Budaya Indonesia Itu Bukan Gotong Royong. Lalu Apa Dong?

  • Post author:
  • Post category:Lifestyle
  • Post last modified:Desember 18, 2024
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Budaya Indonesia Itu Bukan Gotong Royong. Lalu Apa Dong?

Budaya gotong royong seringkali dijadikan simbol identitas bangsa Indonesia. Nilai-nilai kebersamaan, tolong-menolong, dan kepedulian terhadap sesama seakan melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Namun, jika kita cermati lebih dalam, muncul sejumlah pertanyaan mengenai ‘kagesangan’ praktik gotong royong dalam kehidupan modern.

Ini misalnya.

Seringkali, kita menyaksikan fenomena yang seolah bertentangan dengan semangat budaya gotong royong. Contoh, ketika seorang teman mengundurkan diri dari pekerjaan, alih-alih mendapatkan dukungan atau ucapan selamat, justru diminta untuk mentraktir rekan-rekan kerja. Atau, ketika seseorang sedang berduka, bukannya diberi penghiburan, malah diharapkan untuk menyiapkan hidangan bagi para pelayat.

Bahkan, saat merayakan kamu sedang berulang tahun, bukannya menerima hadiah, yang bersangkutan justru diminta untuk mentraktir teman-temannya. Fenomena semacam ini juga terjadi ketika seseorang baru pulang dari liburan, di mana ia diharapkan membawa oleh-oleh untuk orang lain “merepotkan saja”.

#IndonesiaBanget #Dyarinotescom #DyarinotesIndonesia

 

Budaya Gotong Royong Mitos? Sebuah Refleksi atas Perubahan Nilai Sosial

Apakah benar gotong royong itu hanya mitos?

Dulu, sejuknya pagi kala selesai dengan urusan “Doraemon dan Dragon Ball” kita selalu terbawa aroma keringat gotong royong “Semangat abangkuh!” sering menyaksikan orang tua, abang-abang kita bersama bahu membahu membersihkan lingkungan kampung setiap minggunya.

Senyuman terpancar di wajah mereka saat berbaur dalam aktivitas bersama. “Kopi, rokok, pisang goreng, selalu siap sedia menemani” Tapi, kini pemandangan itu semakin jarang kita temui. Semua hilang dari ingatan karena sudah tak ada lagi yang seperti itu.

Generasi muda, yang seharusnya meneruskan podium estafet gotong royong, justru lebih memilih menyewa jasa kebersihan. “Sori yee… gue sibuk! banyak kerjaan” Pergeseran nilai ini begitu terasa. Fenomena ini sejalan dengan perubahan sikap dalam berbagai aspek kehidupan.

Sama seperti yang kita sebutkan sebelumnya, teman yang mengundurkan diri harus mentraktir, orang yang berduka jadi repot melayani para pelayat. Bahkan, perayaan ulang tahun dan liburan pun diwarnai dengan tuntutan untuk memberikan sesuatu. Dulu, hal-hal seperti ini kayaknya gak ada tuh.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah fenomena-fenomena di atas benar-benar menandakan lunturnya nilai gotong royong dalam masyarakat Indonesia? Ataukah kita perlu meredefinisi ulang konsep gotong royong dalam konteks sosial yang terus berubah?

 

Pergeseran Nilai dan Ekspektasi

Mungkin, kita perlu mengakui bahwa nilai-nilai budaya gotong royong memang mengalami transformasi. Jika dulu gotong royong identik dengan kegiatan fisik bersama, kini bentuknya bisa lebih beragam. Gotong royong tidak hanya tentang membersihkan lingkungan atau membangun rumah bersama, tetapi juga bisa berupa dukungan emosional, berbagi pengetahuan, atau saling membantu dalam kesulitan.

Namun, kita juga perlu jujur bahwa semangat gotong royong yang tulus dan ikhlas semakin sulit ditemukan. Individualisme yang kian menguat, tuntutan ekonomi yang tinggi, serta pengaruh budaya standarnya sosial media, telah mengikis nilai-nilai kebersamaan. Kemajuan teknologi yang mempermudah akses informasi juga membuat kita lebih terisolasi dalam kamar layanan digital masing-masing.

Sadarkah kita, ada banyak faktor dapat menjelaskan terjadinya pergeseran nilai dan ekspektasi dalam praktik gotong royong. Misalnya:

1. Urbanisasi dan Modernisasi

Ini tidak bisa dihindari, perpindahan penduduk dari desa ke kota mengubah gaya hidup dan pola interaksi sosial. Tingkat kesibukan yang tinggi, persaingan yang ketat, dan gaya hidup “bodoh amat” yang ditawarkan perkotaan membuat masyarakat lebih sulit untuk meluangkan waktu dan tenaga untuk kegiatan gotong royong.

2. Teknologi yang Tumbuh

Kemunculan teknologi baik itu informasi dan komunikasi, telah mengubah cara kita berinteraksi. Penggunaan smartphone dan media sosial yang membabi buta membuat orang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya daripada berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar. “Lebih save”, katanya.

3. Perubahan Struktur Keluarga

Dulu, keluarga besar tinggal dalam satu lingkungan. Interaksi yang intens antar anggota keluarga memudahkan koordinasi kegiatan gotong royong. “Satu kampung itu masih keluarga semua, satu kakek satu nenek”. Namun, kini struktur keluarga cenderung lebih menyebar, sehingga mengurangi kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan kerabat dekat.

4. Individualisme

Nilai individual yang semakin tinggi membuat orang lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan bersama. Hal ini berdampak pada menurunnya kesadaran akan pentingnya gotong royong.

5. Materialisme

Masyarakat modern cenderung lebih mengejar materi dan status sosial. “Status bisa diraih dengan materi” dengung mereka. Hal ini membuat orang lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan pribadi daripada berkontribusi untuk kepentingan bersama.

6. Kurangnya Pendidikan Karakter

Bukan barang baru, pendidikan karakter yang kurang memadai menyebabkan generasi muda kurang memiliki nilai-nilai seperti empati, kepedulian, dan tanggung jawab sosial. Entah mengapa generasi sebelumnya tidak memprediksi ini bakal terjadi. Tapi, sejatinya ini merupakan tanggung jawab kita semua.

7. Perubahan Peran Perempuan

Perempuan mau-nya eksis. Mereka mau terlihat “Independen seperti Prilly😁”. Peran perempuan yang semakin aktif dalam dunia kerja membuat mereka memiliki kesibukan yang terus menyala. Hal ini dapat mengurangi waktu yang dapat mereka luangkan untuk kegiatan gotong royong.

8. Ekonomi Berubah

Ketimpangan ekonomi yang semakin lebar membuat masyarakat lebih fokus pada upaya memenuhi kebutuhan dasar. Akibatnya, kegiatan gotong royong yang bersifat sukarela menjadi kurang menarik.

9. Kepemimpinan yang Buruk

Kepemimpinan yang kuat sangat penting untuk memotivasi masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan gotong royong. Kurangnya pemimpin yang inspiratif dapat menyebabkan semangat gotong royong hampir punah di makan cerita fiktif korea.

10. Perubahan Konsep Gotong Royong

Nah ini yang menarik☺️. Konsep gotong royong yang semula bersifat fisik dan langsung, kini mengalami pergeseran. Gotong royong ala kehidupan modern, dapat di lakukan melalui berbagai cara, seperti donasi, misalnya. Atau juga bisa masyarakat lakukan dengan kegiatan sukarelawan online, atau crowdfunding. Namun, tidak semua orang memahami dan mengapresiasi bentuk gotong royong yang baru semacam ini.

 

Budaya Gotong Royong dalam Perspektif yang Lebih Luas

Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa gotong royong bukanlah konsep yang statis. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti kerjasama, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama, bersifat dinamis dan dapat terus berkembang seiring perubahan zaman.

Seperti halnya pada poin ke 10 tentang perubahan konsep gotong royong, kegiatan ini tidak lagi sekadar terbatas pada kegiatan fisik seperti gotong royong membersihkan lingkungan atau membangun rumah bersama. Dalam era digital, bentuk-bentuk solidaritas sosial lainnya semakin beragam.

Misalnya, kampanye penggalangan dana online untuk membantu korban bencana, seperti gempa bumi di Lombok atau banjir di Jakarta, telah menunjukkan betapa mudahnya kita mengumpulkan donasi dari seluruh penjuru negeri bahkan dunia.

Melalui platform digital, orang-orang dari berbagai latar belakang dapat berkontribusi sesuai kemampuannya, baik dalam bentuk materi maupun dukungan moral. Selain itu, berbagi informasi bermanfaat melalui media sosial, seperti tips menghadapi pandemi atau cara menolong hewan terlantar, juga merupakan wujud nyata gotong royong di era digital.

Tak hanya itu, memberikan dukungan emosional kepada teman yang sedang mengalami kesulitan, misalnya, melalui pesan pribadi atau panggilan video, juga merupakan bentuk gotong royong yang tak kalah penting. Fleksibilitas inilah yang membuat nilai gotong royong tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman yang semakin berputar.

 

Membangun Kembali Nilai-Nilai Luhur

Untuk menghidupkan kembali semangat dan budaya gotong royong, kita tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah atau lembaga pendidikan. Perubahan harus di mulai dari diri sendiri dan lingkup terkecil kita, yakni keluarga. Dengan menanamkan nilai-nilai gotong royong sejak dini dalam keluarga, kita telah meletakkan karakter yang kuat untuk membangun masyarakat yang lebih peduli dan saling membantu. Apa yang terlihat, jika salah, itu yang di perbaiki. Bukan kosep, tapi kerja nyata.

 

Masih Adakah Gotong Royong Itu?

Masih Adakah Gotong Royong Itu?

Dalam hiruk pikuk modernitas yang serba “sendiri-sendiri”, pertanyaan tentang keberlangsungan gotong royong kadang redup dan sesekali menyala. Era digital yang menjanjikan koneksi tanpa batas “bagai jalan tol” justru seringkali mengasingkan kita satu sama lain.

Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan tetangga kita. Layar-layar gadget menjadi penghalang interaksi nyata, dan kesibukan masing-masing individu menjauhkan kita dari semangat bertemu sapa dan kebersamaan. Namun, benarkah gotong royong telah benar-benar “tiada bekas” dari kehidupan kita?

Ternyata, benih-benih gotong royong itu masih bersemi di berbagai sudut kehidupan. Aksi saling membantu saat bencana alam melanda, inisiatif komunitas untuk menjaga lingkungan, hingga gerakan penggalangan dana online untuk tujuan sosial adalah bukti nyata bahwa semangat gotong royong masih hidup. Hanya saja, bentuknya mungkin telah berbeda. Gotong royong tidak lagi sekadar kegiatan secara fisik bersama.

 

Namun, tantangan tetap ada.

Perubahan gaya hidup yang “Saeneng-saenenge dhewe”, kesenjangan sosial yang semakin “Iki bener-bener ciri khasku”, dan tuntutan hidup yang semakin tinggi seringkali membuat kita merasa terisolasi dan lebih mementingkan kepentingan pribadi.

Lalu, bagaimana kita dapat menghidupkan kembali semangat gotong royong di tengah modernitas yang penuh tantangan?

Salah satu alternatif jawabannya adalah dengan meredefinisi gotong royong.

Gotong royong tidak hanya tentang kerja sama fisik, tetapi juga tentang berbagi pengetahuan “edukasi”, pengalaman “unforgettable experience”, dan sumber daya “Anti-kartel tambang, pro-rakyat.”. Ini juga berarti saling mendukung satu sama lain, baik dalam suka maupun duka.

Dalam masa-masa melek digital, kita dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkuat semangat gotong royong. Platform media sosial, misalnya, dapat menjadi alat yang efektif untuk mengorganisir kegiatan sosial dan menyebarkan pesan positif.

Pendidikan karakter yang kuat dapat membantu generasi muda memahami pentingnya kebersamaan dan saling membantu. Sekolah, keluarga, dan masyarakat, bersama menciptakan lingkungan dengan label Indonesia Dream

Pendidikan karakter yang kuat, di padukan dengan sinergi sekolah, keluarga, dan masyarakat, mampu menumbuhkan generasi muda yang memahami pentingnya kebersamaan dan saling membantu. Bersama-sama, bersatu padu mewujudkan “Indonesian Dream.”

 

Salam Dyarinotescom.

 

#IndonesianDream #GueBanget #BudayaIndonesia #GenerasiMuda #Viral #SosialMedia

Tinggalkan Balasan