You are currently viewing Schadenfreude: Ketika Kebahagiaan Berasal dari Penderitaan

Schadenfreude: Ketika Kebahagiaan Berasal dari Penderitaan

Pernahkah kamu merasakan “kegembiraan yang aneh” saat melihat orang lain mengalami kemalangan? Jika ya, kamu kemungkinan telah merasakan Schadenfreude. Kata import dari Jerman ini, yang secara harfiah mereka artikan “kebahagiaan karena kemalangan orang lain”, menggambarkan perasaan senang atau puas melihat orang lain menderita.

Jujur saja, Schadenfreude adalah emosi yang kompleks dan membingungkan. Di satu sisi, tampaknya tidak manusiawi untuk merasa senang atas penderitaan orang lain. Di sisi lain, penelitian menunjukkan bahwa “Schadenfreude adalah emosi yang umum” dan bahkan mungkin memiliki beberapa manfaat. Ngeri gak tu?

Schadenfreude: Antara Emosi dan Moralitas

Schadenfreude tidak selalu merupakan hal yang buruk. Ini seperti pertarungan antara emosi dan moralitas. Dalam beberapa kasus, hal itu dapat menjadi motivator untuk meningkatkan diri dan mencapai kesuksesan juga lho.

Tahukah kamu, ini bisa saja terjadi pada kehidupan pribadi kita. Disini mungkin saja kamu merasakan Schadenfreude ketika mendengar kabar buruk tentang mantan, teman yang sombong, atau rekan kerja yang tidak kita sukai. Hal yang umum terjadi lantaran kita merasa mereka “pantas mendapatkannya” kesialan atau “mampus lho!” Luapan emosi menjurus kesenangan ketika kita tahu bahwa mereka tidak lebih bahagia dari kita. Hihi, jahat yaa!

Kita mungkin merasa senang mendengar berita tentang kemalangan orang lain, seperti melihat orang jatuh, selebriti yang tersandung skandal, atau politisi yang korup. “Senggol dong si Dewi!” Hal ini mungkin karena kita merasa mereka pantas mendapatkan hukuman atas kesalahan mereka atau karena kita merasa senang saja, tidak lebih.

Saat menonton pertandingan olahraga, pun sama. Kita mungkin merasa senang melihat tim lawan kalah, terutama jika kita adalah penggemar tim yang menang. Hal ini karena kemenangan tim kita meningkatkan rasa superioritas dan identitas kelompok.

Kira-kira seperti itulah gambaran dari Schadenfreude. Namun, penting untuk mengendalikan perasaan Schadenfreude agar tidak menjadi sifat yang merusak. Jika kita terlalu sering merasakan Schadenfreude, hal itu dapat membuat kita menjadi orang yang buruk “Bad bad person” seseorang yang sering kali iri, dengki, dan tidak happy.

 

 

Memahami Iblis di Dalam Diri: Menelusuri Jejak Schadenfreude

Untuk lebih dalam menelusuri jejak Schadenfreude, pahamai dahulu iblis di dalam diri kita masing-masing. Schadenfreude, bagaikan senyum tipis di balik kesialan orang lain. Salah satu pemicunya adalah kecemburuan.

Ketika melihat orang lain “mencapai kesuksesan atau kebahagiaan yang kita idam-idamkan”, kecemburuan dapat memicu Schadenfreude. Sangat lumrah kita merasa senang atas kemalangan mereka karena secara tidak sadar meredakan rasa inferioritas dan meningkatkan harga diri kita.

Selain kecemburuan, kebencian dan dendam juga dapat menjadi pendorong Schadenfreude juga. Ini biasanya masalah personal. Jika seseorang pernah menyakiti kita di masa lalu, tentunya ketika kita melihat mereka menderita, ini memberikan rasa puas “lepas dahaga pada segelas air dingin di panasnya siang hari”. Schadenfreude dapat menjadi cara untuk melampiaskan emosi negatif tersebut.

Schadenfreude juga dapat dipicu oleh rasa keadilan. Ketika kita melihat orang jahat “sejahat-jahatnya si bangsat” mendapatkan hukuman, kita mungkin merasa senang karena keadilan telah ditegakkan. Hal ini karena Schadenfreude dapat menjadi cara untuk “memperkuat keyakinan” pada moralitas dan keadilan.

Alasan lain adalah rasa superioritas. Kita mungkin merasa senang melihat orang lain gagal karena menguatkan keyakinan bahwa “Aku lebih baik dari pada dia!” Lebih segala-galanya. Schadenfreude dalam hal ini menjadi alat untuk memperkuat ego.

Salah satu alasan utama tentu menyangkut perasaan tidak aman. Ketika kita melihat orang lain gagal, terutama dalam bidang di mana kita merasa insecure, dapat meningkatkan rasa percaya diri kita secara temporer. Kita mungkin merasa lebih baik “terobati gitu” tentang diri kita sendiri karena kita tidak seburuk orang tersebut.



Dampak Schadenfreude: Bayangan Gelap di Balik Tawa

Dampak schadenfreude memiliki sisi positif dan negatif bagi kita seperti bayangan gelap dibalik tawa yang aneh. Tawa yang aneh?? Cukup aneh ketika kita tertawa melihat orang, teman, pasangan, atau kolega, jatuh terpelesat, kan? Gubrak!!

Schadenfreude bisa memberikan dampak buruk, terutama karena itu bisa merusak hubungan, menimbulkan rasa bersalah, dan menyakiti orang lain, tentunya. Menunjukkan rasa senang atas kemalangan orang lain, dapat membuat orang lain menjauh. Kita mencetak identitas manusia buruk dengan segala label : si tukang iri, raja tega, dengki, gak asyik, dll.

Meskipun merasa senang “bagai tontonan hiburan”, ada sebagian orang merasa bersalah atas perasaan tersebut. Dan ketika ketawa kita itu benar-benar “dalam” seperti orang yang sedang menzolimi orang lain, tentu akan sangat menyakitkan baik secara fisik “jatuh, sakit, ehh ditertawakan” menuju luka emosional “Malu banget”.

Tapi, jika itu buruk, bisa juga menjadi baik. Ngap-ngap?

Schadenfreude bisa meningkatkan rasa percaya diri. “Khusus kompetitor yaa!” Ketika melihat orang lain gagal, kita mungkin merasa lebih baik tentang diri sendiri, terutama dalam hal yang membuat kita insecure.

Schadenfreude bagian dari melampiaskan emosi negatif. Bagi yang memiliki dendam atau kemarahan terhadap seseorang, menjadi wadah untuk melampiaskannya. Dan tentunya sangat bisa membantu kita memperkuat keyakinan moral. Ketika melihat orang jahat mendapatkan hukumannya, rasa senang muncul karena keadilan ditegakkan.



Mengatasi Schadenfreude: Menuju Empati dan Kebaikan

Penting untuk berlatih empati dan fokus pada hal-hal baik dalam reaksi atas apa yang kita saksikan atau perdengarkan. Dengan begitu, kita dapat “membendung hal-hal buruk” sebagai akibat dari pembiaran akan “rasa tega kita” terhadap hal-hal tertentu.

Apa yang bisa kita lakukan?

1. Sadari, Pahami

Ini terkait bahwa kita cukup sadar dan mengakui bahwa “merasakan”. Perhatikan kapan dan dalam situasi apa kamu merasakannya. Hal ini dapat membantumu untuk memahami pemicunya dan bagaimana mengendalikannya.

Cari tahu mengapa bisa begitu, lho. “Ada masalah apa dengan otakmu?” Apakah karena kamu merasa tidak amankah, benci orang tersebut, butuh hiburan, cemburu, atau ingin melihat keadilan ditegakkan?

Pahami akarnya karena itu membantumu mengatasi dengan cara yang tepat.

2. Empati

Amit-amit, ketika kebahagiaan mu itu berasal dari penderitaan orang lain. “Gak ada kerjaan banget yaa” Cobalah untuk berempati dengan orang yang menderita. “Disini orang bisa melihat kita sebagai manusia”.

Bayangkan bagaimana jika kamu berada di posisi mereka. Tekanan apa yang akan kamu dapat jika aku menjadi seperti dia. Hal ini dapat membantumu mengembangkan rasa kemanusiaan untuk selalu mengasihi sesama.

3. Temukan

Tertawa memang baik untuk kesehatan dan dapat membantu meredakan stres. Namun, menertawakan orang lain itu “seburuk-buruk kelakuan”, terutama atas derita orang lain. Itu bukanlah cara yang baik untuk mengisi tawamu dan menemukan kebahagiaan.

Alih-alih fokus pada kemalangan orang lain, temukan dan fokuslah pada hal-hal positif dalam diri. Bersyukur atas apa yang kamu miliki saat ini, dan temukan betapa pentingnya itu bagi jiwa kita ketika dapat membantu orang lain.



Satu Petikan Simpul

Satu kesimpulan yang bisa kita petik, yakni Schadenfreude itu tidak selalu memiliki alasan yang jelas. “Kadang spontan dan datang begitu saja”. Sangat normal tapi harus dikendalikan. Faktor-faktor, seperti: kepribadian, pengalaman hidup, dan budaya, dapat memengaruhi apakah seseorang mengalami Schadenfreude, dan seberapa sering mereka mengalaminya.

Oleh karena itu, penting untuk kontrol diri dan mengarahkannya kepada hal yang positif. Berlatih empati, simpati, dan fokus pada hal baik, untuk menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Bukan menjadi personal yang tersenyum melihat orang lain menderita, siapa pun itu.

Salam Dyarinotescom.

Tinggalkan Balasan