Life’s Little Moments: Capturing thoughts, Healthy habits, and Connections. Embrace the moment, Join me on this journey.

Urban Sprawl Berpihak Kepada Serapan, Keuntungan, dan Uang

Share:

Membicarakan Urban Sprawl seperti minum kopi di siang hari. Sudah ketinggalan Coffee Morning. Tapi tidak bagi kita masyarakat pada umumnya. Jelas, kita semua membutuhkan ruang. Kebisingan yang terus menerus bagai acara kondangan. Untuk menghidangkan selada saja, begitu sulitnya. Beli di pasar, harganya mahal. Menurut kami untuk saat ini benar! Urban Sprawl hanya berpihak kepada serapan (tenaga kerja), keuntungan (investasi asing) dan uang (bagi kapitalis).

Bukanlah obrolan politik, kita perlu memastikan bahwa kita (pemilik kedaulatan) benar-benar setuju dengan urban sprawl, yaitu ukuran fisik kota-kota yang semakin meningkat dan mengambil alih wilayah pedesaan, dengan kata lain daerah perkotaan ‘secara fisik’ semakin besar.

Para perencana kota, arsitek, dan insinyur selalu dan selalu (dengan gaya nya) membicarakan mengenai urban sprawl. “Yang nyatanya, mereka hanya mengerjakan job desk yang sudah diarahkan, terima honor dari user, tanpa memikirkan bagaimana ini berjalan baik kedepannya”.

Maksud kamu apa neeh? Ngajak berantem yaa?

Sebenarnya apa sih urban sprawl itu? Mengapa juga itu harus kita perhatikan dalam konteks pertumbuhan dan pengembangan kota?

[INSERT_ELEMENTOR id=”18561″]

Perspektif Sederhana

“Urban sprawl yaitu penyebaran perkotaan atau perluasan perkotaan”. Kata Elon. Tapi tidak menjelaskan apa dampak, sebab akibat, dan bagaimana membatasinya.

Dampak yang paling jelas yaitu: bahwa urban sprawl dapat menyebabkan hilangnya ruang hijau yang sejatinya menurunkan kualitas hidup masyarakat. To The Poin saja, itu menurunkan kualitas udara dan daerah hijau kami, Kang Mas.

Okelah, karena adanya peningkatan kegiatan perdagangan maupun industri, mengakibatkan pertumbuhan ekonomi, dan tersedianya lapangan kerja meningkat pula, sehingga sebagian orang atau badan usaha berburu membangun di Kota-kota besar. Sebut saja Jakarta, misalnya.

Tetapi, menyebabkan ruang dan populasi terbatas. Mengakibatkan naiknya harga lahan karena permintaan yang tinggi. Putar otak, ketersediaan lahan di wilayah pinggiran dengan harga yang lebih murah, pengembangan kota beralih ke wilayah pinggiran untuk menjawab derasnya permintaan. “Jika pun di rasa masih belum cukup, pindah Ibu Kota, Ndoro”.

Akibatnya, wilayah perkotaan seperti: Jakarta dan wilayah yang mengelilinginya semakin gersang, karena perluasan bangunan non hijau semakin luas. Secara, tidak ada regulasi ketat yang mengatur pola pertumbuhan semacam ini. “Bangun dahulu, regulasi menyusul”. Jika opung sudah berkata, hanya bisa nyengir.

Jelasnya, zonasi kawasan yang tidak bercampur atau terlalu homogen, menyebabkan kota-kota tersebut tidak berdiri secara mandiri. “Beras, cabe dan bawang di supply dari daerah lain”. Itu pun jika ada. “Import lagi, import lagi” Yang artinya dalam satu kawasan hanya memiliki fungsi tunggal, untuk permukiman, komersial, atau industri saja. Kurang lebih begitulah urban sprawl.



Itu Berpihak Kepada Siapa Yang Untung

Apakah urban sprawl berpihak kepada siapa yang untung? Siapa pula yang untung? “Hey, kita membangun neeh bro! Jangan dikait-kaitkan” kata Mamat.

Kita terus-menerus di hadapkan pada isu-isu yang kelihatannya tidak berhubungan, penggerusan (alam dan spesies), perubahan iklim, ketimpangan perumahan yang makin tidak terjangkau, dan kerentanan terhadap penyakit sosial.

Anak-anak tidak lagi bermain bola di lapangan hijau sebelah rumah. Mereka bermain bola di gawai mereka. Seharian! Mengapa begitu? Gak ada lahan, cantik. Karena menurut kamu ini tidak penting.

Kita menangani setiap problem ini secara terpisah, tanpa menyadari bahwa gejala-gejala tersebut merupakan dampak hilir dari penyakit yang sama. “Bukan dengan solusi bansos jangka pendek yang tidak efektif”. Katu lagi, kartu lagi.

Situasinya akan semakin buruk sampai kita mengatasi pertumbuhan populasi, pertumbuhan konsumsi, dan mengkaji bagaimana kita mengukur kesehatan dan kemajuan nalar masyarakat. “Sekolah tinggi-tinggi bercita-cita menjadi pekerja”.

Kita ‘dilarang’ mengharapkan keadaan menjadi lebih baik, jika satu-satunya tolak ukur keberhasilan suatu wilayah adalah berapa banyak uang berputar di masyarakat, berapa banyak itu bisa menciptakan lapangan pekerjaan, dan berapa banyak komplek mewah yang dibangun.

Jika itu masih di agung-agungkan maka keadaan di dekade seterusnya akan menjadi lebih buruk. Tidak mengherankan jika kebijakan di buat sangat berpihak untuk mengatasi pertumbuhan yang tidak terkendali.

Sudah waktunya untuk membuang ukuran-ukuran yang hanya berorientasi pada uang, dan memusatkan pertumbuhan pembangunan bagi pemilik tanah yang sebenarnya, yaitu: masyarakat. Sudah waktunya untuk beralih ke ukuran-ukuran baru yang sepenuhnya mempertimbangkan aspek sosial, rasa keadilan dan lingkungan.



Tutup Mata dan Telinga

Jangan pernah mau diperintahkan untuk menutup mata dan telinga. Sudah banyak penelitian di warung kopi menunjukkan bahwa berada dekat dengan kawasan alami dan hijau memiliki berbagai manfaat berbeda bagi kesehatan kita. Apa itu PakDe?

1. Terancamnya habitat

Bukan hanya ruang hidup sehat di rusak, habitat pun ikut getahnya. Menggusur populasi hewan, hilang habitatnya, dan juga menyebabkan keanekaragaman hayati menjadi sejarah resmi.

Keanekaragaman hayati hanya berarti jika: ragam spesies dari tumbuhan dan hewan tetap eksis dan ada di suatu wilayah. Dengan urban sprawl, jumlah tanaman dan hewan di kebun belakang rumah hilang dan berkurang dengan sedihnya. Yang ada hanya apartment, kos-kosan, dan kontrakan.

2. Macetnya Bukan Main

Meningkatnya kemacetan lalu lintas sudah biasa dimari. Kemacetan hanyalah sebuah istilah yang terlihat normal bagi perencana daerah yang bodoh. “Sedihnya, terjebak di tengah lalu lintas yang panas lagi berasap”. Perluasan kota jelas menciptakan lebih banyak kemacetan lalu lintas.

Karena harga lahan yang tinggi, pasutri seumur jagung berbondong-bondong berebut pemukiman pinggiran kota, jauh dari tempat mereka bekerja. “Kira-kira jaraknya 3 jam dari rumah”.

3. Angkutan Pribadi Menjadi Solusi

Jarak rumah dan tempat kerja yang jauh dan memakan waktu yang cukup lama, angkutan pribadi menjadi solusi. “Baju sudah rapi, bersih, wangi, ngantri di stasiun, Gak deeh”. Sadarnya, angkutan pribadi bukanlah solusi kemacetan.

Angkutan pribadi justru menjadi salah satu penyebab utama kemacetan. Angkutan pribadi menghasilkan volume lalu lintas yang tinggi. Semakin banyak orang yang menggunakan angkutan pribadi, semakin macet pula lalu lintasnya.



4. Polusi Udara

Kemacetan lalu lintas dapat menyebabkan polusi udara yang serius. Ketika kendaraan bermotor berhenti atau bergerak perlahan, mesinnya tidak bekerja dengan efisien dan menghasilkan lebih banyak emisi. Emisi ini dapat berupa gas, asap, dan partikel yang dapat membahayakan kesehatan manusia, lingkungan dan berkontribusi terhadap efek rumah kaca.

Beberapa jenis polutan udara seperti: Karbon monoksida (CO), Nitrogen oksida (NOx), Hidrokarbon tak terbakar (HC), dan Partikulat halus (PM).

  • Karbon monoksida (CO): gas beracun yang dapat mengganggu fungsi sel dalam tubuh;
  • Nitrogen oksida (NOx): gas yang dapat menyebabkan iritasi mata, hidung, dan tenggorokan;
  • Hidrokarbon tak terbakar (HC): adalah gas yang dapat berkontribusi terhadap pembentukan kabut asap dan polusi udara fotokimia; dan
  • Partikulat halus (PM): partikel kecil yang dapat masuk ke dalam paru-paru dan menyebabkan masalah kesehatan, seperti asma dan penyakit jantung.

5. Pelayanan Publik Kelebihan Muatan

Makin banyak orang, layanan publik dan fasilitas yang mendukungnya mengalami kelebihan muatan. ‘Kelebihan beban’. Urban sprawl sebagai alasan yang paling jelas dalam peningkatan jumlah penduduk di kawasan pinggiran kota.

Peningkatan jumlah penduduk ini membutuhkan peningkatan layanan publik, seperti: pendidikan, kesehatan, keamanan, transportasi, dan utilitas. Urban sprawl sebagai dalang dari penyebaran penduduk dan fasilitas secara tidak merata. Hal ini dapat membuat layanan publik menjadi kurang efisien dan efektif.



Apa Yang Terjadi Selanjutnya

Apa yang terjadi selajutnya? Membicarakan siapa yang salah, atau siapa yang melakukan, tidak akan ada habisnya. Dan juga memindahkan Ibu Kota bukanlah satu solusi jika kamu bermaksud melakukan pemerataan pembangunan.

Negara kita mestinya bergerak pesat seperti kota-kota modern lainnya. Tujuannya satu, untuk memastikan bahwa setiap orang melakukan perjalanan dari A ke B dengan aman terlepas dari berapa banyak penghasilan yang mereka peroleh di tempat mereka tinggal atau apa kebutuhan mereka. Tapi bukan itu maksud kami.

Kita ketahui bahwa Indonesia ini adalah Negara kepulauan, yaitu daratan luas yang dipisahkan oleh sungai dan lautan. Karena wilayah yang tersebar, mengapa tidak melakukan perencanaan yang meyebar pula. Sebut saja Membuat Ibu Kota tidak hanya 1 (satu), tetapi 5 (lima) ibu kota.

Tahukah kamu, Pak Bagong, tidak hanya punya 1 istri (Ibu dari anak-anak), tetapi beliau memiliki 5 istri. Begitu juga dengan Negara kita yang besar dan menyebar ini. Karena wilayah yang luas tetapi terpisah, boleh saja kita memilki 5 Ibu Kota. Dan setiap Ibu Kota memiliki pesona dan layanan yang berbeda.

Memang tidak ada yang semacam ini. Urban Sprawl yang kita takutkan akan bisa dikendalikan. Meraih tujuan akan serapan (tenaga kerja), keuntungan (investasi asing) dan uang (bagi pemodal) akan lebih merata, tidak menumpuk dalam satu wilayah saja.

Jika mengandalkan satu Ibu Kota, akan sama buruknya, dan akan kembali terulang kembali (sama) kejadian dan masalah, yang kita hadapi kedepannya. Ibu Kota tidak harus mewah dan megah hingga memakan anggaran yang menekan. “Mau jalan terus, pinjam dulu seratus”.

Sambung di lain waktu, jika tertarik.

Salam Dyarinotescom.

Related Posts:

Jangan Lewatkan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Life’s Little Moments: Capturing Thoughts, Healthy Habits, and Connections. Embrace the Moment.

Join Me On This Journey.