Di tengah gejolak ekonomi global yang kian tak menentu, nilai mata uang fiat seperti rupiah terus menunjukkan tren “boncos”. Inflasi merajalela, daya beli masyarakat kian tergerus, terbongkarnya skandal korupsi yang membuat masyarakat kecewa kesekian kalinya, plus ketidakpastian ekonomi menghantui setiap jalan kehidupan. Saatnya kita menoleh ke belakang, ke masa kejayaan “golden money”, di mana emas menjadi simbol stabilitas dan kekayaan sejati.
Emas, sang “raja logam mulia”, menawarkan solusi jitu di tengah badai krisis fiat. Nilainya yang cenderung stabil dan meningkat dalam jangka panjang menjadikannya “safe haven” bagi para investor dan kita masyarakat luas. Bayangkan jika rupiah dikawinkan dengan emas, atau bahkan diwujudkan dalam bentuk lembaran atau koin. Woow!
Sudah pasti bangga dong! dan tentu saja amat sangat berharga, secara ada emas bro dikantong kita sebagai alat bayar. “Keren gak tu Indonesia” Nilai tukarnya lebih stabil ‘tentu saja’, inflasi dapat diredam, dan kepercayaan masyarakat terhadap mata uang nasional akan kembali pulih. Ini bukan sekadar mimpi, tapi sebuah solusi nyata yang patut dipertimbangkan.
Mengapa Emas Terlupakan sebagai Alat Tukar?
Kita semua tahu, Indonesia punya “Bank Emas” lho, gudang harta karun yang menyimpan kekayaan alam kita. Tapi, kenapa emas-emas itu cuma jadi pajangan, bukan jadi “the real sultan” dalam bentuk lembaran atau koin rupiah?
Padahal, Indonesia ini “the real sultan” sumber daya mineral, punya emas, perak, dan tembaga yang melimpah ruah. Bayangkan, kalau kekayaan alam ini di ubah jadi mata uang, peredarannya pasti lebih terkendali, “anti-boncos” dari inflasi, dan nilai rupiah pun “to the moon”!
Ini bukan sekadar mimpi, tapi peluang baik yang sayang jika dilewatkan.
Banyak Pakar Yang Sejalan Dengan Pemikiran Seperti Ini
Pakar ekonomi klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo telah lama mengakui keunggulan emas sebagai alat tukar. Smith, dalam bukunya “The Wealth of Nations“, tidak hanya menyebut emas sebagai “mata uang universal” yang di terima di seluruh dunia, tetapi juga menekankan pentingnya disiplin moneter yang dapat di capai dengan standar emas.
Ia mengamati bagaimana emas, dengan sifatnya yang langka dan tahan lama, membatasi kemampuan pemerintah untuk mencetak uang secara berlebihan, yang pada gilirannya melindungi nilai tukar dan mencegah inflasi.
David Ricardo, dengan teori kuantitas uangnya, memperkuat argumen ini dengan menunjukkan bahwa peningkatan jumlah uang yang beredar tanpa peningkatan produksi barang dan jasa akan menyebabkan inflasi.
Standar emas, menurut Ricardo, adalah mekanisme yang efektif untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dan menjaga stabilitas nilai mata uang. Ia berpendapat bahwa keterkaitan mata uang dengan emas akan menciptakan kepercayaan dan stabilitas dalam sistem perdagangan internasional.
Bahkan,
Ekonom modern seperti Robert Mundell, peraih Nobel Ekonomi, pernah mengusulkan “mondor”, mata uang dunia yang di dasarkan pada emas. Mundell, yang di kenal dengan teori area mata uang optimal, percaya bahwa standar emas dapat memberikan disiplin moneter global dan mengurangi volatilitas nilai tukar.
Ia berpendapat bahwa mata uang yang di dasarkan pada emas akan menciptakan stabilitas dalam perdagangan internasional dan mengurangi risiko krisis keuangan. Selain itu, para ekonom mazhab Austria seperti Ludwig von Mises dan Friedrich Hayek juga sangat mendukung penggunaan emas sebagai mata uang.
Mereka berpendapat bahwa pasar bebas, bukan pemerintah, yang seharusnya menentukan mata uang. Emas, sebagai komoditas yang di perdagangkan secara bebas di pasar global, memenuhi kriteria ini. Mereka percaya bahwa standar emas akan mencegah inflasi dan krisis ekonomi yang disebabkan oleh intervensi pemerintah dalam sistem moneter.
Pandangan-pandangan ini menunjukkan bahwa gagasan tentang emas sebagai mata uang bukanlah konsep yang baru atau radikal. Sebaliknya, itu adalah gagasan yang telah di pegang oleh beberapa ekonom paling berpengaruh dalam sejarah.
Lalu, kita-nya kapan melek?
Keunggulan Emas sebagai Mata Uang
Emas memiliki serangkaian keunggulan yang membuatnya secara fundamental berbeda dari mata uang fiat modern. Stabilitas nilainya yang teruji waktu menjadikannya aset “anti-inflasi” yang efektif.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti, di mana mata uang fiat cenderung kehilangan daya belinya, emas mempertahankan nilai intrinsiknya. Ini karena emas adalah aset riil dengan pasokan yang terbatas, tidak seperti mata uang fiat yang dapat diciptakan secara tak terbatas oleh bank sentral.
Kuncinya: Keterbatasan pasokan
Keterbatasan pasokan emas adalah faktor kunci yang membedakannya. Pasokan emas dunia meningkat secara bertahap melalui penambangan, tetapi pada tingkat yang jauh lebih lambat daripada penciptaan mata uang fiat.
Ini berarti bahwa emas tidak rentan terhadap inflasi yang di sebabkan oleh peningkatan jumlah uang yang beredar. Ketika bank sentral mencetak lebih banyak uang, nilai setiap unit mata uang tersebut cenderung menurun.
Namun, karena pasokan emas relatif stabil, nilainya cenderung di pertahankan atau bahkan meningkat dalam jangka panjang. Betul tidak?
Selain itu, emas diakui secara universal sebagai penyimpan nilai. Ini berarti bahwa emas dapat di perdagangkan dan di terima di hampir semua negara di dunia. Ini sangat penting dalam konteks perdagangan internasional, di mana fluktuasi nilai tukar mata uang fiat dapat menciptakan ketidakpastian dan risiko.
Dengan emas sebagai alat tukar atau penyimpan nilai, pelaku ekonomi dapat mengurangi risiko ini dan meningkatkan stabilitas perdagangan. Emas juga merupakan aset fisik yang memiliki nilai intrinsik. Ini berbeda dengan mata uang fiat, yang nilainya di dasarkan pada kepercayaan pada pemerintah yang menerbitkannya.
Dalam kondisi ketidakstabilan politik atau ekonomi sampai pada detik ini, kepercayaan bisa saja runtuh, menyebabkan mata uang fiat kehilangan nilainya. Emas, di sisi lain, mempertahankan nilainya karena merupakan aset fisik yang berharga, terlepas dari kondisi politik atau ekonomi.
Dalam konteks investasi, misalnya
Emas menawarkan perlindungan terhadap ketidakpastian pasar. Ketika pasar saham atau obligasi mengalami gejolak, emas cenderung mempertahankan nilainya atau bahkan meningkat. Ini menjadikannya aset “safe haven” yang populer di kalangan investor. Dengan “hold” emas, investor dapat melindungi kekayaan mereka dari risiko pasar dan inflasi.
Dengan demikian, emas bukan hanya sekadar logam mulia. Ini adalah aset yang memiliki sejarah panjang sebagai penyimpan nilai dan alat tukar. Keunggulannya dalam hal stabilitas, keterbatasan pasokan, pengakuan universal, dan nilai intrinsik, menjadikannya aset yang berharga dalam portofolio investasi dan sebagai alternatif potensial untuk mata uang fiat.
Tantangan dan Peluang dalam Mewujudkan “Golden Money”
Memang, mewujudkan “golden money” bukanlah perkara mudah.
Perlu nyali besar dan visi yang kuat untuk merevolusi sistem moneter yang telah mapan. Ada tantangan teknis yang kompleks, seperti menentukan rasio konversi emas ke rupiah, membangun infrastruktur penyimpanan dan distribusi emas, serta mengedukasi masyarakat tentang penggunaan mata uang emas.
Tantangan politik juga tak kalah berat, mengingat resistensi dari pihak-pihak yang di untungkan oleh sistem fiat saat ini. Selain itu, ada tantangan ekonomi, seperti menjaga stabilitas harga emas di pasar global dan mengelola risiko fluktuasi nilai tukar.
Namun, bukan berarti kita harus menyerah pada kesulitan.
Justru, ini saatnya kita “terbuka akan pilihan dan strategi”, mencari solusi inovatif, dan memanfaatkan kekayaan alam kita untuk kemakmuran bangsa. Kita bisa belajar dari negara-negara yang pernah atau sedang menerapkan standar emas, seperti Swiss atau beberapa negara di Timur Tengah.
Kita bisa mengembangkan teknologi blockchain untuk menciptakan sistem pembayaran emas yang aman dan efisien. Juga bisa membentuk konsorsium nasional yang terdiri dari pemerintah, bank sentral, perusahaan pertambangan, dan ahli ekonomi untuk merumuskan kebijakan “golden money” yang komprehensif.
Dan tentu saja bisa,
Menjadi Solusi
Selain itu, lembar-lembar Rupiah emas juga bisa menjadi solusi untuk memberantas peredaran uang palsu dan praktik pencucian uang. Dengan mata uang emas, setiap transaksi akan tercatat secara transparan dan akuntabel. Ini akan mempersulit para pelaku kejahatan untuk menyembunyikan kekayaan ilegal mereka.
Lebih jauh untuk terbuka kepada logika: “golden money” akan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang kekayaan riil masyarakat, karena setiap koin emas mewakili nilai intrinsik yang nyata. Ini akan membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang lebih tepat sasaran dan adil.
Dengan keberanian “Bukan malah tunduk kepada (wak in de tok)”, inovasi “bukan malah mengecilkan kampus sebagai tempatnya orang berpikir”, dan kerja sama “bukan malah memilih orang partai di kabinet yang gak ada guna”, kita bisa mengubah tantangan menjadi peluang, dan mewujudkan “golden money” sebagai tonggak sejarah baru dalam perjalanan ekonomi Indonesia maju.
Saat Rupiah Semakin Biasa-Biasa Saja, Solusinya Golden Money!
Emas, “the king of precious metals”, bukan sekadar simbol kemewahan, tetapi juga solusi potensial untuk menyelamatkan rupiah dari keterpurukan. Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan fluktuasi nilai mata uang fiat, emas menawarkan stabilitas, keamanan, dan nilai intrinsik yang telah teruji selama berabad-abad.
Ini bukan sekadar ide “halu”, melainkan langkah pintar dan berani untuk membangun sistem moneter yang lebih kokoh dan berdaulat. Dengan mengadopsi “golden money”, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada mata uang asing yang rentan terhadap gejolak eksternal, mengendalikan inflasi, dan menciptakan landasan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.
PoV-nya: Jangan takut untuk mengambil langkah besar pak “malu dengan pendahulu”, karena jurang yang lebar tidak bisa di seberangi dengan menjadi babu dengan lompatan kecil.
Salam Dyarinotescom.