Ketika Kearifan Lokal Gagal: Perlukah Kita Mengimpor Ulama?

You are currently viewing Ketika Kearifan Lokal Gagal: Perlukah Kita Mengimpor Ulama?

Perlukah Kita Mengimpor Ulama? – Mungkin kamu sering dengar istilah “kearifan lokal” itu ibarat rempah-rempah yang bikin masakan jadi sedap, kan? Identitas yang bikin kita beda dari bangsa lain. Tapi, kalau rempah-rempah ini malah bikin lidah berantem karena saking pedasnya, atau lebih parah, jadi racun perpecahan, apa masih bisa disebut kearifan? Jujur saja, bro, fenomena yang belakangan ini terekspos di mana-mana, di layar ponsel kita, menunjukkan kalau kearifan lokal kita, khususnya dalam ranah keagamaan, lagi tidak baik-baik saja.

Paman tahu, ini mungkin terdengar agak “nyeleneh” bahkan provokatif bagi sebagian orang. Tapi, coba deh kita jujur pada diri sendiri. Ketika yang seharusnya menjadi penuntun justru saling menggunting kain, mempertontonkan arogansi keilmuan yang berujung pada caci maki, dan membuat orang awam bingung tujuh keliling, bukankah ini tanda bahaya? Pertanyaan “Perlukah kita mengimpor ulama?” bukan lagi sekadar guyonan, tapi mungkin refleksi getir dari sebuah realita yang bikin kita geleng-geleng kepala.

 

Bukan Debat, tapi Perpecahan: Titik Nadir Dakwah dan Gagasan ‘Impor’ Ulama

Seringkali kita disuguhi “debat” yang pada akhirnya lebih mirip arena tinju verbal daripada diskusi ilmiah. Ambil contoh, paman pernah melihat sendiri bagaimana seorang “Ustad Udin,” yang konon lulusan Mesir, bertarung kata dengan “Gembul,” seorang influencer yang mencoba memahami fenomena. Ini misalnya yaa… 😁

Alih-alih tercerahkan, Gembul malah babak belur, dihujani “rujakan” dan dibully habis-habisan oleh Ustad Udin, di ikuti para pengikutnya yang masih bisa dikatakan “kosong tapi sok pintar”. Teriakan “bodoh” dan sumpah serapah lainnya menggema, membuat kita yang nonton ikutan malu sendiri. Ini bukan lagi soal perbedaan pandangan, tapi sudah masuk ke ranah pembantaian karakter.

Yang lebih miris lagi, fenomena ini bukan satu-satunya.

Di jagat maya ‘saluran agak lain’, seringkali kita saksikan para “ulama” senior yang seharusnya menjadi panutan, justru asyik saling sindir dan menjatuhkan. Ajaran mereka yang dianggap paling benar, menjadi senjata untuk menyerang pihak lain yang berbeda penafsiran. Tontonan ini bukan hanya disaksikan umat Muslim, lho, tapi juga teman-teman non-Muslim kita. Bayangkan, apa yang terlintas di benak mereka saat melihat panutan agama saling menjatuhkan di ranah publik?

Situasi ini, pasti menciptakan keretakan sosial yang parah.

Bingung bukan kepalang, orang awam jadi sulit membedakan mana yang benar, mana yang cuma nafsu pribadi yang dibalut jubah agama plus mencari cuan dan ketenaran. Bukankah ironis ketika kita bisa begitu toleran pada pemeluk agama lain, tapi justru saling bergesekan dengan sesama Muslim hanya karena beda tafsir? Ini adalah titik nadir dakwah, di mana pesan damai terganti dengan bisingnya friksi.

Maka, pertanyaan “perlukah kita mengimpor ulama?” mulai mengemuka.

Bukan dalam artian harfiah membeli ulama dari luar negeri, ya. Tapi lebih kepada mencari sosok “ulama bijak” yang mampu melihat masalah dengan jernih, tanpa embel-embel golongan, dan fokus pada solusi. Ulama yang bisa menjadi “jembatan” bagi perbedaan, bukan malah memicu perpecahan.

 

Menimbang Gagasan ‘Impor’ Ulama

Gagasan untuk “mengimpor” ulama ini, kalau kita pikirkan lebih dalam, bukan berarti kita meragukan kapasitas ulama lokal. Tapi lebih kepada mencari perspektif baru dan mungkin, metode dakwah yang lebih inklusif. Kita butuh sosok yang bisa menengahi, mendinginkan suasana, dan membawa pencerahan tanpa harus menambah bara.

Berikut ‘menurut kami yang orang awam ini‘, beberapa kriteria ulama “impor” yang mungkin cocok dengan karakter masyarakat Indonesia yang multikultural dan punya sejarah panjang. Misalnya:

 

1. “The Peacekeeper”: Ahli Rekonsiliasi Multikultur

Indonesia adalah mozaik budaya yang indah, dan sejarah penjajahan telah membentuk kita menjadi bangsa yang tangguh namun juga rentan terhadap perpecahan. Kita butuh ulama yang bukan cuma paham agama, tapi juga punya sensitivitas tinggi terhadap keberagaman budaya dan pemikiran. Mereka harus mampu merekatkan kembali tali persaudaraan yang sempat koyak, menjadi ahli rekonsiliasi yang memahami bahwa perbedaan adalah keniscayaan, bukan musuh.

 

2. “The Bridge Builder”: Penghubung Tafsir Tanpa Diskriminasi

Sebagian besar penduduk Indonesia masih bisa kita katakan maaf kata: “kosong” dalam pemahaman mendalam tentang penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka butuh ulama yang mampu menjelaskan dengan bahasa yang mudah dicerna, tanpa kesan menggurui atau memaksakan satu penafsiran saja. Ulama “impor” ini harus jadi jembatan yang menghubungkan khazanah keilmuan yang beragam, tanpa membedakan mazhab atau golongan.

 

3. “The Humbler”: Sosok Rendah Hati Anti “Star Syndrome”

Di era digital ini, banyak “selebriti” agama yang mungkin terjebak dalam “star syndrome.” Kita butuh ulama yang jauh dari kesan angkuh, yang ilmu dan kebijaksanaannya terpancar dari kerendahan hati. Mereka harus bisa jadi teladan bagaimana menuntut ilmu dan menyampaikan kebenaran tanpa merasa paling benar, jauh dari intrik media sosial atau haus pengakuan.

 

4. “The Solutionist”: Pemberi Solusi, Bukan Pencipta Masalah Baru

Fenomena debat kusir yang berujung pada caci maki seringkali menghasilkan masalah baru, bukan solusi. Kita butuh ulama yang orientasinya solusi-sentris. Mereka harus mampu mengurai benang kusut perselisihan, menawarkan jalan tengah yang bisa diterima semua pihak, dan mengajarkan umat untuk fokus pada esensi ajaran, bukan pada perdebatan remeh yang tak berkesudahan.

 

5. “The Empath”: Peka Terhadap Realita Sosial

Masyarakat Indonesia, dengan segala kompleksitasnya, membutuhkan ulama yang tidak hanya berteori, tapi juga peka terhadap realita sosial. Mereka harus mampu memahami persoalan-persoalan kekinian yang dihadapi umat, dan memberikan panduan yang relevan serta aplikatif, bukan cuma dogma yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Empati adalah kunci untuk dakwah yang menyentuh hati.

 

“Rujakan” Ulama di Sosmed: Salah Makan, Atau Salah Paham Ajaran?

Entah bagaimana, perdebatan antar ulama di media sosial sekarang ini terasa seperti panggung komedi gelap yang bikin kita miris.

Seringkali, alih-alih saling adu argumen dengan dalil yang kuat dan etika yang santun, yang terjadi justru “rujakan” massal. Mereka saling menyalahkan, saling mencibir, bahkan tak jarang mengeluarkan kata-kata kasar yang sungguh jauh dari esensi ajaran Islam yang mengajarkan kelemahlembutan. Ini bukan lagi soal mencari kebenaran, bro, tapi lebih seperti adu otot retorika di tengah lapangan.

Pertanyaannya, apa yang membuat mereka jadi begitu? Apakah karena mereka “salah makan” sehingga lidah mereka jadi pahit dan kata-kata yang keluar pun beracun? Atau jangan-jangan, ini adalah tanda bahwa ada kesalahpahaman mendasar tentang bagaimana seharusnya seorang “pewaris nabi” berinteraksi, apalagi di hadapan jutaan pasang mata?

Ketika ajaran yang mulia dijadikan alat untuk menjatuhkan sesama, kita patut curiga, ada yang salah dengan penafsiran mereka akan makna ukhuwah.

Lihat saja bagaimana insiden “Ustad Udin merujak Gembul” misalnya. Penonton, yang notabene adalah pengikut Ustad Udin, bukannya melerai atau mengambil satu hikmah dan pelajaran, malah ikut-ikutan berkomentar kasar. Ini seperti efek domino dari kebencian yang disiarkan secara langsung. Kalau sudah begini, sulit bagi masyarakat awam untuk menaruh hormat, apalagi meneladani, dari sebuah pertikaian yang sejatinya hanya mempertontonkan ego dan arogansi.

Mungkin kita perlu bertanya, apakah esensi dakwah itu sudah bergeser dari mengajak kepada kebaikan menjadi unjuk gigi keilmuan?

Ketika yang terlihat di permukaan adalah perebutan pengaruh, “waduuhhh! 😧” bukan penyebaran cahaya ilmu, maka yang terjadi adalah perpecahan, bukan persatuan. Ini sungguh sebuah ironi, di mana media yang seharusnya jadi alat pemersatu, justru menjadi lahan subur bagi benih-benih permusuhan.

 

Ketika Ulama Saling Gunting Baju di Ranah Publik

Fenomena ulama yang saling “gunting baju” di ranah publik adalah pukulan telak bagi kredibilitas agama. Apa yang seharusnya menjadi cahaya penuntun, justru menampilkan kegelapan. Pertikaian-pertikaian yang terekspos di media sosial bukan hanya meresahkan umat Muslim, tapi juga memberikan gambaran negatif bagi mereka yang belum mengenal Islam.

Ini adalah tontonan yang memalukan, yang bisa mengikis kepercayaan dan menimbulkan kebingungan massal.

Kita merindukan ulama yang mampu menjadi “pemadam api” konflik, bukan malah meniupkan bara. Sosok yang bisa menghadirkan kedamaian, bukan perdebatan tanpa tulang. Yang mampu menjadi pelita di tengah kegelapan, bukan malah menambah gelapnya suasana dengan saling menyalahkan. Kita butuh pemimpin spiritual yang tidak hanya berilmu, tapi juga berakhlak mulia, mampu menahan diri dari godaan popularitas dan ego.

Sebagai penutup, “Jauh-jauh kamu mengejar pendidikan hingga ke Mesir sana” coba renungkan nasihat bijak dari seorang ulama besar, Imam Syafi’i, yang pernah berkata, (perbaiki jika salah): “Pendapatku benar, tapi mengandung kemungkinan salah. Pendapat selainku salah, tapi mengandung kemungkinan benar.”

Bait ini seharusnya menjadi pesan moral bagi para ulama, pengingat bahwa kebenaran itu luas, dan setiap penafsiran punya ruangnya sendiri. Semoga kearifan lokal kita, di masa depan, kembali menemukan esensinya, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk seluruh umat.

Aamiin ( آمِيْن )

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan