Woy, kamu sadar gak sih, kadang kita tuh suka lain di mulut, lain di hati? Hal ini mungkin sering banget kita dengar atau bahkan kita ucapkan sendiri. Tapi, kalau dipikir-pikir lebih dalam “benar juga!”, fenomena ini kayaknya sudah jadi bagian dari culture tersendiri di kalangan warga +62, lho. Namanya apa lagi kalau bukan double standards.
Bayangkan saja,
Di satu sisi kita nge-judge habis-habisan kelakuan orang lain, tapi giliran diri sendiri atau circle terdekat melakukan hal serupa, eh, kok ya beda lagi vibes-nya? Kayak ada filter khusus gitu yang bikin standar penilaian jadi auto-adjust tergantung siapa yang berbuat.
Lah iya, kok bisa ya?
Why-nya Double Standards Jadi ‘Makanan Sehari-hari’?
Sebenarnya, akar dari double standards ini bisa jadi kompleks banget. Mungkin karena kita masih kental dengan yang namanya “nilai-nilai kultur dan tradisi”, yang suka pilih kasih (tebang pilih) dalam menerapkan aturan. Bisa itu berdasarkan gender, status sosial, atau bahkan hubungan kekerabatan. Istilahnya, ada semacam privilege yang nggak tertulis untuk kelompok-kelompok tertentu.
Selain itu,
Budaya julid atau suka mengomentari kehidupan orang lain juga punya andil besar. Kita gampang banget nyinyirin kesalahan orang lain di media sosial, tapi pas giliran diri sendiri kena “cyduk😁”, langsung deh pasang mode defense seribu alasan. Kabur….! Parahnya lagi, kadang kita gak sadar atau terlihat muka tebal sudah fall in love sama double standards ini dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.
Red flag banget, kan?
Wara-Wiri Kesana Kemari, Contoh Nyatanya Apa?
Ini adalah Double Standards di berbagai lini kehidupan. Jangan kaget!
Gak usah jauh-jauh deh, coba kita lihat real life. Soal hubungan misalnya, cowok yang sering gonta-ganti pacar dibilang playboy, itu keren banget. Giliran cewek yang melakukan hal serupa, langsung di cap negatif dan nggak bener. “Salome!” Savage abis!
Taukah kamu?
1. Di dunia kerja juga sama!
Di dunia profesional, sering banget kita jumpai double standards yang bikin geleng-geleng kepala. Laki-laki yang punya ambisi tinggi, berani menyampaikan pendapat dengan lantang, dan punya visi yang jelas seringkali langsung dilabeli punya ‘leadership material’.
Bahkan, nggak jarang ada pujian selangit kayak, ‘Wah, ini nih bibit pemimpin masa depan! Visioner paling dicari di abad ke-22!’ “Senggol dong!” Mereka dianggap tegas, punya inisiatif, dan layak di promosikan.
Nah,
Pas giliran perempuan dengan karakter yang serupa, yang juga punya ambisi setinggi langit, vokal menyuarakan ide, dan punya visi yang nggak kalah brilian, eh, kok ya beda banget treatment-nya?
Alih-alih dipuji, mereka malah sering dicap ‘bossy’, ‘terlalu mendominasi’, atau bahkan diberi label dengan komentar merendahkan seperti, ‘Bawel banget sih! Nggak bisa diem apa?’ Padahal, esensinya kan sama-sama menyampaikan gagasan dan menunjukkan jiwa kepemimpinan.
Kasihannya lagi, keberanian dan ketegasan yang diagung-agungkan pada laki-laki, justru jadi bumerang dan kita disini anggap sebagai sifat negatif ketika di miliki oleh perempuan. Ini jelas menunjukkan adanya bias gender.
2. Belum lagi soal body image,
Standar kecantikan buat perempuan tuh kayak never-ending story, nggak ada habisnya! Mulai dari kulit harus glowing, badan harus body goals dengan lekuk tubuh tertentu, rambut harus badai cetar membahana, sampai detail-detail kecil kayak kuku dan bulu mata pun jadi sorotan.
Kayaknya ada aja update terbaru soal ‘sempurna’ versi masyarakat. Sementara itu, coba deh lihat cowok.
Dengan perut six pack jelas jadi idaman, tapi yang punya dad bod alias perut buncit yang justru kelihatan relatable dan charming juga tetep aja punya fanbase-nya sendiri. Bahkan, seringkali dad bod ini malah dianggap sebagai simbol kemapanan dan easy-going. Double whammy banget kan perbedaannya?
Ini jelas nunjukkin ketidakadilan yang gak fair banget! Kenapa sih standar buat perempuan seolah jauh lebih ketat dan berlapis-lapis di bandingkan laki-laki?
Lebih dari Sekadar ‘Beda Perlakuan’
Mungkin sebagian orang mikir, ah, double standards kan begitu-gitu doang, gak terlalu ngaruh.
Big mistake!
Fenomena ini sangat-sangat bisa ngerusak banget tatanan sosial. Ketidakadilan jadi makin merajalela, kepercayaan antar perorangan dan kelompok juga bisa terkikis habis. “Lunas bagai nunggak bayar hutang ke saudara” Ujung-ujungnya, yang di rugikan adalah kita semua.
Generasi muda yang seharusnya jadi agen perubahan juga bisa ikut-ikutan toxic jika dari sejak dini sudah di cekoki dengan yang namanya: “Double standards”. Mereka jadi bingung mana yang benar dan mana yang salah, mana yang adil dan mana yang cuma lip service belaka.
Ini PR besar buat kita semua sebagai warga +62.
Double Standards Ala Warga +62, Apa Solusi?
Kami di sini bukan sekadar barisan para kritikus yang asal njeplak tanpa menawarkan jalan keluar. Kita semua sepakat bahwa fenomena double standards ini sudah cukup mengakar dan meresahkan. Lalu, pertanyaannya yang paling mendasar adalah: gimana dong caranya biar kita nggak terus-terusan terjebak dalam lingkaran setan standar ganda yang nggak sehat ini?
Kunci -Nya:
Terletak pada kesadaran diri yang mendalam dan kemauan yang tulus untuk melakukan refleksi. Sebelum jari kita gatal untuk nge-judge atau melabeli tindakan orang lain, mari sejenak kita berkaca.
Sudahkah penilaian kita objektif?
Apakah kita menerapkan standar yang sama jika posisi itu ada pada diri kita sendiri atau orang-orang terdekat kita?
Proses introspeksi ini memang tidak akan pernah selalu nyaman, tapi ini adalah langkah pertama yang krusial untuk mengidentifikasi bias-bias tersembunyi dalam cara berpikir kita. Dan, memang benar! menghilangkan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan bahkan mungkin di anggap sebagai ‘kewajaran’ dalam interaksi sosial kita bukanlah pekerjaan semalam. Akan ada resistensi dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan sekitar.
Namun, bukan berarti kita harus menyerah.
Dengan mulai berani speak up ketika kita melihat adanya ketidakadilan, sekecil apapun itu, dan dengan terus berusaha untuk menumbuhkan empati dalam diri, setidaknya kita sudah mengukir satu langkah kecil ke arah perubahan yang lebih baik.
Bayangkan jika setiap individu memiliki kesadaran ini dan berani bertindak, bukankah gelombang perubahan positif akan semakin besar?
Jangan sampai double standards ini terus menjadi “hidden curriculum” yang secara tidak sadar kita ajarkan dan wariskan kepada generasi berikutnya. Ini bukan sekadar masalah ‘beda perlakuan’, tapi ini tentang nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan rasa hormat yang seharusnya menjadi fondasi masyarakat kita.
Akhir-Nya
Kami tahu warga +62 sangat berkomitmen untuk lebih adil dalam menilai, lebih bijak dalam bertindak, dan lebih peka terhadap ketidaksetaraan di sekitar kita. “Let’s be fair.” Masa depan yang lebih adil di mulai dari perubahan kecil dalam diri kita sendiri.
Dalam Al-Qur’an, meskipun tidak ada ayat yang secara eksplisit menggunakan istilah “double standard”, terdapat banyak ayat yang mengecam keras perilaku tidak adil, diskriminatif, dan menerapkan standar ganda dalam berbagai aspek kehidupan.
Untuk itu kami di sini ingin menekankan pentingnya keadilan (‘adl), kejujuran (sidq), dan kesetaraan (musawah) dalam berinteraksi dengan sesama. (TUTI)
Salam Dyarinotescom.