini juga menunjukkan bahwa pemimpin yang katanya “peduli rakyat!” belum sepenuhnya memahami atau memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan rekreasi yang sehat, aman, dan mendidik.

Lalu, apa yang sebetulnya menjadi kebutuhan aktual masyarakat di balik “pesta rakyat nge-gas” ini?

Mungkin bukan hanya soal volume, tapi juga tentang ruang untuk berekspresi, koneksi sosial yang autentik, dan pengakuan akan keberadaan mereka. Masyarakat butuh wadah di mana mereka bisa tertawa lepas, menari tanpa beban, telanjang! dan merasakan kebersamaan yang tulus, bukan sekadar “terpaksa” menikmati kebisingan karena itu satu-satunya pilihan.

Ini saatnya kita bertanya, apakah negara sudah memberikan “pesta” yang sesungguhnya kepada atau untuk masyarakat? Atau, rakyat hanya untuk menjadi bagian dari target pajak?

 

“Horeg” Berlanjut? Mencari Definisi Baru Pesta Rakyat yang Ideal

Tetap saja, pertanyaan besar tetap menggantung: akankah fenomena sound horeg ini terus berlanjut tanpa henti, atau akankah kita, sebagai masyarakat, mulai mencari definisi baru tentang “pesta rakyat” yang ideal?

Tentu saja, tidak ada yang salah dengan hiburan yang merakyat dan mudah diakses. Namun, ada batas tipis antara kemeriahan dan polusi suara, antara euforia sesaat dan dampak jangka panjang. Kita perlu merenung, apakah vibes yang tercipta dari kebisingan itu benar-benar mewakili harapan kita, atau justru merupakan refleksi dari frustrasi yang tak terucapkan.

Mencari pengertian baru tentang pesta rakyat yang ideal berarti kita harus lebih peka terhadap kualitas, bukan hanya kuantitas. Mungkin ini saatnya kita mulai berpikir tentang hiburan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik, memberdayakan, dan berkelanjutan.

Pesta rakyat yang ideal seharusnya bisa jadi wadah bagi ekspresi budaya lokal, mendukung ekonomi kreatif, dan menciptakan suasana yang nyaman bagi semua, tanpa harus “mengorbankan” kesehatan pendengaran atau kenyamanan lingkungan.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Leave a Reply