Demokrasi, yang seharusnya menjadi manifestasi dari kedaulatan rakyat, kini menjelma menjadi sebuah lelucon kampungan. Suara rakyat, yang notabene jantung pemerintahan, telah direduksi menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Praktik politik uang yang merajalela telah menodai ‘keperawanan demokrasi’, mengubah pesta rakyat menjadi ajang pembodohan pribumi.
Nilai-nilai luhur, seperti keadilan, kesetaraan, dan partisipasi aktif warga negara, perlahan memudar, bungkam, dan tergantikan oleh ambisi berkuasa “Ayo, pilih aku!”. Pilihan, yang semestinya menjadi dasar legitimasi, kini hanya dianggap sebagai alat tukar selain dollar dengan narasi “Aku berdiri disini!”
Jadi, Apakah…
Suara Rakyat Ditukar Dengan Uang?
Apa arti demokrasi jika suara rakyat, yang seharusnya menjadi kekuatan “People power!”, bisa ditukar dengan mata uang yang dicetak terbalik “Hari ini aku beri, besok semua kami gali”? Suara yang dulu bergema lantang menuntut perubahan, kini terbungkam busuk. Sembako murah, uang tunai, janji-janji manis, menjadi alat untuk membeli hati nurani.
Bayangkan,
sebuah pesta demokrasi yang seharusnya menjadi perayaan kedaulatan, berubah menjadi pasar malam. Di mana suara rakyat diperjualbelikan seperti barang dagangan. Suara para ibu bermuka kusam ‘karena gorengan’, dulunya berdoa berharap “Turunkan pemimpin yang amanah!”, kini hilang ditelan oleh godaan karena diajak tetangga. Tangan yang seharusnya mencoblos penuh keyakinan, kini terisi oleh uang lima puluhan “lumayan.”
Apa bedanya kita dengan sekumpulan domba yang dengan patuh mengikuti perintah sang gembala? Kehilangan otak sebagai warga negara, menyerahkan hak untuk menentukan nasib bangsa, kepada mereka yang berani meletakkan harga “berapa?”
Nah, Untuk memahami,
Lebih dalam melirih tantangan demokrasi, ada sebuah sebuah kisah ☺️. Kisah tentang desa yang ‘tenggelam dan punah’ karena kekuasaan yang didapat dari hasil praktik politik bayar, “Hari ini mereka bayar, besok… siap-siap terlantar!” di mana suara rakyat tak lebih dari sebuah komoditas dagang. Mengajak kita untuk meningkatkan harga diri, membuka hati, dan bersama-sama membelanjakan suara, menuju arah yang seharusnya.
Berikut ceritanya:
Nilaiku Hanya Sebatas Minyak dan Gula
Sebut saja
Desa Konoha, sebuah perkampungan sederhana di kaki Gunung Sintogendeng, tengah di liputi hiruk pikuk pemilihan kepala desa. Sejak berminggu-minggu sebelumnya, kampanye sudah marak. Spanduk warna-warni bergambar para calon menghiasi jalanan desa. Teriakan-teriakan kampanye pun tak henti-hentinya terdengar.
Ada tiga calon yang bertarung dalam pemilihan kali ini.
Pak Bayu, seorang tokoh agama yang di kenal alim dan bijaksana. Pak Tomo, mantan kepala desa yang ingin kembali berkuasa. Dan Mas Windu, pemuda energik yang membawa visi perubahan. Seiring berjalannya kampanye, suasana mulai memanas.
Isu-isu negatif bertebaran. Kampanye hitam pun tak terelakkan. Yang paling mengejutkan adalah maraknya praktik politik uang. Para calon, terutama Pak Tomo dan Mas Windu, dengan terang-terangan membagikan sembako kepada warga. Beras, minyak goreng, dan gula menjadi komoditas yang paling di cari.
“Nilaimu hanya sebatas minyak dan gula,” gumam Pak Bayu dalam hati, melihat warga berkerumun berebut sembako. Ia merasa sedih dan prihatin. Ia yakin, warga Konoha lebih cerdas dari itu. Mereka seharusnya memilih pemimpin berdasarkan visi dan misi, bukan semata-mata karena iming-iming materi.
Hari pemilihan pun tiba
Warga Konoha datang ke tempat pemungutan suara dengan membawa surat suara. Suasana tegang terasa di udara. Para saksi dari masing-masing calon mengawasi ketat jalannya pemungutan suara.
Setelah penghitungan suara selesai, hasilnya pun di umumkan. Pak Tomo berhasil memenangkan pemilihan dengan selisih suara yang cukup signifikan. Para pendukungnya bersorak kegirangan. Sementara itu, Pak Bayu dan Mas Windu hanya bisa menerima kekalahan dengan lapang dada.
Setelah di lantik menjadi kepala desa, Pak Tomo langsung tancap gas. Ia langsung merealisasikan janji-janjinya selama kampanye. Salah satu janjinya adalah membangun jalan desa yang rusak. Namun, kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Jalan yang di bangun kualitasnya sangat buruk dan hanya bertahan beberapa bulan saja.
Selain itu, Pak Tomo juga menjanjikan akan meningkatkan kesejahteraan warga dengan memberikan bantuan sosial secara berkala. Namun, janji tersebut hanya tinggal janji. Bantuan sosial yang di berikan sangat minim dan tidak merata.
Bukan gembira hanya ada kecewa
Kekecewaan warga Konoha semakin menjadi-jadi. “Kami telah di bohongi oleh Pak Tomo!”. Mereka sadar bahwa nilai mereka sebagai warga negara telah di rendahkan. Sadar bahwa mereka tolol. Mereka hanya di anggap sebagai objek yang bisa di manipulasi dengan mudah.
“Saya menyesal telah memilih Pak Tomo,” ujar salah seorang warga. “Saya terbujuk rayu dengan suap senilai sembako. Padahal, yang kami butuhkan adalah pemimpin yang membela kepentingan kita, berlaku jujur dan amanah.”
Nilaimu Lebih dari Sembako
Cerita yang sangat standar 😁 tapi bisa menjadi pelajaran untuk mengingatkan kita semua, “Jadi rakyat jangan bodoh, Politik uang itu penyakit.” Politik uang merusak badan dan kepala demokrasi. Kita harus memilih pemimpin yang benar-benar peduli tanah air beta, bukan pemimpin yang hanya mengejar kekuasaan dan materi.
Memang, praktik politik uang telah menjadi momok menakutkan dalam setiap pesta demokrasi kita. Namun, kita tidak boleh terjebak dalam lingkaran setan pesimisme. Sebaliknya, mari kita jadikan tantangan ini sebagai momentum untuk memperbaiki sistem politik kita.
Dengan meningkatkan kesadaran politik masyarakat, memperkuat pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu, dan memilih pemimpin yang berintegritas, kita bisa perlahan-lahan mencabut akar-akar praktik kotor ini. Ingat, demokrasi yang sehat adalah hasil dari perjuangan bersama, bukan hadiah yang datang dengan sendirinya.
Salam Dyarinotescom.