Deregulasi Ekonomi Seperti Apa Yang Cocok Untuk Kita?

You are currently viewing Deregulasi Ekonomi Seperti Apa Yang Cocok Untuk Kita?

Dalam tikungan kompleksitas ekonomi global, negara-negara berkembang berjuang untuk mengukir narasi kemajuan yang berkelanjutan. Di tengah pusaran arus perdagangan internasional yang dinamis, deregulasi ekonomi seringkali dipandang sebagai game plan strategis untuk membuka katup potensi yang selama ini terpendam. Namun, implementasinya memerlukan kehati-hatian layaknya seorang pemain catur pro.

Pertanyaan bagi kami adalah: formula deregulasi seperti apa yang paling ‘besar chance-nya” dengan karakteristik unik dan tantangan inheren yang dihadapi oleh entitas ekonomi yang sedang bertransformasi ini? Jangan sampai dong kebijakan yang dimaksudkan sebagai catalyst justru berbalik menjadi detriment.

Konstelasi geopolitik yang volatil, ditandai dengan eskalasi perang dagang yang diprakarsai oleh hegemoni ekonomi adidaya, memaksa negara-negara berkembang untuk melakukan introspeksi mendalam terhadap arsitektur regulasi ekonomi yang selama ini dianut.

Ketergantungan yang berlebihan pada rantai pasok global yang terfragmentasi telah menjadi wake-up call yang menggugah kesadaran kita semua akan perlunya diversifikasi dan penguatan ketahanan ekonomi domestik.

Dan tentu saja!

Deregulasi yang dirancang secara cermat “kita harapkan” mampu menjadi magnetic force untuk menarik investasi yang lebih adaptif dan menstimulasi inovasi lokal, sehingga negara-negara berkembang tidak hanya menjadi price taker di pasar global, melainkan juga mampu mengukuhkan posisinya sebagai value creator.

 

Menakar Deregulasi, Resep Ekonomi Maju untuk Negara Berkembang?

Dalam kaitan ekonomi global pasca-perang dagang yang penuh dengan uncertainty, negara berkembang seperti Indonesia, misalnya, berada pada momentum krusial untuk merumuskan ulang resep regulasi ekonomi.

Deregulasi di sini bukan sekadar tindakan ‘Pruning’ terhadap lapisan birokrasi yang menghambat, melainkan sebuah exercise strategis untuk menciptakan enabling environment yang kondusif bagi pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

Pasti-nya: Perlu melakukan deep dive analysis untuk mengidentifikasi sektor-sektor strategis yang memiliki high leverage terhadap pertumbuhan ekonomi dan mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar.

Misalnya, deregulasi yang menyasar kemudahan perizinan investasi di sektor manufaktur berorientasi ekspor atau insentif fiskal untuk riset dan pengembangan teknologi. Tujuannya adalah menciptakan multiplier effect yang akan mengalir ke berbagai lapisan ekonomi, bukan sekadar memberikan short-term relief.

 

Bisakah Deregulasi Jadi Jalan Pintas Menuju Kemajuan Ekonomi?

Optimisme membara dan visi kepemimpinan yang forward-thinking seringkali memunculkan ekspektasi bahwa deregulasi dapat menjadi silver bullet untuk mempercepat laju kemajuan ekonomi.

Deregulasi yang tepat sasaran, misalnya, memang berpotensi untuk memberikan initial surge melalui peningkatan efisiensi dan daya tarik investasi. Namun, pandangan yang lebih nuanced “Tidaklah hitam putih atau sederhana. Ia memiliki berbagai aspek, sudut pandang, atau tingkatan yang perlu dipertimbangkan untuk memahami keseluruhannya secara akurat.“

Dan ini kita perlukan.

Kemajuan ekonomi yang sustainable adalah hasil dari akumulasi berbagai faktor fundamental. Deregulasi harus berjalan sinergis dengan penguatan institusi hukum, pemberantasan praktik korupsi yang sistemik, dan investasi strategis dalam pengembangan sumber daya manusia serta infrastruktur yang memadai.

Semangat yang membara tanpa blueprint yang solid dan eksekusi yang cermat ibarat Bahan bakar dengan octane tinggi tanpa mesin yang mumpuni.

 

Jadi, Deregulasi Ekonomi Seperti Apa Yang Cocok Bagi Kita

Mengurai benang kusut regulasi ekonomi di Indonesia memerlukan ‘pemahaman’ akan unique selling proposition bangsa ini di panggung global. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan biodiversity yang stunning dan warisan peradaban yang kaya, Indonesia memiliki modalitas yang tak ternilai.

Bisa saja:

Posisi geografis yang strategis di jalur perdagangan internasional, demografi booming dengan potensi pasar domestik yang massive, serta kekayaan alam yang seharusnya menjadi sovereign wealth. Nah, semua ini adalah assets yang harus di optimalkan, bukan di eksploitasi untuk kepentingan eksternal.

Deregulasi ekonomi yang tepat bagi Indonesia haruslah tailor-made, bukan sekadar copy-paste dari model negara lain. Kita perlu merancang kebijakan yang in line dengan local wisdom dan aspirasi untuk kemandirian ekonomi.

Resep deregulasi ekonomi untuk Indonesia harus mempertimbangkan posisinya sebagai emerging market dengan dinamika internal yang khas. Karakter masyarakat yang communal, letak geografis yang menantang dalam hal konektivitas, dan sejarah peradaban yang mengajarkan tentang gotong royong harus menjadi guiding principles.

Pasti benar,

Deregulasi yang hanya berorientasi pada free market tanpa memperhatikan aspek keadilan sosial dan pemerataan pembangunan berpotensi menciptakan disruptive innovation yang justru memperlebar jurang ketimpangan.

Oleh karena itu,

Deregulasi yang ideal adalah yang mampu menciptakan win-win solution, mendorong investasi dan efisiensi tanpa mengorbankan kearifan lokal dan semangat kebangsaan. Kita perlu level up daya saing global, namun dengan tetap menjaga national interest sebagai core business.

Lantas, Deregulasi Seperti Apa Yang Pas Untuk Indonesia?

Jawabannya:

Terletak pada kebijakan yang mampu menciptakan enabling ecosystem bagi pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

Ini berarti deregulasi yang memangkas red tape yang menghambat UMKM (the real backbone ekonomi lokal), mendorong investasi pada sektor-sektor high-value added yang berbasis pada kekayaan alam dan kekayaan manusia lokal, serta memastikan transfer teknologi yang bermanfaat bagi kemandirian bangsa.

Ingat: Tidak ada manusia bodoh, yang ada hanyalah manusia yang belum tau dan tugas Pemerintah-lah memberikan pendidikan dan pelatihan. Jika itu kita maksudkan dengan “kekayaan manusia lokal.”

Lebih jauh lagi,

Deregulasi harus mampu memberantas praktik rent-seeking dan menciptakan level playing field yang adil bagi semua pelaku ekonomi. Kita tidak ingin menjadi sekadar raw material supplier bagi negara lain, tetapi menjadi pemain kunci dalam global value chain dengan produk dan jasa yang berdaya saing tinggi.

PoV-nya:

Deregulasi ekonomi yang cocok untuk Indonesia bukanlah one-size-fits-all solution. Ia harus di ramu dengan mempertimbangkan secara matang DNA bangsa ini: kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduk yang besar sebagai potensi pasar dan tenaga kerja, letak geografis yang strategis, dan sejarah peradaban yang kaya.

Dan, satu kebijakan deregulasi yang efektif pasti mampu dan harus! mengoptimalkan local content, memberdayakan ekonomi kerakyatan, dan menarik investasi yang berorientasi pada pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.

 

Jangan Asal Deregulasi! Ini Kunci Sukses Ekonomi Negara Berkembang

Jawab dulu: “Apakah Bapak cukup berani melakukan leapfrog menuju ekonomi yang lebih efisien dan berdaya saing, namun tetap berpegang pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika dalam mewujudkan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia?”

Nah, jika iya, bagi negara berkembang yang berambisi untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui deregulasi, terdapat beberapa pilar krusial yang tidak dapat di abaikan.

Sebut saja:

 

1. Robust Institutional Framework

Fondasi kelembagaan yang robust, transparan, dan akuntabel bukan lagi sekadar wishlist, melainkan sebuah policy imperative, sebuah non-negotiable mandate yang wajib di implementasikan secara end-to-end.

Kepastian hukum yang predictable dan enforceable, independensi lembaga peradilan yang unbiased dan kredibel, serta good governance yang terinternalisasi dalam setiap layer birokrasi, merupakan ‘sarapan pagi’ yang secara eksponensial mampu menumbuhkan investor confidence dan business trust.

Tanpa pilar-pilar ini berdiri kokoh, tentu saja, upaya deregulasi ekonomi sehebat apapun hanya akan menjadi ‘taik kucing’, gagal mewujudkan sustainable growth dan prosperity. Ibarat membangun unicorn, fondasi yang lemah hanya akan membuatnya rentan burnout sebelum mencapai scale-up yang sesungguhnya.

 

2. Strategic Human Capital Investment

Pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui sistem pendidikan dan pelatihan vokasi yang link and match dengan dinamika serta proyeksi kebutuhan industri di era knowledge-based economy ini merupakan competitive edge yang esensial bagi negara berkembang untuk dapat bersaing secara head-to-head di kancah global.

Maksudnya begini, negara berkembang perlu secara baik menciptakan talent pool yang tidak hanya kompeten dalam penguasaan hard skills, namun juga memiliki agility dalam beradaptasi, kaya akan soft skills seperti critical thinking dan kolaborasi, serta berjiwa inovatif layaknya para disruptor di Silicon Valley.

Dan kejujuran adalah harga mati dari nilai tertinggi dari kualitas SDM lokal. Investasi masif dalam human capital adalah game changer untuk mentransformasi potensi demografi menjadi demographic dividend yang sesungguhnya.

 

3. World-Class Infrastructure Development

Pembangunan infrastruktur fisik yang kokoh dan merata di seluruh nusantara, mulai dari smart city dengan mobilitas terintegrasi hingga kawasan industri yang terkoneksi dengan rantai pasok global, serta pembangunan infrastruktur digital yang andal dan berkapasitas gigabit, menjangkau hingga ke wilayah tier-3, merupakan fondasi utama (backbone) yang krusial bagi terciptanya aktivitas ekonomi yang efisien dan berdaya saing tinggi.

Konektivitas yang terjamin dan berkualitas baik, yang terwujud melalui infrastruktur yang memadai, akan secara signifikan menurunkan transaction cost logistik dan komunikasi antar wilayah, memfasilitasi pergerakan barang, jasa, dan informasi secara real-time, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan daya saing produk dan jasa Indonesia di pasar domestik maupun internasional dalam era borderless economy ini.

 

4. Adaptive and Evidence-Based Regulation

Deregulasi yang efektif harus-nya satu kebijakan yang di bangun di atas landasan analisis yang komprehensif serta data yang evidence-based dan teruji validitasnya, bukan sekadar wishful thinking apalagi ‘fabrikasi angka hasil proyeksi’ dari para konsultan yang bekerja berdasarkan milestone pembayaran per termin.

Kebijakan ini juga di tuntut memiliki kelincahan adaptif (adaptive agility) terhadap turbulensi dan pergeseran paradigma dalam dinamika pasar global yang serba VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).

Mengadopsi pendekatan one-size-fits-all, tanpa mempertimbangkan konteks unik dan spesifikasi sektoral di Indonesia, berpotensi kontraproduktif dan alih-alih menjadi solusi, justru menjelma menjadi unintended consequence yang kontraproduktif bagi kemajuan ekonomi nasional.

 

5. Fair and Competitive Market Ecosystem

Menciptakan level playing field yang benar-benar adil, transparan, serta terbebas dari praktik rent-seeking yang merugikan memang bukan pekerjaan one-night stand. Tantangannya seringkali struktural dan melibatkan vested interests yang kuat.

Kita harus berani mendobrak mentalitas “rakus seperti orang kelaparan” yang kerap kali berakar pada praktik patronase dan nepotisme. Jangan dong sampai lagi terdengar ungkapan sinis “ini anak siapa, keponakan siapa?”. Itu jelas bukan best practice “main taik tapi mengaku bersih”, melainkan sebuah kemunduran yang kontraproduktif.

Sejatinya, fondasi inilah yang akan menjadi prime mover untuk mendorong gelombang inovasi dan semangat kewirausahaan yang disruptive. Persaingan yang sehat, tanpa distorsi akibat praktik business as usual yang koruptif, akan secara eksponensial memacu efisiensi dan kualitas produk serta layanan di berbagai sektor.

 

Rahasia Deregulasi Efektif: Belajar dari Kisah Sukses

Kisah transformasi ekonomi yang di alami oleh negara-negara berkembang menuju kemajuan, memberikan insight berharga mengenai bagaimana regulasi yang strategis, termasuk deregulasi yang terukur, mampu mengantarkan sebuah negara menuju kemajuan yang signifikan.

Mereka tidak hanya melakukan policy adjustment, tetapi juga membangun ekosistem yang kondusif bagi inovasi dan investasi jangka panjang. Mereka memahami bahwa regulasi yang efektif bukanlah sekadar pelonggaran aturan, melainkan penciptaan kerangka kerja yang mendukung pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Belajar dari keberhasilan “Bapak mu dulu”, dan kegagalan masa lalu akan menjadi catatan yang menuntun negara berkembang dalam merumuskan resep deregulasi yang tepat untuk meraih masa depan yang lebih baik.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan