Di tengah hiruk pikuk dunia kerja, di mana deadline berkejaran dan target harus dikejar, kita seringkali dihadapkan pada dilema: ingin jadi Good Samaritan atau malah berakhir jadi “budak” orang lain? Niat baik untuk menolong, “Gue peduli” berbagi beban, atau sekadar meringankan kesulitan teman kerja, seringkali menjadi pisau bermata dua. Ada kalanya, uluran tangan tulus justru berbuah pahit, membuat kita merasa seperti sedang “dikerjain” habis-habisan.
Santuy! Fenomena ini bukanlah hal baru. Gue sudah sering digituin 😁.
Empati di lingkungan kerja, yang seharusnya menjadi pondasi untuk membangun kolaborasi yang solid, tak jarang disalahgunakan. Bukan rahasia lagi, ada saja oknum yang lihai, pandai, jago banget deh memanfaatkan kebaikan orang lain demi kepentingan pribadi, membuat kita yang berniat membantu malah terjebak dalam lingkaran toxic productivity yang tidak ada habisnya.
Lalu, bagaimana kita bisa mengenali tanda-tanda ini dan melarikan diri dari jebakan “peduli berlebihan” yang merugikan diri sendiri?
Workplace Empathy! Pas Nolong, Kok Malah Kena Prank.
Bayangkan jika ada skenario seperti ini, misal:
Proyek besar sedang berjalan, semua anggota tim sibuk dengan porsi tugas masing-masing. Tekanan tinggi, tenggat waktu kian mendekat, dan fokus penuh adalah kuncinya. Namun, tiba-tiba, 😒 ada satu rekan kerja yang justru asyik dengan urusan pribadinya.
Entah itu sibuk scrolling media sosial, calling sana sini berlebihan, menyelesaikan pekerjaan sampingan, atau bahkan ghosting dari ruang meeting. Alih-alih menyelesaikan bagiannya, 😧 ia malah keteteran dan, parahnya, mengakibatkan kualitas pekerjaan yang seharusnya maksimal jadi minimal.
Tentu saja, sebagai rekan yang baik, ada dorongan untuk membantu, mengambil alih bagian yang keteteran itu, demi kelancaran proyek bersama.
Namun, seringkali niat baik ini dimanfaatkan.
Satu dua kali di bantu, besok lusa ia kembali dengan alasan serupa. Perlahan tapi pasti, kita mulai merasa seperti sedang di-prank oleh workplace empathy kita sendiri. “Bagai kacung”. Beban kerja kita makin menumpuk, sementara si teman kerja tadi itu, terus-menerus lolos dari tanggung jawabnya.
Mmmm…
💩😾
Saat Niat Baik Berujung Jadi Budak Korporat. Lalu Bagaimana Cara Lepas?
Inilah titik di mana niat baik kita berujung jadi budak korporat dadakan. Kita tak hanya mengerjakan bagian kita, tapi juga “menambal sulam” pekerjaan “teman kerja” yang bermuka tebal. Situasi ini diperparah jika manajemen “si Bos! ceritanya” kurang melihat masalah di lapangan atau atmosfer kerja yang toxic, sehingga hak-hak pegawai yang berdedikasi malah terabaikan.
Rasanya seperti di biarkan tenggelam dalam lautan tugas, sementara yang lain santai di atas kapal. Lalu, bagaimana cara lepas dari jerat ini?
Bukan ngompori kamu, ini beberapa poin yang jarang orang pikirkan.
Seperti:
1. Setting Boundaries (Menetapkan Batasan)
Banyak dari kita yang terlalu sungkan untuk menolak. Padahal, menetapkan batasan yang jelas adalah kunci. Ini bukan berarti kita tidak solid, melainkan kita harus self-aware dan menjaga kesehatan mental serta produktivitas kita sendiri.
Belajarlah berkata “tidak!” pada tugas tambahan yang bukan porsi kamu, terutama jika itu adalah kelalaian orang lain, tanpa merasa bersalah. Ini adalah bentuk self-love di dunia profesional.
2. Strategic Communication (Komunikasi Strategis)
Jangan pasif-agresif. Komunikasikan masalah ini secara asertif, tapi tetap profesional. Daripada langsung marah, coba sampaikan bahwa kita juga punya prioritas tugas yang harus di selesaikan. Misalnya, “Maaf, saat ini aku sedang fokus mengerjakan X, jadi belum bisa membantu Y.”
Ini bukan ghosting, melainkan direct communication yang baik bagi diri sendiri dan bijak bagi kemandirian tim.
3. Documenting Everything (Mendokumentasikan Segalanya)
Ini mungkin terdengar berlebihan, tapi mendokumentasikan setiap kali kita “menambal” pekerjaan teman bisa menjadi game-changer. Ini bukan untuk menjatuhkan, melainkan sebagai bukti jika situasi memburuk dan kita perlu berbicara dengan atasan atau si Bos!
Dokumentasi ini bisa menjadi evidence yang kuat untuk mendukung argumen kamu.
4. Prioritizing Your Own Well-being (Memprioritaskan Kesejahteraan Diri)
Seringkali, kita terlalu sibuk menyenangkan orang lain sampai lupa diri. Ingatlah, kita tidak bisa menuangkan dari cangkir yang kosong. Mementingkan kesehatan mental dan fisik adalah prioritas. Jika terlalu banyak mengambil beban orang lain membuat kita burnout dan bodoh, itu berarti kita sudah melewati batas.
Ini adalah red flag yang harus segera kamu tangani. Sekali lagi! ini bukan mengompori kamu.
5. Seeking Support from Management (Mencari Dukungan dari Manajemen)
Jika semua upaya di atas tidak membuahkan hasil, jangan ragu untuk mencari dukungan dari atasan atau tim lainnya. Sampaikan masalahnya secara objektif, sertakan bukti (jika ada), dan tanyakan solusi yang bisa mereka tawarkan.
Ini bukan berarti kita “mengadu” atau cepu, melainkan kita sedang mencari win-win solution untuk menjaga produktivitas tim dan lingkungan kerja yang sehat.
The Good Samaritan di Kantor, Bisa-bisanya Yaa BUCIN Tugas Teman
Kami maklum, ‘kadang’, orang biak itu terlalu Bucin (Budak Cinta) dengan tugas teman. Mungkin karena rasa tidak enak, ingin menjaga hubungan baik, atau merasa punya kewajiban moral untuk membantu. Memang benar, saling mendukung dalam tim itu esensial untuk mencapai tujuan bersama.
Namun, jika dukungan itu sudah melewati batas dan malah merugikan diri sendiri, bahkan sampai mengorbankan urusan pribadi.
Dan di situlah masalahnya!
Seorang Good Samaritan sejati “tidak segan-segan membantu orang lain” tahu kapan harus menolong dan kapan harus mundur. Jangan sampai niat tulus kamu malah membuat dirimu menjadi “penyelamat” permanen bagi orang yang tidak mau bertanggung jawab. Ini bukan tentang kurangnya solidaritas, melainkan tentang menjaga balance dalam hidup profesional.
Sadar-nya: Kita bekerja untuk diri sendiri dan tim, bukan untuk menutupi kekurangan orang lain secara terus-menerus.
Toxic Productivity: Ketika Solidaritas Berubah Jadi Eksploitasi Teman
Pada akhirnya, apa yang di mulai sebagai solidaritas dan empati di tempat kerja, bisa bermutasi menjadi toxic productivity yang merugikan. Ketika kebaikan kamu mereka jadikan ajang manfaat bagi pribadi mereka, itu bukan lagi kolaborasi, melainkan beban yang tidak seimbang.
Ingat-nya: Lingkungan kerja yang sehat adalah yang mendorong semua anggota tim untuk bertanggung jawab dan berkontribusi secara adil.
Sebagai penutup, sebenarnya tahu gak sih bahwa: “Kebaikan yang berlebihan tanpa batasan adalah undangan bagi eksploitasi.” Jadilah Good Samaritan yang cerdas, yang tahu kapan harus memberi dan kapan harus menjaga diri.
Jangan sampai niat tulus kamu menjadi bumerang yang membebani hidup. Tetaplah positive vibes, tapi jangan lupa untuk selalu self-care dan menegaskan batasan kita. Okey, sampai di sini, apakah kamu siap untuk mengambil kendali kembali atas beban kerja tim?
Salam Dyarinotescom.