Siapa di antara kita yang tidak pernah mendengar suara “tot-tot wok-wok”? Ya, suara klakson yang seringkali beradu dengan sirine, mengiringi laju kendaraan tengil di jalan raya. Seolah-olah, jalanan itu milik mereka sendiri, dan kita hanyalah figuran yang kebetulan sedang lewat.
Tapi tahukah kalian?
Bunyi “tot-tot wok-wok” ini sebenarnya memiliki makna filosofis yang dalam, terutama dalam kamus hewan purba. Ini Benar! Konon, di masa lalu, suara ini adalah cara para hewan yang merasa paling penting untuk menandai kekuasaan mereka, sembari berujar, “Minggir! Kami mau lewat!” Paham maksud kami, terdengar familiar, kah?
NgekNgok-nya: di zaman yang sudah serba maju ini, suara-suara purba itu masih saja bergentayangan. Bukan dari binatang, melainkan dari para manusia berdasi yang sibuk “menguasai” jalanan dan merasa paling penting di Republik ini.
Mereka bodoh atau lupa, di balik kaca mobil yang gelap, ada jutaan pasang mata yang mengamati. Jutaan pasang mata yang melihat mereka seolah-olah sedang menggelar parade pribadi di tengah kemacetan yang kita semua rasakan.
Jadi, mari kita renungkan sejenak: mengapa bunyi “tot-tot wok-wok” ini masih saja menggema, seolah-olah kita sedang hidup di zaman purba, era-nya dinosaurus?
Makan Minum dari Keringat Rakyat, Stop Tot-Tot Wok-Wok!
Tidak malu, kah? Betul-betul tidak malu, kah?
Woy kamu! Iya kamu!, yang duduk di kursi empuk dikasih rakyat, minum kopi pagi dari anggaran negara, dan makan siang dari keringat mak-emak, kok ya masih saja merasa paling hebat?
Jalanan yang dibangun dari uang pajak, bro, yang kita semua bayar dengan susah payah, kini jadi panggung pameran kendaraan dinasmu yang “tot-tot wok-wok” itu. Sepertinya, rasa malu sudah pindah ke dimensi lainyaa. Dari planet mana sih?
Ngenes gak sih melihat yang beginian? Bercampur jijik kali yaa.
“Sori agak kasar”😔
Ketika rakyat harus berjuang mati-matian hanya untuk menyambung hidup, ada sekelompok orang yang dengan santai pamer kekuasaan. Menggunakan fasilitas negara seolah itu adalah harta pribadi, tanpa sedikit pun rasa sungkan.
Padahal, setiap tetes bensin yang kamu gunakan, setiap gigitan makanan yang masuk ke perutmu, itu semua berasal dari jerih payah rakyat. Ini bukan soal iri, bukan soal daki, ini soal etika dan empati yang sudah luntur. Otak yang terlanjur rusak walau sholat dan bangun rumah ibadah.
Para pejabat ini seringkali mengabaikan bahwa mereka adalah pelayan, bukan penguasa. Mereka dibayar untuk melayani, bukan untuk dilayani. Nyatanya? Mereka lebih sering minta dihormati dan diberi jalan, bahkan dengan cara yang arogan. Mereka lupa bahwa jabatan itu amanah, bukan takhta. Amanah yang sewaktu-waktu bisa dicabut oleh rakyat yang memilihnya.
Jadi, berhentilah dengan tingkah “tot-tot wuk-wuk” itu. Gak keren paman. Kelihatan alay dan kampungan.
Berhentilah menganggap diri paling penting. Sudah waktunya kalian belajar untuk merasa malu. Malulah “sedikit saja” ketika fasilitas yang digunakan lebih mewah dari rumah rakyat. Malu saat kendaraanmu bisa melaju tanpa hambatan, sementara rakyat harus terjebak macet berjam-jam.
Malu, karena itu adalah satu-satunya etika yang tersisa.
Gerakan Menghargai Rakyat, Melek Mata!
Mari kita pahami satu hal: jabatan itu seperti kontrak kerja.
Ada masa berakhirnya.
Kamu tidak akan selamanya duduk di kursi itu. Sedangkan rakyat, merekalah pemilik sah negeri ini. Mereka tidak akan pernah “habis” atau “pensiun”. Mereka akan selalu ada, dari generasi ke generasi. Jadi, kalau bukan sekarang, kapan lagi kita harus belajar menghargai mereka?
Mereka yang punya kursi hanya lima atau sepuluh tahun. Setelah itu, mereka kembali jadi rakyat biasa. Lalu, apakah mereka tidak malu ketika suatu hari harus berbaur kembali dengan orang-orang yang dulu mereka “tot-tot wok-wok”-i di jalanan?
Lucu sekali membayangkan momen ketika muka jelekmu itu kembali bergabung kedalam masyarakat. Jadi, mari kita beri mereka lima poin penting agar tidak salah langkah dan belajar malu.
Hadeh, jadi kesal sendiri tulis yang beginian. Tapi, it’s okey. Nah, sebut saja:
1. Humble Flex yang Lebih Keren.
Pejabat seharusnya lebih suka “Humble Flex”, bukan “Tot-Tot Wok-Wok”.
Humble Flex itu: pamer kebaikan dan kinerja, bukan pamer kekayaan dan kekuasaan. Lebih keren mana, pamer mobil mewah atau pamer keberhasilan membangun jembatan di pelosok desa?
Jelas, yang kedua lebih bermartabat.
2. No Ghosting ke Rakyat.
Di era media sosial, “Ghosting” itu menyakitkan.
Begitu juga ketika pejabat “ghosting” rakyatnya. Muncul hanya saat butuh suara, lalu menghilang saat rakyat butuh pertolongan. Stop “ghosting”! Jadilah pejabat yang selalu ada, baik di kala suka maupun duka.
3. Stay Real di Era Virtual.
Pencitraan di media sosial itu mudah, tapi “stay real” di dunia nyata itu sulit.
Pejabat harus menunjukkan sikap tulus, bukan hanya pencitraan. Turun ke jalan, sapa rakyat, dan dengarkan keluhan mereka. Jangan hanya tampil di layar kaca, tapi tidak pernah turun ke lapangan.
4. Respect the OP (Original People).
Siapa “OP” di sini? Tentu saja rakyat.
Mereka adalah “Original People” atau manusia sebenarnya: yang punya negara ini sejak awal. Pejabat hanyalah tamu yang diberi amanah untuk mengurus rumah. Sudah sewajarnya tamu menghormati tuan rumah. Jadi, bersikaplah sopan.
5. Hari Pembalasan is Real, Bro.
Ini poin yang paling penting.
Setiap perbuatan baik akan kembali ke kita, begitu juga sebaliknya. Jika kamu berbuat semena-mena, “pembalasan” entah itu dari alam sekalipun: akan menunggu di ujung jalan. Mungkin bukan pembalasan di dunia, tapi di hari akhir kelak. Jadi, berhati-hatilah.
Percayalah Paman!
Dan kami tahu bangsatnya kamu.
Empati dari Kursi? Gerakan Sosial Ini dari Rakyat untuk Kalian ‘Pejabat’
Memang aneh rasanya harus menuntut empati dari orang-orang yang seharusnya sudah memilikinya. Tapi inilah realitas kita.
Jabatan dan kekuasaan seringkali membutakan mata dan mematikan hati. Banyak yang lupa, bahwa jabatan itu bukan tiket untuk hidup mewah dan berfoya-foya. Jabatan itu adalah tanggung jawab besar. Tanggung jawab untuk mengelola anggaran negara yang setiap rupiahnya berasal dari keringat rakyat.
Banyak pejabat yang menganggap anggaran itu sebagai “uang tak bertuan”. Jadi, suka-suka gue dong!
Padahal, setiap sennya adalah tetesan darah dan air mata rakyat. Seharusnya, anggaran itu digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, jembatan, dan fasilitas umum lainnya, bukan untuk membeli mobil mewah, membangun kantor megah, atau jalan-jalan ke luar negeri.
Gerakan sosial dari rakyat ini bukan tentang protes, melainkan tentang pengingat.
Ini adalah cara kita, sebagai pemilik sah negeri ini, untuk mengingatkan para pejabat bahwa mereka tidak sendirian. Mereka adalah bagian dari kita, bukan di atas kita. Mereka adalah pelayan, bukan tuan. Dan sudah waktunya mereka belajar untuk menempatkan diri.
Mulailah belajar berempati. Tak setolol itu kan kalian.
Pandanglah dirimu sendiri dari sudut pandang rakyat yang harus berjuang setiap hari. Jika kamu bisa merasakan penderitaan mereka, maka kamu akan malu untuk berlaku sombong. Jika kamu bisa merasakan kekhawatiran mereka, maka kamu akan lebih bijak dalam menggunakan uang negara.
Jadi, yakin…
Sudah Terbalik kah Dunia Ini?
Kita sering mendengar keluhan, “Dunia ini sudah terbalik.” Sepertinya, ungkapan itu tidak salah. Banyak hal yang seharusnya menjadi etika dasar, kini justru menjadi sesuatu yang langka. Pejabat yang seharusnya melayani, kini minta dilayani. Rakyat yang seharusnya dihormati, kini malah diabaikan.
Dan,
Fenomena “tot-tot wok-wok” ini adalah cerminan dari terbaliknya etika dan moral. Ini adalah bukti nyata bahwa kekuasaan telah mengalahkan nurani. Tapi, kita tidak bisa menyerah. Kita harus terus bersuara, terus mengingatkan, dan terus menuntut agar para pejabat kita kembali ke jalan yang benar.
Remainder: Kesombongan adalah kegagalan pertama. Kerendahan hati adalah kemenangan abadi. Jadi, wahai para pejabat, belajarlah malu. Karena dengan malu, kamu akan belajar untuk merendahkan hati. Dan dengan merendahkan hati, kamu akan menjadi pemimpin yang kami cari selama ini. Ini sesungguhnya!
Salam Dyarinotescom.