Pernahkah kamu merasa otak kita ini seperti sebuah “gudang besar” yang penuh dengan barang-barang berharga namun tersimpan begitu saja tanpa pernah digunakan? Barang-barang itu bisa berupa pengetahuan, keterampilan, atau ide-ide cemerlang yang terpendam dalam diri. Sayangnya, seringkali kita membiarkan potensi luar biasa ini terbuang sia-sia. Fenomena ini, yang dikenal sebagai brain waste, menjadi masalah serius yang dihadapi banyak orang dari dulu hingga esok. Siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “kita” yang mengalami brain waste ini? Apakah hanya kalangan tertentu, atau mungkin kita semua disini?
Brain waste itu istilah yang di gunakan untuk menggambarkan situasi di mana, potensi intelektual seseorang, termasuk kamu, dia, mereka, tidak di manfaatkan secara optimal dan maksimal. Al hasil, banyak sampahnya.
Ini seperti memiliki sebuah kebun yang subur dengan berbagai jenis benih unggul, namun kita membiarkannya begitu saja tanpa dirawat hingga akhirnya layu dan mati. Potensi-potensi hebat yang ada dalam diri kita, seperti kreativitas, kemampuan belajar, dan kecerdasan emosional, seakan terbuang percuma karena tidak di asah atau di kembangkan.
Sayang sekali, yaa kan.
Brain Waste, Alasannya?
Bukan menakut-nakuti, kenapa sih otak kita bisa seperti gudang yang penuh debu? Tentu saja ada banyak alasannya, nih. Salah satunya adalah karena kita kebanyakan santai. Ya, bersantai itu penting, tapi jika itu kebanyakan, otak kita jadi kurang kerja dan kemampuannya pun jadi lemot. Alias tumpul.
Selain itu, jika kamu seorang yang penakut “Yang dulunya terlalu sering dibentak”, ketahuilah: ketakutan buat mencoba hal baru juga jadi penghalang. Siapa sih yang mau gagal? Tapi ingat, gagal itu bagian dari proses belajar, kok. Terus, lingkungan sekitar juga berpengaruh besar. Jika lingkungan sekitar kita, keluarga, misalnya, tidak mendukung kita untuk terus belajar dan berkembang, ya susah dong kita mau maksimalin potensi otak.
Salahnya kita juga terlalu sering banget ngelakuin hal-hal yang gak penting-penting. Main gadget terus, scrolling media sosial tanpa henti, atau nonton drakor sampai larut malam, mewek hingga lupa waktu.
Kegiatan-kegiatan ini memang menyenangkan, tapi jika berlebihan porsinya, otak kita jadi tidak dapat nutrisi yang cukup. Apalagi jika kamu sedang kacau, stres misalnya. Stres juga jadi musuh besar otak kita. Stres bikin kita sulit fokus dan konsentrasi. Mengakibatkan kurang tidur. Jika kita kurang tidur, otak kita jadi lelah dan tidak bisa berfungsi dengan optimal.
Bagaimana jika mengalami kurang gizi?
Otak kita butuh nutrisi yang cukup untuk bisa bekerja dengan baik. Perubahan hormon juga bisa mempengaruhi kinerja otak, terutama pada remaja atau wanita yang sedang menstruasi. Penyakit tertentu seperti Alzheimer atau demensia juga, bisa menyebabkan brain waste.
Plus (+)
Diskriminasi berbasis gender, ras, atau agama, selain membatasi akses terhadap pendidikan dan peluang kerja, juga dapat menurunkan kepercayaan diri dan motivasi individu. Sistem pendidikan yang tidak selaras dengan kebutuhan pasar kerja menghasilkan lulusan yang kurang siap menghadapi dunia kerja, sehingga potensi mereka terbuang percuma.
Kondisi politik yang tidak stabil menciptakan ketidakpastian dan menghambat investasi dalam pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial.
Brain Waste: Kisah Nyata dari Segala Penjuru Dunia
Brain waste ini fenomena serius, lho, di mana potensi intelektual seseorang tidak di manfaatkan secara optimal. Ini bisa terjadi karena berbagai faktor, mulai dari lingkungan sosial, ekonomi, hingga pilihan pribadi. Banyak orang di dunia yang pernah mengalami atau sedang mengalami brain waste, meskipun cerita mereka sering kali tidak terungkap.
*Koreksi jika keliru*
Beberapa kasus Brain Waste di seluruh Dunia, misalnya:
1. Perawat Migran Indonesia
Temuan Dyarinotescom membuka mata kita akan fenomena yang memprihatinkan: banyak perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri mengalami brain waste. Meskipun memiliki keahlian dan pendidikan yang mumpuni, mereka seringkali di tempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan kualifikasi mereka.
Salah satunya:
Terdapat perbedaan signifikan antara standar praktik keperawatan di Indonesia dan negara tujuan. Seringkali, perawat Indonesia yang memiliki kualifikasi tinggi di Indonesia harus memulai dari bawah atau di tempatkan pada posisi yang lebih rendah di negara tujuan.
2. Peneliti di Negara Berkembang
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, para peneliti seringkali berhadapan dengan kendala yang menghambat produktivitas dan kreativitas mereka. Kurangnya fasilitas yang memadai, dukungan finansial yang terbatas, dan birokrasi yang rumit menjadi beberapa faktor utama yang menyebabkan banyak ide-ide brilian terkubur begitu saja.
Banyak laboratorium di perguruan tinggi dan lembaga penelitian di Indonesia masih menggunakan peralatan yang sudah usang dan tidak lagi sesuai dengan standar internasional. Hal ini tentu saja menghambat kualitas penelitian yang dihasilkan.
Kurangnya kolaborasi antara peneliti, industri, dan pengelola negara “yang taunya duduk-duduk doang, misalnya”, juga menghambat pengembangan riset yang berorientasi pada pasar. Dan pada gilirannya menghasilkan Brain Drain. Al-hasil peneliti Indonesia yang memilih untuk bekerja di luar negeri karena melihat peluang yang lebih baik dalam mengembangkan karier mereka.
#IndonesiaKesekianKalinya
3. Lulusan Universitas di Negara Miskin
Banyak lulusan universitas di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan besar dalam memasuki dunia kerja. Meskipun telah menyelesaikan pendidikan tinggi, mereka seringkali kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka.
Akibatnya, banyak yang terpaksa menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian dan minat mereka. “Yaa, yang penting kerja saja dulu.” Itu kata mereka
4. Seniman Jalanan
Seniman jalanan seringkali di pandang sebelah mata dan di anggap hanya sebagai penghibur jalanan. Padahal, di balik penampilan mereka yang sederhana “hitam, pucat, dan kelaparan”, tersimpan bakat luar biasa yang layak untuk di apresiasi dan di kembangkan lebih lanjut.
Sayangnya, banyak seniman jalanan yang harus berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup, sehingga mereka tidak memiliki waktu dan sumber daya yang cukup untuk mengembangkan potensi kreatif mereka secara maksimal.
5. Ibu Rumah Tangga
Peran seorang ibu rumah tangga seringkali di anggap hanya sebatas mengurus rumah tangga dan keluarga “dari urusan dapur hingga kasur.” Padahal, banyak di antara mereka yang memiliki tingkatan intelektual yang tinggi, bakat yang berkelas, dan pengalaman hidup yang kaya.
Namun, tuntutan peran sebagai pengasuh dan pengelola rumah tangga seringkali membuat mereka harus mengorbankan itu semua. Bye-bye🥲 karirku.
Bagaimana Cara Mengatasi
Kita seringkali terpaku pada cara-cara ‘yang biasa’ untuk merangsang otak, seperti membaca buku atau belajar lebih giat. Nah, untuk kita yang ada di rumah saat ini, sebelum menjadi seorang: perawat migran, peneliti, seniman, atau ibu rumah tangga, lakukan cara kreatif yang tidak biasa, untuk mengatasi brain waste.
Salah satunya adalah mencoba hobi yang sama sekali baru.
Misalnya, belajar bermain alat musik yang belum pernah kita mainkan, mencoba melukis dengan tangan kiri, atau bahkan mengikuti kelas menari. Kegiatan-kegiatan seperti ini memaksa otak kita untuk bekerja dengan cara yang berbeda dan membentuk koneksi saraf baru.
Seru dong pastinya.
Selain itu, berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda juga bisa menjadi cara baik untuk merangsang otak. Mengobrol dengan orang yang memiliki latar belakang budaya atau profesi yang berbeda, membuka pikiran kita akan sesuatu yang menghasilkan perspektif baru.
Melakukan perjalanan juga bisa menjadi cara yang menyenangkan untuk merangsang otak. Mengunjungi tempat-tempat kaya akan nilai, dan mendalami budaya yang berbeda dapat memicu rasa ingin tahu kita.
Bagaimana dengan bermain?
Aktivitas bermain tidak hanya menyenangkan, tetapi juga sangat bermanfaat bagi otak. Memecahkan teka-teki, bermain game strategi, atau bahkan bermain dengan anak-anak dapat membantu meningkatkan kemampuan menyimpan, menyeleksi, mengkomunikasikan otak kita.
Menulis jurnal juga sangat berguna tentunya, untuk mengorganisir pikiran dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dan jangan lupa, untuk merawat kesehatan fisik. Olahraga teratur, makan makanan sehat, tidur yang cukup, di tambah pilates hehe… sangat penting untuk menjaga kesehatan otak.
Yang Dimaksud Dengan ‘Kita’ Mengalami Brain Waste?
Ketika berbicara tentang ‘kita‘ yang mengalami brain waste, pastinya merujuk pada seseorang di antara kamu yang memiliki potensi besar, baik itu dalam hal intelektual, keterampilan, atau kreativitas, namun potensi tersebut tidak dapat di manfaatkan secara maksimal.
Setiap dari kita, termasuk kamu dan kamu, berpotensi mengalami hal tersebut. Jika menghadapi kendala seperti kurangnya kesempatan, diskriminasi, atau ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan pasar, harusnya bersama-sama mencari jalan solusi.
PoV-Nya:
Kualitas itu ada di mana-mana, tetapi orang bijak adalah yang melihat kualitas itu dalam dirinya sendiri. Jadi, penting melihat dan mengembangkan potensi diri, mengakses hal tersebut dengan penuh, dan juga menyiratkan bahwa potensi tersebut tidak hanya terkait dengan intelektual, tetapi juga dengan karakter.
Salam Dyarinotescom.