Ramadan, bulan yang selalu dinanti, sering kali diartikan sebagai kompetisi. Dari tadarus khatam berkali-kali, hingga deretan panjang undangan buka bersama plus(+) kopi, kita seolah dipacu untuk memaksimalkan setiap irama. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, “di mana letak ketenangan hati?” Di mana ruang bagi jiwa untuk benar-benar beristirahat dan merenung?
JOMO Ramadan?
JOMO, atau Joy of Missing Out, hadir sebagai oase di tengah gurun tapi dalam ‘vibes’ aktivitas Ramadan. Mengajak kita untuk berani melewatkan riuh rendah dunia luar, dan menemukan kedamaian di dalam diri. Menjauhkan diri dari ikut serta dalam kegiatan yang sedang tren atau populer. Jika kamu tahu, ini adalah kebalikan dari Fear of Missing Out (FOMO).
Benar,
Bukan sekadar tren, JOMO Ramadan adalah tentang kembali kepada esensi ibadah itu sendiri. Al-Quran dan Sunnah, dua sumber pedoman hidup kita, telah lama mengajarkan tentang pentingnya self-care. Bukan self-care ala dunia modern yang seringkali berpusat pada pemanjaan diri, melainkan self-care yang holistik, yang menyeimbangkan antara kebutuhan ruhani dan jasmani.
Nah, bagaimana Al-Quran dan Sunnah membimbing kita untuk merawat diri di bulan Ramadan, bukan dengan mengejar pengakuan manusia, tetapi dengan meraih ridha Ilahi?
Dalam 7 menit ke depan, kami mengajak kamu untuk melakukan mindful reading sejenak…
Apa Yang Ditawarkan JOMO Ramadan?
JOMO Ramadan, dengan landasan “Self-Care ala Al Quran dan Sunnah”, menawarkan sebuah pendekatan yang segar layaknya udara pagi, dan mendalam dalam menjalani bulan suci. Lebih dari sekadar menghindari keramaian, JOMO Ramadan mengajak kita untuk merajut ketenangan batin melalui praktik-praktik yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan termaktub dalam Al Quran.
Salah satu tawaran utama JOMO Ramadan adalah kesempatan untuk melakukan “deep talk” dengan diri sendiri, merenungkan makna hidup, dan mengevaluasi arah perjalanan spiritual kita. Ini adalah momen untuk “reset” hati, membersihkan diri dari debu-debu duniawi, dan kembali kepada fitrah.
Pentingnya Menjaga ‘Balancing’
Dalam konteks “self-care”, JOMO Ramadan menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara ruhani dan jasmani. Puasa, sebagai inti dari ibadah Ramadan, bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang melatih pengendalian diri, menguatkan kesabaran, dan meningkatkan kepekaan terhadap sesama.
Konsep “mindful eating” misalnya, dapat diterapkan saat berbuka dan sahur, di mana kita menikmati makanan dengan penuh kesadaran, mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Allah SWT.
Selain itu, JOMO Ramadan juga mendorong kita untuk memperbanyak ibadah-ibadah sunnah, seperti shalat malam, membaca Al Quran dengan tadabbur, dan berdzikir. Ini adalah waktu untuk “upgrade” kualitas ibadah, bukan hanya kuantitas.
Lebih dari itu,
JOMO Ramadan menawarkan kesempatan untuk mempererat hubungan dengan keluarga dan komunitas. “Quality time” bersama orang-orang terdekat menjadi lebih ada artinya ketika kita melepaskan diri dari gangguan dunia maya. Kita bisa menghabiskan waktu untuk berbagi cerita, saling memberi nasihat, dan memperkuat ikatan persaudaraan.
JOMO Ramadan juga mengajarkan kita untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitar, dengan melakukan aksi-aksi sosial dan berbagi rezeki kepada yang membutuhkan. Ini adalah bentuk nyata dari ” Silih asih, silih asah, silih asuh “, yang merupakan bagian integral dari “self-care” dalam Islam.
Sehingga,
Kita diajak untuk “move on” dari kebiasaan-kebiasaan buruk dan fokus pada kebaikan. Kita belajar untuk mengelola waktu dengan lebih bijak, menghindari hal-hal yang sia-sia, dan mengutamakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
Ini adalah proses “healing” dari luka-luka “pada tingkatan batin”, membersihkan hati dari dendam dan iri hati, serta menumbuhkan rasa syukur dan tawakal. Mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada pengakuan manusia, tetapi pada ridha Ilahi.
Bagaimana Al-Quran & Sunnah Membimbing Untuk Merawat Diri di Bulan Ramadan
Ramadan tiba, bulan penuh berkah, ini saat yang tepat untuk merenungkan makna sejati dari self-care. Al-Quran dan Sunnah, sebagai sumber pedoman hidup, memberikan tuntunan yang jelas tentang bagaimana merawat diri secara holistik, bukan untuk meraih pujian manusia, tetapi untuk mendapatkan ridha Ilahi.
Dalam menjalani Ramadan, kita diajak untuk menyeimbangkan hidup, menjadikan setiap ibadah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
1. “Tazkiyatun Nafs” (Penyucian jiwa).
Tazkiyatun nafs adalah inti dari ibadah puasa Ramadan. Al-Quran mengajarkan bahwa manusia memiliki ‘potensi’ untuk mencapai kesempurnaan jiwa, namun seringkali terhalang oleh hawa nafsu dan penyakit-penyakit batin. Puasa hadir sebagai sarana untuk membersihkan hati dari kotoran-kotoran tersebut.
Dengan menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa, kita melatih pengendalian diri dan menguatkan iradah (kehendak). Proses ini bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia, menghindari ghibah, fitnah, dan segala bentuk perilaku buruk lainnya.
Lebih dari itu, juga mencakup upaya untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit batin seperti riya (pamer), ujub (bangga diri), dan hasad (iri hati). Ramadan adalah waktu yang tepat untuk merenungkan kekurangan diri, bertaubat, dan memperbaiki diri. Dengan memperbanyak istighfar, membaca Al-Quran, dan berdzikir, kita membersihkan hati dari noda-noda dosa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. “Ittiba'” (Mengikuti contoh Rasulullah SAW).
Sunnah Rasulullah SAW mengajarkan tentang “ittiba'”, yaitu mengikuti contoh Rasulullah SAW dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam menjaga kesehatan fisik dan mental. Di bulan Ramadan, praktik “ittiba'” ini menjadi sangat relevan, karena Rasulullah SAW telah memberikan contoh yang cukup tentang bagaimana menjalani puasa dengan sehat dan seimbang.
Pola makan Rasulullah SAW, misalnya, saat sahur dan berbuka adalah contoh nyata dari “mindful eating”. Beliau tidak makan berlebihan, tetapi mengutamakan makanan yang bergizi dan sederhana. Beliau juga menganjurkan untuk mengonsumsi kurma dan air putih, yang kaya akan nutrisi dan menghidrasi tubuh setelah seharian berpuasa.
Selain pola makan, Rasulullah SAW juga memberikan contoh tentang pentingnya istirahat yang cukup. Beliau tidak begadang semalaman, tetapi tidur lebih awal setelah shalat Isya dan bangun di sepertiga malam terakhir untuk shalat tahajud dan sahur.
Ibadah yang khusyuk juga merupakan bagian penting dari “ittiba'” Rasulullah SAW. Shalat, membaca Al-Quran, dan berdzikir bukan hanya sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetapi juga untuk menenangkan pikiran dan meredakan tekanan.
3. “Tawakkal” (berserah diri kepada Allah SWT).
Tawakkal bukan sekadar pasrah tanpa usaha, melainkan sebuah keyakinan mendalam bahwa Allah SWT adalah sebaik-baiknya perencana. Dalam bulan Ramadan, ketika kita berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan ibadah dengan sebaik mungkin, tawakkal menjadi landasan yang menguatkan hati.
Melepaskan kecemasan tentang hasil akhir, karena kita yakin bahwa Allah SWT akan memberikan yang terbaik bagi kita.
Konsep “tawakkal ‘alallah” (berserah diri kepada Allah) mengajarkan kita untuk tidak terbebani oleh ekspektasi manusia. Kita tidak perlu mengejar pengakuan atau pujian, karena yang terpenting adalah ridha Allah SWT. Dalam setiap langkah ibadah, kita mengucapkan “bismillah” (dengan nama Allah), menyadari bahwa segala sesuatu terjadi atas izin-Nya.
Ketika kita merasa lelah atau menghadapi tantangan, kita mengingat firman Allah SWT dalam Al-Quran, “Hasbunallah wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung).
Tawakkal itu tentang: menerima takdir dengan lapang dada.
Ketika kita menghadapi ujian atau cobaan, kita tidak menyalahkan Allah SWT, tetapi justru mendekatkan diri kepada-Nya. Kita yakin bahwa di balik setiap kesulitan, ada hikmah dan pelajaran yang berharga.
4. “Ukhuwah Islamiyah” (persaudaraan Islam).
“Ukhuwah Islamiyah” (persaudaraan Islam) adalah pilar dalam merawat diri.
Lebih dari sekadar hubungan sosial, “ukhuwah” adalah ikatan hati yang didasari oleh iman dan takwa. Dalam Ramadan, “ukhuwah” menjadi kekuatan yang menguatkan kita dalam menjalani ibadah.
Dengan mempererat tali silaturahmi, kita menciptakan lingkungan yang penuh dengan “rahmah” (kasih sayang) dan “ta’awun” (tolong-menolong). Ketika kita saling mendukung dan menguatkan, beban ibadah terasa lebih ringan. Kita bisa saling mengingatkan tentang keutamaan shalat malam, saling menyemangati untuk membaca Al-Quran, dan saling berbagi ilmu tentang agama.
Ukhuwah juga menjadi sarana untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit batin, seperti iri hati, dengki, dan dendam. Dengan saling memaafkan dan saling mendoakan, kita menciptakan suasana yang kondusif untuk “tazkiyatun nafs” (penyucian jiwa).
Nah, kaitan dalam konteks ini, “ukhuwah” mengajarkan kita untuk peduli terhadap sesama. Ketika kita membantu orang lain yang membutuhkan, kita juga merawat diri kita sendiri. Kebahagiaan yang kita rasakan saat melihat orang lain bahagia adalah bagian dari “self-care” yang hakiki.
5. “Muhasabah” (introspeksi diri).
“Muhasabah” di bulan Ramadan bukanlah sekadar refleksi biasa. Ini adalah saat di mana kita, sebagai hamba Allah tentunya, merenungkan “yaumul hisab” (hari perhitungan) yang pasti tiba. Dengan-nya, kita berani menghadapi bayang-bayang kesalahan dan dosa yang mungkin tersembunyi di balik kesibukan duniawi.
Kita menimbang setiap amal perbuatan dengan “mizan” (timbangan) keadilan Ilahi, bukan dengan standar manusia yang seringkali bias. Dalam proses-nya, kita tidak hanya melihat ke belakang, tetapi juga ke depan.
Kita mengevaluasi “niat” (tujuan) dari setiap ibadah yang kita lakukan. Apakah semata-mata untuk meraih ridha Allah, ataukah terselip keinginan untuk mendapatkan pujian manusia? Kita merenungkan “taqwa” (ketakwaan) yang seharusnya semakin meningkat di bulan Ramadan.
Apakah puasa kita hanya sebatas menahan lapar dan dahaga, ataukah mampu menahan diri dari perbuatan dosa dan maksiat?
Funfact-nya: Menjadi sarana untuk memperbaiki akhlak. Apakah kita telah memperlakukan sesama dengan penuh kasih sayang dan keadilan? Apakah kita telah menjaga lisan dari perkataan yang menyakiti hati orang lain?
Dengan muhasabah, kita membersihkan hati dari riya dan ujub, serta menumbuhkan tawadhu (rendah hati) dan ikhlas (ketulusan). Dan pada gilirannya membawa kita pada “istiqamah” (keteguhan) dalam beribadah.
JOMO Ramadan: Nikmati “Me Time” dan Raih Kemenangan
JOMO Ramadan, dengan segala ketenangannya, bukanlah tentang melarikan diri dari dunia, melainkan tentang menemukan diri sejati di hadapan Sang Pencipta. Ini adalah tentang mengambil jeda dari hiruk pikuk dari tekanan untuk selalu tampil sempurna, dan dari ketakutan akan kehilangan momen yang sebenarnya tidak pernah kita miliki.
Kunci kebahagiaan adalah dengan menyadari bahwa kebahagiaan itu ada di dalam dirimu, bukan di luar dirimu. JOMO Ramadan mengajak kita untuk menyelami kedalaman hati, menemukan ketenangan dalam kesendirian, dan meraih kemenangan spiritual yang hakiki.
Dalam Ramadan, kemenangan yang kita raih bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas diri sendiri. Kita telah berhasil mengendalikan hawa nafsu, membersihkan hati dari penyakit-penyakit batin, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ingat-nya: Janganlah engkau bersandar pada amalmu, tetapi bersandarlah pada rahmat Allah. Kemenangan sejati adalah ketika kita mampu menjalani Ramadan dengan penuh kesadaran, meraih “me time” yang berkualitas, dan keluar dari bulan suci ini sebagai pribadi yang lebih baik.
Salam Dyarinotescom.