Table of Contents
ToggleBeberapa waktu belakangan ini, istilah post-truth dan flex culture menjadi cukup familier, terutama bagi para pengguna media sosial. Lalu apa sih dan bagaimana kok bisa kedua hal itu berdampak kepada melunturnya budaya ketimuran?
Post-Truth
Masih ingat dengan momen terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat di tahun 2016? Dia adalah salah satu contoh politisi yang berhasil menyempurnakan seni membual dan memenangi pemilu presiden Amerika Serikat. Menurut temuan lembaga PolitiFact, sekitar 70% dari perkataannya salah secara faktual.
Donald Trump berhasil memanfaatkan momentum. Dia berhasil membaca gelagat keresahan warga mengenai globalisasi yang membuat beberapa produsen raksasa memindahkan pabrik mereka ke negara-negara dengan tenaga buruh yang murah, seperti: China dan Meksiko. Begitu juga dengan kegeraman para buruh kerah biru Amerika Serikat terhadap warga Meksiko dan imigran lainnya karena mencuri pekerjaan mereka.
Trump mengeksploitasi keresahan dan kegeraman itu dengan menciptakan kebohongan yang semakin menguatkan prasangka warga. Inilah cara kerja politik post-truth, yang tidak hanya melibatkan kebohongan tetapi juga dengan memanfaatkan sentimen yang sudah ada sebelumnya.
Bukanlah satu-satunya “Penjual Dusta”.
Trump bukanlah satu-satunya “penjual dusta”. Larisnya industri pemalsuan kebenaran juga terjadi di Inggris saat negara itu keluar dari Uni Eropa, dan juga terjadi di beberapa negara Eropa lainnya saat gelombang anti-imigran meluas.
Di Eropa, prasangka terhadap para pendatang yang membawa nilai dan kebudayaan berbeda sudah begitu kuat sehingga klarifikasi berita hoax, seperti rumor tentang seorang pengungsi Muslim di Jerman yang merusak toilet karena pernah di duduki orang kafir, tidak akan banyak membawa dampak. Politisi mengarang fakta tersebut untuk menguatkan praduga bahwa pengungsi Muslim tidak akan bisa beradaptasi dengan kebudayaan sekuler di Eropa.
Kedua peristiwa di atas merupakan fenomena post-truth. Apakah post-truth sama dengan dusta? Jika dalam dusta sebuah fakta direkayasa, post-truth membuat “yang nyata” menjadi tidak penting sehingga verifikasi atas kebenaran tidak akan mengubah apa-apa. Sederhananya, post truth adalah suatu era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan orang lain.
Apakah Indonesia pernah Mengalaminya?
Bukan hanya pernah, tapi sudah dan masih mengalaminya. Masih ingat kasus Binomo. Praktik bisnis yang berbingkai post-truth dan flexing. Tujuannya target konsumen yang kurang teliti dan mudah tergelincir. Kasus serupa yaitu DNA Pro, Robo Trading, Pinjol (Pinjaman sistem online yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan), serta masih banyak lagi kasus lainnya.
Pelaku bisnis ini menjaring orang lain dengan membuat mereka bingung memilah dan memilih mana data dan fakta yang benar untuk di sikapinya. Sering kali pikiran korban di bingungkan oleh berita hoaks yang bertebaran, di tambah dengan fenomena flexing (pamer kemewahan) untuk menambah efek jeratan.
Dalam kasus penipuan bisnis pola digital semacam ini, para pelakunya beraksi bersama artis dan pesohor yang di perankan sebagai influencer dan atau endorser pada konteks marketing digital. Begitu terkuak, akhirnya berujung masuk ke ranah pidana dan menjalani proses hukum.
Flex Culture
Tren flexing sudah sangat marak bersliweran di media sosial. Pamer sana-sini, bahas mobil mewah, pakai tas bermerek apa, baju design siapa, tinggal di kawasan elite mana, bahkan sampai kekayaan intelektual. Fenomena Flex Culture sedang heboh menjadi perbincangan dan pembahasan di mana pun. Hati-hati terjebak karena bisa berbahaya.
Sebenarnya fenomena flexing sudah muncul sejak berabad-abad tahun yang lalu. Dahulu kala flexing di kenal sebagai conspicuous consumption atau konsumsi yang mencolok. Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, aktivitas flexing menjadi semakin mudah.
Jika di era lampau, orang super kaya memamerkan sendok perak dan korsetnya melalui ajang pesta para bangsawan, di era globalisasi ini para “sultan” cukup memamerkan melalui halaman media sosialnya masing-masing. Lebih praktis dan lebih luas jangkauannya.
Flexing atau pamer di lakukan untuk mencapai beragam tujuan, di antaranya menunjukan status dan posisi sosial, menciptakan kesan bagi orang lain, dan menunjukan kemampuan. Media sosial adalah wadah untuk menyalurkan hasrat pamer tersebut.
Ada beberapa faktor yang membuat orang suka flexing atau pamer di media sosial. Sebagian besar berkaitan dengan sisi psikologis seseorang, di antaranya:
1. Meningkatkan Percaya Diri
Seorang psikolog mengatakan bahwa perilaku flexing di sebabkan diri merasa insecure, meragukan diri sendiri sehingga butuh validasi dari lingkungan, “Bahwa dia itu memang orang yang hebat, orang yang di akui, dan terpandang.”
2. Memikat Lawan Jenis
Flexing dijadikan cara untuk menjalin relasi. Layaknya merak yang memamerkan ekor indah untuk menarik perhatian lawan jenisnya.
3. Masalah Kepribadian
Berkaitan dengan histrionik dan narsistik. Histrionik yakni orang yang suka mencari perhatian, sementara narsistik adalah kecenderungan seseorang merasa dirinya hebat.
Lunturnya Budaya Timur
Di Indonesia saat ini mulai ramai bermunculan para crazy rich, umumnya orang kaya baru. Mereka berlomba-lomba memamerkan kekayaan dan kemewahannya.
Jika menengok kembali ke budaya ketimuran Indonesia, fenomena tersebut sungguh memprihatinkan. Apalagi di masa-masa pandemi dan new normal seperti sekarang ini, saat mayoritas publik sedang berusaha untuk bertahan hidup dan bangkit dari kondisi terpuruk, para crazy rich seolah-olah nihil rasa empati akan hal itu.
“Kemana nilai-nilai budaya kita yang mengajarkan kesederhanaan, tidak berfoya-foya apalagi memamerkan harta?”
Tidak ada larangan untuk menjadi kaya, apalagi super kaya. Namun jangan lunturkan budaya ke-timur-an kita. Tetaplah membumi dengan kesederhanaan dan senantiasa rendah hati, tak lupa berempati.
Salam Rendah Hati,