Qarunisme Digital: 😧Aplikasi Kekayaan Bisa Menggantikan Azan?

You are currently viewing Qarunisme Digital: 😧Aplikasi Kekayaan Bisa Menggantikan Azan?

Pernahkah kamu sadari, di era serba digital ini, ada sebuah “kekuatan” baru yang diam-diam menyelinap, merenggut fokus kita dari hal-hal esensial? Kekuatan itu bukan AI atau virtual reality, melainkan kilauan notifikasi: saldo rekening yang kian bertambah digit-nya, orderan padat dengan topping cuan, atau aset serta saham yang terus meroket di genggaman smartphone kita. Tanpa sadar, šŸ˜’: kita sedang terseret dalam arus Qarunisme Digital, sebuah fenomena di mana hasrat mengakumulasi kekayaan melalui teknologi aplikasi dan platform digital menjadi begitu mendominasi, hingga suara azan pun terdengar sayup, redup, dan bahkan tak lagi bermakna.

Demi celengan babi, azan pun disuruh diam!

Mungkin bagi sebagian dari kita, ini terdengar nyeleneh, sebuah ā€˜gaya lama ini mah!’. Namun, coba ngulik diri sendiri, ā€œBerapa banyak dari kita yang rela bahkan ā€˜senang’ menunda salat hanya untuk menyelesaikan urusan curhat, bersenang-senang, ceklist harga, atau sekadar memantau portofolio pergerakan usaha?ā€

Aplikasi-aplikasi kekayaan ini, dengan segala kemudahan dan iming-iming keuntungan legit, telah menjelma menjadi “berhala” modern yang tanpa sadar kita sembah setiap hari, menggeser prioritas spiritual kita ke pinggir jurang deadline dan profit.

 

Blind Spot Orang Berada: Mengapa Pintu Langit Terasa Jauh dari Mereka?

Paradoksnya, seringkali justru mereka yang ‘berada’, yang dikaruniai kelapangan harta, merasa pintu langit semakin jauh. Ini bukan karena Allah menjauhi mereka, melainkan karena ada blind spot spiritual yang terbentuk seiring menumpuknya kekayaan.

Qarunisme Digital!

Mereka disibukkan dengan mengelola harta, melipatgandakannya, dan mengejar proyek-proyek ambisius “bagung rumah di bulan😁” hingga waktu luang untuk bersujud terasa mewah. Seolah, jadwal salat menjadi penghalang bagi kesuksesan duniawi yang sedang dikejar, bukan justru penunjang keberkahan.

Fenomena ini seringkali dimulai dari rasa self-sufficiency, sebuah keyakinan bahwa segala pencapaian adalah buah dari kerja keras dan kecerdasan semata, doang.

Mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa setiap nafas, setiap peluang, dan setiap kucuran rezeki adalah anugerah Ilahi. Ketika merasa tak membutuhkan siapa pun, termasuk Tuhan, wajar jika panggilan sujud terasa tak relevan. Mereka terjebak dalam ā€˜ember busuk’ kesuksesan finansial, di mana dunia gemerlap materi menjadi satu-satunya indikator kebahagiaan.

Padahal, salat adalah jembatan penghubung antara hamba dengan Penciptanya, sebuah portal spiritual yang semestinya selalu terbuka. Bagi mereka yang ‘berada’, salat bukan hanya kewajiban, melainkan ā€œcharging station energi spiritualā€ yang mencegah jiwa dari kekeringan.

Tanpa “pengisian ulang” ini, hati bisa mengeras, empati menghilang, dan keberkahan harta pun sirna, menyisakan kekosongan di tengah limpahan materi.

Maka, “pintu langit” itu bukanlah jauh karena letaknya, melainkan karena hati yang lalai tak lagi menatap ke atas. Kesibukan dunia, bahkan yang menguntungkan secara finansial, bisa menjadi hijab tebal antara kita dan Sang Pemberi rezeki. Inilah blind spot yang berbahaya: merasa kaya raya di dunia, tapi miskin dalam koneksi dengan Ilahi.

Dan, mereka pun berkata, ā€œMemang masalah?ā€

Qarunisme Digital!

 

Ketika Harta Melenakan Jiwa dari Sajadah. Lalu, Bagaimana Menghindari Jebakan Duniawi?

Jebakan duniawi itu memang licin, apalagi ketika harta sudah melimpah ruah dan ‘aplikasi kekayaan’ terasa lebih menjanjikan daripada panggilan azan. Namun, bukan berarti kita harus menjauhi harta atau menjadi miskin. Islam mengajarkan kita untuk menjadi kaya yang bersyukur dan taat.

Lantas, bagaimana cara kita, para digital native ini, agar tidak terjebak dalam pusaran Qarunisme Digital dan tetap setia pada sajadah?

Beberapa poin berikut, kita jadikan pegangan, agar harta menjadi berkah, bukan petaka. Koreksi itu dengan:

 

1. Zuhud Digital: Membatasi Diri dari Adiksi Screen Time Finansial

Sikap zuhud di sini bukan berarti anti-teknologi, melainkan tidak berlebihan dalam mengejar atau memantau kekayaan digital. Sisihkan waktu khusus untuk mengecek investasi, jangan sampai notifikasi trading menginterupsi waktu salat atau momen bersama keluarga. Kita harus mengendalikan gadget, bukan sebaliknya.

 

2. Infaq Produktif: Menjadikan Harta Sebagai Jembatan Amal Jariyah

Jangan hanya menumpuk harta. Jadikan sebagian kekayaanmu sebagai modal untuk infaq produktif, seperti membangun sarana ibadah, mendanai pendidikan, atau proyek sosial yang berkelanjutan. Ingat, amal jariyah adalah “saham” yang dividen pahalanya tak pernah berhenti, bahkan setelah kita tiada.

 

3. Tadabbur Ayat Rezeki: Memahami Hakikat Pemberi Rezeki Sejati

Luangkan waktu untuk merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang rezeki. Pahami bahwa setiap harta yang kita miliki adalah titipan dan ujian dari Allah. Dengan tadabbur, kita akan sadar bahwa kekayaan sejati ada pada ketenangan hati dan keberkahan, bukan semata nominal di rekening bank.

 

4. Muraqabah Diri: Senantiasa Merasa Diawasi Allah dalam Setiap Transaksi

Kembangkan sikap muraqabah, yaitu kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap gerak-gerik, termasuk dalam mengelola harta. Ini akan mencegah kita dari praktik-praktik haram seperti riba, penipuan, atau keserakahan yang tak berbatas. Ingat, big brother kita bukan kamera CCTV, tapi Al-Bashir (Maha Melihat).

 

5. Tahajjud Kekayaan: Membangun Koneksi Spiritual Saat Dunia Terlelap

Jika kesibukan siang hari membelenggu, manfaatkan sepertiga malam terakhir. Di saat dunia terlelap, kita bisa ber tahajjud, memohon keberkahan harta dan petunjuk agar tidak terlena. Ini adalah “rapat” paling eksklusif dengan Sang Pemberi Rezeki, tanpa gangguan notifikasi online apa pun.

 

Nah, sampai disini, taukah kamu?

Dilema Kaum Aghniya di Ambang Salat

Sepanjang sejarah, dilema kaum aghniya (orang-orang kaya) di ambang salat bukanlah hal baru. Ini adalah ujian klasik. Ambil contoh figur Qarun sendiri, yang namanya kini menjadi metafora. Dia adalah sepupu Musa AS yang awalnya miskin dan taat, lalu diberikan kekayaan melimpah ruah. Namun, kekayaannya membuatnya sombong, ingkar, dan merasa tak butuh Allah. Ia enggan mengeluarkan zakat, bahkan menuduh Musa cemburu.

Akhirnya, Allah menenggelamkannya beserta seluruh hartanya. Kisah Qarun bukan sekadar dongeng, tapi case study abadi tentang bagaimana harta bisa menjadi bumerang.

Namun, jarang kita membahas sisi lain dari dilema ini: tekanan sosial dan ekspektasi yang tinggi terhadap kaum aghniya. Dalam masyarakat modern, terutama di kalangan entrepreneur atau high-net-worth individual, ada semacam tuntutan tidak tertulis untuk selalu sibuk, selalu “produktif” dalam konteks materi.

Istirahat dianggap dosa, apalagi meluangkan waktu khusus untuk ibadah di tengah deadline proyek besar. Ada pressure untuk terus membuktikan diri, bahwa kekayaan yang dimiliki itu “hasil kerja keras”, bukan “rezeki nomplok” yang bisa disyukuri dengan taat.

Bagi sebagian dari mereka, salat mungkin terasa seperti interupsi yang tidak produktif, mengganggu flow state dalam mengejar keuntungan. Mereka berpikir, “Saya bisa salat nanti setelah semua pekerjaan beres.” Padahal, salat itu bukan breaktime atau “nanti-nanti”, melainkan fondasi hari.

Alhasil: hati mereka jadi “terkontaminasi” dengan orientasi duniawi semata, sulit merasakan manisnya ibadah.

Inilah mengapa kisah para sahabat Nabi Muhammad SAW yang kaya raya seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan menjadi begitu relevan. Mereka adalah aghniya sejati yang kekayaannya justru membuat mereka semakin dekat dengan Allah, bukan menjauh. Harta mereka menjadi wasilah untuk berderma, berjihad, dan membangun peradaban Islam.

Mereka menunjukkan bahwa kaya itu boleh, bahkan bisa menjadi ladang amal luar biasa, asalkan tidak menjauhkan dari sajadah.

 

Gemerlap Dunia, Hampa Sujud: Psikologi Sosial Kaum Muta’allifin

Pada akhirnya, fenomena Qarunisme Digital, di mana aplikasi kekayaan menggantikan panggilan azan, adalah cerminan dari psikologi sosial kaum muta’allifin. Yaitu mereka yang terlenakan oleh gemerlap kekayaan.

Mereka terjebak dalam ilusi bahwa kebahagiaan sejati ada pada tumpukan aset dan angka-angka di layar gadget. Padahal, jiwa manusia memiliki kebutuhan spiritual yang tak bisa diisi oleh materi semata. Kekayaan yang melimpah, jika tidak diiringi dengan ketaatan, akan menyisakan kekosongan dan kehampaan.

Kita semua, tak peduli berapa pun saldo rekening kita, berpotensi tergelincir dalam jebakan ini.

Godaan dunia begitu memikat, dan bisikan halus setan tak pernah lelah. Namun, sebagai seorang Muslim, kita punya kompas yang jelas: Al-Qur’an dan Sunnah. Salat adalah tiang agama, dan sholawat adalah pengingat. Kekayaan itu amanah, dan penggunaannya akan dimintai pertanggungjawaban.

Ingat-nya: Jika ada Seseorang atau pun sekelompok orang yang mengajak atau mengajarkan kita satu ilmu yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah atau melenceng dari keduanya, maka: Tinggalkan!

Dunia ini adalah penjara bagi mukmin dan surga bagi kafir. Semoga kita semua terhindar dari fitnah harta, dan menjadikan kekayaan sebagai jembatan menuju surga, bukan jurang kesesatan.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Leave a Reply