#KaburAjaDulu Viral! Apa yang Sebenarnya Terjadi?

  • Post author:
  • Post category:Did You Know
  • Post last modified:Februari 7, 2025
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing #KaburAjaDulu Viral! Apa yang Sebenarnya Terjadi?

“Kabur” menjadi kata yang tiba-tiba ramai di media sosial, terutama di platform X (dulu Twitter). Tagar #KaburAjaDulu viral, sebagai simbol kekecewaan dan frustrasi generasi muda terhadap kondisi di Indonesia. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa “kabur” menjadi pilihan yang ‘generasi muda’ pertimbangkan bahkan pilih?

Gak ada cara lain kah?

Fenomena #KaburAjaDulu ini bukan sekadar tren sesaat yang dijadikan guyonan. Lebih dari itu, ini adalah representasi suara hati generasi muda yang merasa tidak dihargai dan tidak memiliki masa depan yang jelas di negeri sendiri. “Negeri yang kata Bapaknya merdeka, 😧eeh ternyata, Tidak!”.

Mereka adalah generasi yang tumbuh di era digital, dengan ide-ide kreatif dan inovatif yang seharusnya bisa menjadi aset bangsa. Tentu saja ‘jengah’ dengan cara ‘mencla-mencle’ dari generasi senior nya. Mereka muak dengan perilaku korupsi berjamaah, menghabiskan anggaran tapi bilangnya “Negara gak punya uang!”. Dan alih-alih di dengarkan atau di fasilitasi, mereka justru sering diremehkan atas nama “kualitas”, tidak tertib dan tidak patuh.

 

Kami Merasa Diremehkan

Atas nama “kualitas”, sebuah kata yang seringkali di jadikan tameng oleh mereka yang enggan menerima perubahan, ide-ide segar dari anak muda mental begitu saja, ditolak. Mereka, para generasi “si bau kencur”, dianggap belum cukup “mumpuni” untuk berkontribusi secara signifikan, sebuah penilaian yang terkesan merendahkan potensi besar yang sebenarnya mereka miliki.

Para pelaku industri juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan jika mereka enggan menerima talenta-talenta muda yang idealis. Dalam logika pasar, yang mereka butuhkan adalah tenaga kerja yang efisien, berbiaya rendah, dan siap bekerja dalam kondisi apapun.

Mereka mencari “buruh murah” yang siap “di banting” dan bahkan “di jadikan budak” demi menekan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan. Dalam konteks ini, “anak bau kencur” seringkali di anggap sebagai beban dan gangguan yang menghambat efisiensi.

Negara, di sisi lain, tampak hanya “bengong” menyaksikan fenomena ini. Mereka seolah-olah tidak memiliki solusi atau bahkan tidak menyadari bahwa masalah ini adalah bom waktu yang siap meledak. “Ini di Konoha yaa ” mungkin hanya candaan, tetapi ironisnya, ini benar.

Negara ‘seolah-olah’ menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada pasar, tanpa intervensi yang berarti untuk melindungi kepentingan generasi muda dan memastikan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi secara optimal.

Padahal, alih-alih di beri label “belum siap pakai”, yang mereka butuhkan hanyalah kesempatan dan dukungan untuk mengembangkan diri, mengasah kemampuan, dan membuktikan bahwa mereka mampu menjadi bagian penting dari kemajuan bangsa.

Akibatnya, banyak anak muda yang merasa tidak memiliki tempat untuk berkembang di Indonesia, merasa suara mereka tidak di dengar, potensi mereka tidak di hargai, dan semangat mereka tergerus oleh sistem yang tidak bersahabat. Mereka merasa terasing di negeri sendiri, di mana seharusnya mereka menjadi bagian dari solusi, bukan malah menjadi masalah.

 

Mencari Peluang di Negeri Lain

Di tengah situasi yang tidak pasti, di mana harapan terasa kabur dan peluang di kebiri, seolah menjauh “kabur” menjadi opsi yang menarik bagi sebagian anak muda. Negeri lain, dengan segala gemerlapnya, menawarkan sesuatu yang menggiurkan: peluang karir yang lebih luas, lingkungan kerja yang lebih mendukung perkembangan diri, dan apresiasi yang lebih tinggi terhadap ‘Naruto’ muda.

Tak heran jika banyak anak muda yang mulai mencari informasi tentang beasiswa, lowongan kerja di luar negeri, atau bahkan proses “ganti KTP”. Mereka ingin “kabur” bukan karena tidak cinta Indonesia, atau tidak suka nasi gorengnya. Tapi karena ingin mencari tempat di mana mereka bisa di hargai dan berkontribusi secara optimal.

Mereka ingin hasil kerja mereka di hargai dengan penghasilan yang layak (bukan sekadar UMR yang pas-pasan), di mana waktu kerja yang fleksibel memberikan ruang untuk kehidupan pribadi, dan ‘penilaian’ di dasarkan pada kemampuan dan kinerja, bukan pada “anak siapa” atau koneksi keluarga.

Ingin membuktikan bahwa talenta muda Indonesia mampu bersaing di panggung dunia, bukan hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Mereka cukup sadar Negeri mereka masih terlalu muda untuk berpikir maju, hanya sebatas “apa yang bisa di mainkan”.

 

Tanggung Jawab Negara

Jika kita berbaik hati untuk merenungkan lebih dalam, fenomena #KaburAjaDulu ini adalah cerminan dari kurangnya tanggung jawab kolektif terhadap masa depan bangsa yang di dalamnya terdapat generasi muda.

Para pejabat, baik eksekutif maupun legislatif, seringkali hanya fokus pada kepentingan jangka pendek dan kelompok pendukung mereka. Mereka cenderung mengabaikan masalah-masalah penting yang menghambat perkembangan generasi muda, seperti birokrasi yang berbelit-belit, kurangnya lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian, dan sistem pendidikan yang menitikberatkan hanya untuk kebutuhan industri.

Generasi muda Indonesia, alih-alih di lihat sebagai aset bangsa yang potensial dengan ide-ide kreatif dan inovatif, seringkali hanya di nilai sebagai sekadar “Sumber Daya Manusia”, kebutuhan industri. Pelabelan ini mereduksi mereka menjadi komponen produksi semata, yang di siapkan untuk mengisi posisi-posisi pekerja sebagai buruh atau pegawai.

Sedih-nya:

Fokus mereka setelah menyelesaikan pendidikan bergeser dari upaya membangun sesuatu yang baru dan inovatif, menjadi sekadar mencari pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan. Mereka tidak termotivasi untuk menjadi entrepreneur atau innovator, karena sistem dan lingkungan yang ada tidak mendukung mereka ke arah sana.

Paradigma “Sumber Daya Manusia” ini secara tidak langsung membentuk mentalitas generasi muda yang cenderung konsumtif dan kurang berani mengambil risiko. Mereka lebih nyaman menjadi bagian dari sistem yang sudah ada, daripada menciptakan sistem baru yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.

Jadi-nya: “Pada kabur deh!”

Sedih? B saja.

Fenomena #KaburAjaDulu ini adalah alarm bagi negara. Ini adalah tanda bahwa ada sesuatu yang ‘bodoh’ dengan cara negara memperlakukan generasi mudanya. “sekali lagi ini di Konoha biar aman 😀” Negara harus berbenah diri, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak muda, dan memberikan mereka kesempatan untuk berkarya.

Perlakukan generasi muda seperti anak atau adik sendiri, niscaya negara akan tahu cara membina mereka.

Alih-alih menghabiskan anggaran untuk membayar lebih banyak Aparatur Negara yang kerjanya “absen, ngopi, udut, menggunakan fasilitas negara untuk ngonten” misalnya. Bukankah akan lebih bijaksana jika dana tersebut di alokasikan untuk mengembangkan talenta-talenta muda yang berpotensi menghasilkan karya dan inovasi?

Jangan sampai talenta-talenta muda ini justru “kabur” dan memilih untuk membangun masa depan di negeri orang. Negara harus sadar bahwa generasi muda adalah aset bangsa yang tak ternilai harganya.

Jika mereka merasa tidak di hargai dan tidak memiliki masa depan di Indonesia, mereka akan mencari tempat lain yang lebih menjanjikan. Ini adalah kerugian besar bagi bangsa “Kalah sebelum perang!”, Negara kehilangan potensi besar untuk membangun Indonesia yang lebih maju.

 

Bertindak atau Diam dan Hanya Melihat

#KaburAjaDulu bukan sekadar tagar viral yang numpang lewat. Ini adalah sebuah teriakan, sebuah panggilan mendesak untuk bertindak. Apakah kita akan terus berdiam diri dan menyaksikan generasi muda kita pergi mencari harapan di negeri orang, ataukah kita akan bergerak, berbenah diri, dan menciptakan Indonesia yang lebih baik bagi mereka?

Diam bukanlah pilihan yang bijak, Paman.

Setiap detik yang kita lewatkan adalah potensi yang hilang, dan bisa saja mereka tidak akan pernah kembali. “Mereka terlanjur betah di sana😂” Benar! Generasi muda tidak dengan mudah ‘tersakiti’ atas perlakuan negara terhadapnya, namun bukan berarti mereka tidak merasakan apa-apa.

Mereka hanya memilih untuk tidak larut dalam kekecewaan dan mencari jalan lain untuk meraih impian mereka. #ItuSaja

Nah, di balik semua itu, ada secercah harapan. #KaburAjaDulu bisa menjadi momentum penting untuk perubahan. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk merenungkan kembali apa yang sebenarnya di inginkan oleh generasi muda. Gen Z tidak hanya butuh pekerjaan, tapi juga pengakuan, apresiasi, dan kesempatan untuk berkontribusi.

Mereka ingin di dengar, bukan hanya di dikte. Mereka ingin menjadi bagian dari solusi, bukan hanya bagian dari masalah. Oleh karena itu, jadikan #KaburAjaDulu sebagai titik awal untuk membangun negara dengan kontribusi generasi muda, memperbaiki masa depan Indonesia.

Jika ‘Pasar’ belum bisa menerima mereka, Negara wajib merangkul mereka layaknya keluarga.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan