Harvard: Nekat Menguatkan Nilai Tawar Rupiah dalam Semalam

You are currently viewing Harvard: Nekat Menguatkan Nilai Tawar Rupiah dalam Semalam

Bangun tidur pagi ini, nilai tukar Rupiah kita tiba-tiba melesat, memecahkan rekor, bahkan membuat Dolar USD Amerika panik? Kedengarannya seperti fantasi yang agak gila. Tapi mari kita jujur, diskusi soal penguatan Rupiah di negeri ini seringkali membosankan: “Naikkan suku bunga!” “Jaga inflasi!” “Tarik investasi!”. Solusi-solusi ini benar, tapi bagaimana yaa ngomong-nya, kita itu sudah mendengar dongeng beginian sejak zaman kaset pita, lho. Rasanya seperti menonton film horor yang sama: si hantu pasti muncul dari belakang pintu yang sama. Hasilnya? Rupiah stabilnya sesaat, lemahnya bertahun-tahun.

Kocak!

Ironisnya, kegelisahan para ekonom di kampus-kampus elite dunia “seperti yang sering dibahas di Harvard atau MIT” ceritanya, justru bukan pada teori lama, melainkan pada kreativitas. Mereka sadar bahwa di era guncangan global tak terduga (Black Swan Events), solusi yang paling logis terkadang adalah yang paling nyeleneh.

Mereka melihat Indonesia bukan hanya sebagai negara komoditas, tapi sebagai laboratorium unik yang punya aset-aset tak ternilai, yang sayangnya, belum pernah kita negosiasikan harganya ke dunia. Bayangkan, kita punya hutan tropis, kekayaan budaya, dan basis populasi muda yang dijadikan alat negosiasi, bukan sekadar objek yang dieksploitasi.

Cakep?

 

Bisa Bikin Rupiah Sekuat Dolar! Yakin?

Bisa Bikin Rupiah Sekuat Dolar! Tentu saja. Kenapa kita harus merasa rendah diri?

Masalahnya, kita selalu berpikir penguatan mata uang itu urusan tukang sulap bernama Bank Sentral (BI), yang kerjanya hanya menaikkan suku bunga. Kebijakan ini, yang sering disebut ortodoksi moneter, memang bisa menarik hot money (modal asing jangka pendek), tapi itu ibarat memberi permen pada anak kecil.

Manisnya bentaran doang, habisnya cepat, dan dia langsung merengek lagi. Selama ini, para pengelola negara kita seolah-olah hanya menunggu sinyal dari The Fed (Bank Sentral AS) untuk mengambil keputusan, menunjukkan perilaku subordinasi ekonomi yang memalukan.

Coba kita berpikir ala wiro sableng.

Dolar AS kuat karena seluruh dunia membutuhkannya untuk minyak, bayar hutang, dan untuk investasi. Rupiah kita lemah karena dunia tidak terlalu butuh Rupiah untuk melakukan transaksi penting.

Kenapa kita biarkan ini terjadi?

Kita punya cadangan nikel terbesar di dunia, kita punya keindahan alam yang tak tertandingi. Namun, kita membiarkan dunia membayar aset berharga ini dengan mata uang mereka sendiri, lalu kita yang repot-repot mencari Dolar untuk membeli barang konsumsi yang sepele.

Gila gak tuuh!

Ini adalah kebodohan struktural. Sori yee.

Narasi yang harus kita bangun adalah: Jika kamu ingin sesuatu yang hanya dimiliki Indonesia, kamu harus membayar dengan mata uang Indonesia. Semudah itu. Jika pengelola negara kita masih berkutat pada kebijakan lama, mereka menunjukkan bahwa mereka gagal mengubah pola pikir yang sudah kadaluarsa.

Kita harus mengkritik keras: kenapa kita tidak pernah berani menggunakan aset unik ini sebagai senjata tawar untuk mendongkrak nilai mata uang kita sendiri? Kenapa selalu kita yang mengemis Dolar, padahal kitalah yang punya barangnya?

Bukan tentang magic. Tapi, gegara Purbaya Efek 😂 …

Ini tentang menciptakan permintaan monopoli terhadap Rupiah. Jika kita bisa membuat Rupiah menjadi kunci eksklusif untuk mengakses aset super penting di dunia, secara otomatis nilai tawarnya akan melonjak, membuat Dolar AS tidak lagi menjadi satu-satunya raja di pasar finansial kita.

 

Nilai Tawar Mata Uang Meningkat!

Setelah kita sepakat bahwa solusi konvensional itu hanya pil penenang sementara, mari kita jajal beberapa strategi nyeleneh yang, jika dilakukan secara konsisten, akan membuat Rupiah memiliki nilai tawar yang fundamental. Ini adalah strategi yang menggabungkan psikologi pasar, teknologi, dan keunggulan strategis kita yang unik.

Menurut kamu, apakah bisa dengan:

 

1. “The Global Green Key”: Mata Uang untuk Kunci Karbon Eksklusif

Ini dia jurus paling gila. Kita tetapkan bahwa seluruh transaksi Carbon Credit (carbon offset) yang berasal dari Hutan Hujan Tropis Indonesia (yang menjadi paru-paru dunia) hanya dapat dibeli menggunakan Rupiah.

Jadi gini Paman: Bayangkan para konglomerat di New York dan London, yang jet pribadinya menghasilkan banyak emisi karbon, kini harus membeli Rupiah di pasar valas hanya untuk membersihkan dosa lingkungan mereka. Rupiah kita, yang tadinya hanya “uang receh” di mata mereka, kini menjadi kunci surga hijau.

Ini adalah power play kita.

Jika mereka mau terus bernapas dengan nyaman, mereka harus menukarkan Dolar mereka. Kita menjadikan Rupiah sebagai gatekeeper iklim global. Siapa bilang negara tropis tidak bisa memimpin pasar finansial global?

Lalu bagaimana dengan:

 

2. “Digital Nusantara Gold”: Rupiah Berbasis Kelangkaan Mutlak

Kita ubah mata uang Rupiah Digital Bank Sentral (CBDC) menjadi mata uang digital dengan jumlah yang terbatas (fixed supply), didukung cadangan emas.

Lupakan Bitcoin! Sudah gak jelas mainan itu.

Begini saja …

Kita menciptakan Digital Nusantara Gold, versi Rupiah yang tidak bisa dicetak sembarangan oleh bank sentral manapun. Ini adalah upaya kita menjadikan Rupiah aset cadangan yang lebih stabil dan langka daripada mata uang fiat tradisional negara maju yang hobinya mencetak uang.

Kita memberikan warning keras kepada dunia: “Uang kami tidak hanya kertas, tapi juga langka!” Investor yang paranoid terhadap inflasi global akan memburu Rupiah Digital ini sebagai aset safe haven, menciptakan permintaan global yang stabil.

 

3. “The FDI Power Play”: Pajak Transaksi Wajib Rupiah

Kita membuat Undang-Undang yang mewajibkan semua pembelian aset strategis (misalnya saham mayoritas BUMN, akuisisi lahan industri, dll.) oleh investor asing harus diselesaikan 100% menggunakan Rupiah.

Ribet kawan? Kepala botak-mu itu yang ribet!

Selama ini, investor datang membawa Dolar, menukarnya di dalam negeri, lalu Dolar itu langsung dibawa kabur lagi untuk impor. Sekarang kita bilang: “Jika kamu ingin membeli aset terbaik kami, kamu harus membeli Rupiah kami dulu di pasar internasional, lalu tahan di sini!”

Ini adalah strategi pemaksaan permintaan.

Kita memaksa para global capital untuk mengakumulasi Rupiah demi mendapatkan akses ke investasi terbaik kita. Mereka harus menaikkan nilai Rupiah di pasar sebelum berinvestasi. Boom!

 

4. “Lifestyle Patriotism”: Tren Menjijikkan Barang Impor

Meluncurkan kampanye nasional masif yang mengubah persepsi bahwa barang impor itu keren. Kampanye ini harus didukung influencer yang tidak kampungan, menjadikan membeli barang impor ”terutama barang mewah” sebagai tindakan “tidak nasionalis” dan “menyedot devisa.”

Nih ya, daripada flexing dengan tas branded dari Paris, mendingan kita flexing dengan produk UMKM yang kualitasnya setara. Kulit kita punya, apa lagi! Barang impor menjadi “memalukan” karena berarti kita tidak cinta Rupiah dan secara tidak langsung membantu memperlemah mata uang kita sendiri.

Ini adalah tekanan psikologi pasar.

Kita harus menghilangkan mindset bahwa Rupiah adalah mata uang kelas dua yang hanya cocok untuk membayar mi instan. Ketika permintaan Dolar untuk membeli impor mewah turun drastis, tekanan pelemahan Rupiah akan hilang begitu saja.

 

5. “Bali Premium”: Kawasan Wisata Rupiah-Only

Menetapkan beberapa kawasan pariwisata super-premium (misalnya, resort tertentu di Bali, Mandalika, atau Labuan Bajo) sebagai zona Rupiah-Only. Seluruh transaksi, mulai dari hotel bintang tujuh hingga restoran fine dining, wajib menggunakan Rupiah.

Bayangkan turis Eropa datang ke Bali, berniat membayar dengan Euro, tapi ditolak mentah-mentah. “Maaf Tuan, di sini Rupiah adalah rajanya. Silakan tukar dulu di bank lokal kami, ya!”

Ini adalah cara kita menunjukkan kedaulatan ekonomi di wilayah yang paling diminati dunia. Kawasan Rupiah-Only ini akan menciptakan permintaan Rupiah yang captive dan mengalirkan devisa langsung ke perbankan lokal, bukan ke kantong spekulan di luar negeri.

 

Tapi Mengapa Tak Segera Dilakukan? Ada Apa, Bro?

Hadehhh.

Setelah membuka jurus-jurus nekat yang sungguh fundamental dan keren ini, pertanyaan yang muncul selalu sama: Tapi mengapa kita tidak segera melakukannya? Mengapa para ‘pejabat’ kita seolah-olah buta, tuli, dan bisu terhadap solusi yang mengubah permainan ini? Jawabannya, sayang sekali, seringkali tidak serumit teori ekonomi, melainkan se-dramatis film Korea cengeng tentang perebutan kekuasaan.

Kita terlambat, karena kita terjebak dalam mentalitas rent-seeker. Kebijakan “nyeleneh” yang kita bahas ini, seperti mewajibkan DHE (Devisa Hasil Ekspor) masuk atau memaksa pembayaran Carbon Credit dengan Rupiah, akan melukai kepentingan dan komplotan yang selama ini menikmati bisnis berbasis Dollar.

 

Dollar gak tuh!

Ketika Rupiah kuat, mereka yang punya utang Dolar akan senang banget, tapi mereka yang menyimpan kekayaan di luar negeri atau berbisnis ekspor komoditas mentah dengan harga murah akan protes.

Ada kekuatan bayangan, kartel Dolar, yang merasa nyaman dengan status quo di mana Rupiah harus selalu mengikuti kehendak Dolar. Mereka mendapatkan untung dari spread (selisih) nilai tukar dan dari kebebasan menyimpan Dolar di luar negeri.

Menerapkan strategi nekat ini berarti melawan mereka secara frontal. Ini bukan hanya perang kebijakan, tapi perang politik yang memerlukan pemimpin dengan keberanian sekeras baja, yang rela mengorbankan popularitas jangka pendek demi kedaulatan ekonomi bangsa.

Melihat kelambanan ini, sungguh kita merasa seperti menonton adegan paling ‘nyemek’ dalam drama Korea: kita sudah tahu siapa dalangnya, sudah tahu apa solusinya, tapi si tokoh utama (pemerintah) ragu-ragu karena takut kehilangan atau ditekan oleh kekuatan pria berkumis, misalnya.

Padahal, yang harus kita lakukan hanyalah berdiri, menggunakan aset-aset kita sebagai alat negosiasi, dan mengatakan kepada dunia: “Indonesia kini bermain dengan aturan main kami sendiri!” Hingga hari itu tiba, kita hanya bisa menelan ludah melihat potensi besar ini terbuang percuma karena ketidakberanian dan ketololan segelintir elite yang hanya memikirkan perut sendiri.

 

Eeh Ternyata Cuma Mimpi

Setelah semua omon-omon yang bikin semangat, mari kita kembali ke realitas. Sadar kawan. 😂

Denting jam weker berbunyi. Tiba-tiba kita sadar, Rupiah kita masih berjuang keras melawan Dolar di level yang sama, dan ide-ide ‘gak jelas’ tadi masih teronggok manis di atas meja rapat yang entah kapan akan dibuka.

Ternyata, semua ide radikal itu hanyalah bunga tidur yang indah setelah semalaman begadang memikirkan cicilan.

Ide-ide seperti Digital Nusantara Gold dan Carbon Credit Rupiah-Only mungkin terlalu mahal untuk dieksekusi, apalagi jika melihat mental para pengambil keputusan yang lebih nyaman melakukan apa yang sudah biasa, bukan apa yang benar.

Kita sadar, menguatkan nilai tawar mata uang dalam semalam mungkin hanya bisa terjadi di film superhero, di mana si pahlawan ekonomi muncul dengan jubah merah dan palu Thor untuk memukul mundur para spekulan.

Namun, di balik semua lelucon dan kekecewaan ini, ada satu hal yang pasti: ide-ide tersebut menunjukkan jalan. Jalan dimana, kita masih punya sosok kredibel seperti: Pak Purbaya, yang diyakini masih memegang teguh jalur kebijakan yang lurus dan fundamental.

PoV-Nya: Rupiah tidak akan pernah kuat selama kita terus memposisikannya sebagai mata uang pengikut, bukan pemimpin. Jadi, meskipun saat ini ide-ide tadi masih mimpi basah para ekonom gila, kamu sebagai pembaca sudah tahu rahasianya.

Sadari, kekuatan mata uang sejati tidak terletak pada seberapa banyak cadangan yang kamu miliki, tapi pada seberapa besar kepercayaan dan kebutuhan eksklusif yang kamu ciptakan.

Terserah, mau kalian anggap ini lelucon atau narasi masa depan yang baik. Yang pasti, kami sudah berani memimpikannya.

Gue Ratna.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Leave a Reply