Table of Contents
ToggleApa untung ruginya kita cuap-cuap di media sosial demi mencari keadilan. Kata Sani: “Tidak Ada!” Tidak banyak yang terjadi di Negara ini jika kita ‘berdemo’ di media sosial. Beda lagi Nina berpendapat, “Media sosial penting bagi kami, untuk menyuarakan apa yang tidak masuk akal”. Lanjutnya, Kami bisa berpendapat, memihak, bahkan mengkritik satu kebijakan tanpa harus berada di Ibu Kota, misalnya.
[INSERT_ELEMENTOR id=”18561″]
Saat ini Alhamdulillah juga, publik kita bisa bebas menyampaikan pendapat tentang ‘apapun’ termasuk urusan dapur, selangkangan, hingga politik bebas aktif. Jika tidak puas, seperti: masalah ketidakadilan, maka dengan mudah disampaikan melalui media sosial.
Di mana pun kamu berada, layaknya ‘pasar bebas pendapat’. Tanpa harus menjadi narasumber di stasiun televisi kita bisa bersuara. Dan terkadang ini lebih berbobot dari sidang parlemen. Hal ini boleh jadi menumbuhkan demokrasi pada kacamata virtual.
Pasarnya Demokrasi
Satu sisi, media sosial memberikan ruang publik yang berakal sehat, sisi lain juga memberikan dampak baru, yaitu: perang status. “Kami yang benar, karena itu dari kami”. Dengan mendiskreditkan satu kelompok terhadap kelompok lainnya bagaikan drama.
Kita lupa dengan yang satu ini. Saat publik sudah melaksanakan hak pendapatnya pada ranah media sosial, itu belum tentu di gubris. Terkadang seperti angin lewat, layaknya kentut yang tak berbunyi. Bau tapi kurang mengganggu.
Topik yang di perdebatkan pun, hanya sebatas masalah receh. Tidak berdampak besar bagi keadilan sosial, distribusi manfaat, serta kemajuan sektor strategis. Coba bandingkan pada masalah-masalah yang lebih substansi, seperti: pengelolaan keuangan negara yang buruk. Aman-aman saja tuh. Hilang?
Dimana Letak Untung Ruginya
Letak untung rugi dari media sosial sebagai pasar demokrasi adalah kepuasan pengguna. Hanya sebatas kepuasan. Kepuasan menyuarakan aspirasi. #ItuSaja. Jika kepuasan masyarakat terpenuhi tanpa ada embel-embel ganti rugi yang layak, itu di anggap sudah tuntas. “Selesai” dengan jawaban “Baik, suara kamu kami dengarkan”.
Yang di maksud dengan ganti rugi adalah perbaikan dan perubahan. Itu yang masyarakat harapkan. Bukan permohonan maaf dan wacana. Masyarakat meminta keadilan, kalian melaksanakan.
Lucunya lagi, seorang ‘tokoh’ yang dulunya paling depan, paling concern ‘katanya’, dengan membakar semangat kritisme di media sosial, kini layu dan kemayu. Setelah mendapatkan harta, tahta dan wanita, sekarang menjadi lugu, caluk dan kaku.
Kamu tahu Caluk? Caluk itu terasi. Berasal dari udang kecil berserakan dan di olah menjadi penyedap jika di bakar dan di campur dengan sambal. Begitulah gambaran para tokoh yang awalnya paling berani berpendapat di muka publik, yang kini adem. Mmmmm. #NasiBasi
Pencarian Keadilan
Berpendapat di media sosial bukan untuk menggantikan, makar, atau meningkatkan elektabilitas. Masyarakat itu penerima manfaat. Manfaat dari pendistribusian kebijakan. Jika minim manfaat, jangan di cari-cari manfaatnya. Masyarakat ingin kesetaraan, rasa keadilan dari perubahan dan perbaikan.
Tidak perlu kartu yang banyak untuk sehat di Negara ini. Haruskah cerdas untuk bersekolah yang layak. Patutkah menjadi anak pejabat untuk bisa lulus di institusi. Tidak perlu becking-beckingan lah. Buruk rupa, buruk pulalah sejarah.
Salam Dyarinotescom.