Dalam dunia yang didominasi informasi, kata-kata memiliki kekuatan yang luar biasa. Seorang jubir, misalnya, sebagai gerbang komunikasi, memegang peranan kursi dalam membentuk persepsi. Pemilihan ‘kata yang tepat’ dan strategi komunikasi yang cermat, seorang jubir harus bisa memberikan lamunan positif, mempengaruhi opini, bahkan mengubah arah pikiran melalui kebingungan dibalik “Apa cerita?”.
Bukan sekedar basa-basi.
Di balik setiap pernyataan diawali dengan kata “Kami!”, keputusan-keputusan yang diutarakan, menjadi bentuk perwakilan besar. Dengan kemampuan komunikasi yang “bukan asal bunyi”, seorang jubir tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun rasa percaya, harapan, hubungan, dan mengendurkan kerutan atas keresahan.
Table of Contents
Toggle
Jubir, Bisa Bertahan Menjalankan Peran?
‘Juru Bicara’ adalah jeroannya komunikasi pintu dari informasi. Jeroan, “kikil, hati, babat, dkk…” kadang menjadi penyakit bila tidak diolah dengan baik. Peran ini lebih dari sekadar menyampaikan pesan, tapi juga harus mampu membangun jembatan.
Dan ketika keputusan sulit harus mereka ambil “ketika harus mengatakan tidak!, Stop!. Jangan!”, maka, ia diwajibkan mampu meredam kegelisahan dan mempertahankan reputasi institusi. Untuk itu, tentunya tidak semua orang memiliki ketahanan menjalankan peran yang begitu krusial.
Lalu,
Bagaimana Bisa Bertahan dari Benturan
Peran seorang jubir sangat krusial dalam membangun kuasa institusi. Mereka harus dapat menjelaskan, dan memberikan pemahaman bahwa kami memiliki cukup porsi kuasa untuk mengatasi masalah.
Benar, dalam menjalankan tugasnya tentu seorang jubir seringkali berhadapan dengan berbagai macam prasangka dan skeptisisme dari ruang publik. Lantas, apa yang mereka lakukan agar tetap stand up dalam menjalankan tugasnya?
Mungkin ini sekedar omon-omon, tapi, mereka melakukan itu dengan:
1. Transparansi dan Keterbukaan
Pepatah mengatakan, “Sekali bohong, seribu kali orang tidak percaya.” Hal ini berlaku bagi semua orang, apalagi jika mereka itu seorang ‘Juru Bicara’. Kepercayaan publik adalah aset yang sangat berharga, dan sekali kepercayaan itu hilang, sangat sulit untuk dipulihkan. Oleh karena itu, seorang jubir harus senantiasa memancarkan 😁 ‘aroma’ kejujuran dan keterbukaan.
Kebohongan itu bisa terasa baunya.
Mereka tidak hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga harus meyakinkan publik bahwa “informasi yang disampaikan adalah benar adanya”. Aktif menjawab pertanyaan dan memberikan ruang bagi publik untuk berpartisipasi, seorang jubir tidak hanya menunjukkan transparansi, tetapi juga membangun hubungan yang strong.
Walau kita yakin sekali bahwa sesuatu yang terlalu transparan tidak selamanya bermanfaat.
2. Empati dan Pemahaman
Seorang jubir, jauh lebih dari sekadar corong informasi. “Bacot dari mulutnya institusi”, yang tugasnya tak hanya menyampaikan pesan, namun juga “bisa berbasa-basi”. Basa-basi maksudnya bukan sekadar basa-basi belaka, cengar-cengir. Melainkan sebuah bentuk penghormatan terhadap ‘audiens.’
Memahami sudut pandang publik adalah satu keberhasilan.
Mereka harus menempatkan diri pada posisi audiens, publik, orang yang menderita, misalnya. Merasakan apa yang mereka rasakan, dan memahami kekhawatiran mereka. Menyampaikan pesan dengan sungguh-sungguh berarti tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga emosi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Lakukan itu sebagai satu bentuk empati.
Salah satu cara menunjukkan empati adalah dengan melibatkan orang yang tepat dalam penyampaian pesan. Misalnya, jika ada isu terkait kesehatan masyarakat, melibatkan seorang tenaga medis yang dikenal publik dapat memberikan kredibilitas dan kedekatan yang lebih kuat. Tentu, bahasa yang mudah dipahami juga sangat penting. Hindari jargon atau istilah teknis yang hanya dimengerti oleh segelintir orang.
3. Konsistensi dalam Pesan
Seorang juru bicara pandai menyusun sebuah narasi yang koheren (berhubungan, logis, dan sistematis).
“Pandai menjadi bajingan negara.” Untuk setiap pernyataan yang disampaikan, saling melengkapi dan mendukung narasi besar. Pernyataan yang berubah-ubah atau kontradiktif akan menimbulkan kebingungan. Bagai bangunan yang retak, begitu pula dengan pesan yang tidak konsisten, membuat publik meragukan keseluruhan narasi tersebut.
Narasi yang kuat, juru bicara dapat membingkai isu-isu yang ‘jelimet’ menjadi sesuatu yang lebih sederhana dan mudah makan publik. Seperti memberikan sebuah peta jalan kepada ‘orang tersesat’, sehingga mereka dapat dengan mudah mengikuti alur pemikiran dan memahami apa maksud dan tujuan.
4. Proaktif dan Responsif
Nyatanya benar, seorang juru bicara adalah seorang visioner.
Yaa, gak sih?
Mereka tidak hanya bereaksi terhadap situasi yang ada, tetapi juga proaktif dalam mengantisipasi potensi masalah. Memahami tren, membaca tanda-tanda, dan melakukan analisis lebih dalam, seorang juru bicara dapat mengidentifikasi isu-isu yang berpotensi muncul dan menyiapkan alur karangan.
Ketika kritik muncul, mereka tentu tidak “ujuk-ujuk” bersikap defensif. Jika begitu, yaa… bisa dong terlihat “Taik-nya!”. Sebaliknya, dengarkan dengan seksama dan tanggapi dengan bijak. Juru bicara harus menghargai masukan dari publik. Jika ada kesalahan, akui dengan tulus dan berikan solusi karena sejatinya mereka adalah seorang problem solver.
5. Membangun Relasi dengan Media
Seorang juru bicara itu seperti influencer zaman now, tapi versi profesional. Hubungan mereka dengan media harus seperti sahabat yang saling percaya. Buat menjaga hubungan baik ini, juru bicara harus menjadi sumber informasi yang reliable buat para jurnalis.
Sederhananya, jangan membuat para wartawan sulit mendapatkan berita, beri mereka ruang yang mereka butuh, mulai dari data-data valid sampai penjelasan yang mudah untuk dipahami.
Dengan begitu, informasi yang di sebar ke publik juga bakal lebih akurat dan tidak mudah untuk disalahartikan. Poin-nya, juru bicara harus menjadi koin emas antara institusi dan publik, dengan media sebagai perantara.
6. Penguasaan Diri
Harus menjadi ‘Kapten kapal’ yang tetap tenang di tengah badai. Saat situasi mulai memanas dan tekanan menumpuk, penting untuk mereka tetap cool dan profesional. Benar, tidaklah mudah, tapi ini cara untuk menjaga reputasi.
Terbukti!
Fokus mereka hanya menyampaikan pesan dengan jelas agar semua paham. Konyol jika mereka terbawa emosi dan malah mempermalukan diri sendiri seperti yang sudah-sudah. Mereka harus menjadi influencer yang bisa menenangkan situasi dan membawa perubahan.
7. Belajar yang Banyak
Kesalahan itu guru terbaik, apalagi untuk seorang dengan tugas sebagai: “juru bicara”.
Setiap blunder yang mereka buat, setiap misstep yang mereka ambil, itu semua jadi pelajaran berharga. Dari situ, mereka bisa nge-review mana saja yang kurang sreg, mana aja yang bakal membuat blunder itu terjadi.
Yaa, bermain cantik dong!
Yang pasti, pengalaman pahit ini membuat mereka menjadi lebih kuat dan siap menghadapi tantangan berikutnya. “Jika masih ada yang membutuhkan kemampuan mu sebagai juru bicara” Intinya, kesalahan itu bukan akhir dari segalanya, tapi justru menjadi tombol untuk menaikkan level.
Suara Resmi Menyampaikan Pesan “Kami”
Memiliki peran sebagai seorang jubir, seperti ‘voice of reason’ di tengah hiruk pikuk informasi. Mereka harus bisa menjadi semacam ‘translator’ yang handal, menerjemahkan bahasa “kami sampaikan bahwa” dari institusi, menggunakan ‘bahasa’ yang nyaman untuk kita pahami.
Demi mendapatkan pemahaman dan kepercayaan.
Kepercayaan publik menjadi aset yang harus di jaga dengan baik. Dan sebagai ‘Juru Bicara’ tentu memiliki kemampuan dan kuasa untuk menjaga kepercayaan tersebut. Pesan yang jelas, terbuka, jujur, dengan sedikit basa-basi ala orang timur, tentu bisa membuat masyarakat percaya dengan institusi yang mereka wakili.
Emas bisa teruji dengan api, sahabat sejati kudu di uji dengan waktu. Juru bicara bagai tiang negara berdiri, Jika bicaranya tak jujur, publik ‘termasuk kami’, pasti menguliti. Jangan menjadi seperti si jubir: juru bisik.😁
Salam Dyarinotescom.