Di zaman serba digital ini, komunikasi kita didominasi oleh deretan huruf di layar plus emoji. Kita saling mengirim pesan, komen di media sosial, atau bahkan berargumen lewat typing atau ketikan. Tapi, sadar gak sih, adinda? Ada fenomena unik yang bikin kita seringkali auto-ilfeel sama orang, bahkan sebelum ketemu langsung atau ngobrol empat mata. Yup, hanya gara-gara gaya ngetiknya! Seolah-olah, satu typo atau singkatan yang bukan pada tempatnya bisa langsung menurunkan level pesona seseorang di mata kita.
Gak kelas nih orang!😒
Ini bukan mitos urban belaka, lho. Kamu mungkin pernah mengalaminya. Lagi asyik ngobrol di chat, “gayung bersambut, bla, bla” tiba-tiba dia ngetik “wkwkwkkwkwk” atau “gitu dehzz” dan seketika mood kita langsung drop. Pikiran kita otomatis berasumsi: “Duh, kok gini banget sih ngetiknya? Bocil! Receh banget kayaknya orangnya.” Atau, yang lebih ekstrem, “Ini orang beneran nangkap maksud gue, kan? Kok nulis aja belepotan?”.
Percayalah, kamu tidak akan pernah sendiri dalam merasakan gejala ini.
Bengkok Abis! Kenapa Ketikan Sering Bikin Kita Auto-Ilfeel?
Pertanyaan besarnya adalah: kenapa sih “ketikan” bisa punya kekuatan sebesar itu sampai bikin kita ilfeel?
Okey! Semua itu berawal dari asumsi.
Di era komunikasi serba sang-seng-song, otak kita cenderung mencari jalan pintas untuk memahami orang lain. Dan seringkali, “ketikan” jadi satu-satunya petunjuk awal yang kita punya. Dari situ, kita mulai membangun profil, membentuk ekspektasi, bahkan kadang memberikan label dan nilai pada seseorang.
Satu ketikan yang “kurang pas” misalnya, bisa jadi trigger awal. Ketika kita membaca balasan yang terlalu singkat padahal kita sudah ngetik panjang lebar, atau penggunaan tanda baca yang berantakan, atau bahkan ‘font alay’ yang bikin mata pusing. Ini semua menciptakan “pekerjaan rumah” bagi si pembaca. Kita harus menerka-nerka maksud yang disampaikan, merasa si pengirim pesan: kurang effort, atau bahkan berpikir dia kurang menghargai.
Maka tak heran, kalau kita sering terperangkap dalam bias konfirmasi ini. Kita sudah punya image awal dari “ketikan” seseorang, dan ketika kita melihat aspek lain dari orang itu, kita cenderung mencari bukti untuk menguatkan image awal tersebut.
Padahal, bisa jadi “typing” itu hanyalah hasil dari terburu-buru, suasana hati yang buruk, lagi nyetor, misalnya, atau memang dia tidak terlalu jago ngetik dengan gaya yang “dianggap keren.”
Dan bisa saja benar, bahwa:
Ternyata Jempol Lebih Kejam dari Mata
Di zaman yang katanya serba terbuka ini, jempol kita seringkali jauh lebih kejam dari mata. Kita menilai, mengkritik, bahkan memutuskan untuk menjaga jarak hanya berdasarkan susunan huruf di layar. Padahal, ada banyak hal di balik “ketikan” seseorang yang mungkin luput dari pandangan kita.
Nah, dengan hati yang bersih tanpa maksud menggurui, kita bedah bagaimana mengatasi masalah ilfeel karena ketikan ini, yang mungkin sebagian akan terasa ‘nyeleneh’, tapi bisa jadi game changer buat kamu.
Katakanlah:
1. #NoTypingJudgement Zone
Coba deh, sebelum auto-ilfeel, tarik napas dalam-dalam dan ingatkan diri kamu bahwa “ketikan” bukanlah segalanya. Anggap saja setiap orang punya gaya bebas dalam mengetik. Mungkin dia lagi buru-buru, mungkin jempolnya gede, atau mungkin dia memang lebih nyaman dengan gaya informal.
Jangan pernah secara langsung pasang standar baku cuma karena kamu lihat itu dari layar.
2. Kepo Positif: “Is That You?”
Daripada langsung ilfeel, coba deh kepo positif.
Kalau ada ketikan yang bikin kamu bingung atau curiga, misalnya, jangan ragu bertanya. Contoh: “Maksudnya apa nih?” atau “Ada yang bisa aku bantu?” Ajak mereka berdiskusi, jangan langsung menghakimi. Siapa tahu, ada konteks di balik ketikan itu yang enggak kamu tahu.
3. Mindset “Digital Dexterity”
Sadari bahwa tidak semua orang punya digital dexterity atau “jago dogital” yang sama dalam berkomunikasi lewat tulisan. Ada yang pandai merangkai kata di chat, ada yang lebih fasih bicara langsung. Ini bukan masalah kecerdasan, tapi lebih ke preferensi dan kebiasaan.
Jadi, santai saja yaa kaka, FunFact-nya: Tidak semua orang harus jadi content writer di chat.
4. #EmbraceTheUnfiltered
Kadang, ketikan yang “aneh”, nyeleneh, plus bumbu alay, justru menunjukkan sisi asli yang boleh jadi itu bukan dibuat-buat dari seseorang. Mungkin ia tidak terlalu peduli sama standar “ketikan keren” dan lebih fokus pada substansi pesan.
Mulai dengan: #EmbraceTheUnfiltered dan nikmati komunikasi yang lebih apa adanya, tanpa filter ketikan baku yang garing.
5. Offline Is The New Online
Jika pun kamu merasa terus-menerus ilfeel gara-gara ketikan, mungkin ini saatnya menerapkan offline is the new online. Ajak teman-teman kamu ngobrol langsung, video call, atau ketemu muka. Ngopi bareng, nge-Mall, nge-date, mabar, dll. Komunikasi tatap muka selalu punya vibe yang beda dan bisa menghilangkan bias-bias yang muncul dari ketikan semata.
The Typing Trap: Saat Ketikan Mengkhianati Karakter Asli Seseorang
Belakangan ini, kita tersadarkan bagaimana satu tulisan, satu tweet, atau satu komentar bisa memicu badai dan gelombang. Bukan cuma membuat kebingungan atau pertanyaan, tapi juga menciptakan dugaan atas “nilai dan karaktermu” sampai di mana sih?
Ini bukan lagi tentang persahabatan atau kekeluargaan yang erat, tapi malah memicu perpecahan, salah paham, dan jurang di antara kita. Semua ini seringkali bermula dari: “The typing trap”, jebakan ketikan yang ternyata bisa mengkhianati karakter asli seseorang.
Kamu bisa saja melihat orang yang di dunia nyata begitu santun dan ramah, tapi di media sosial gaya bicaranya jadi kasar dan provokatif? Atau sebaliknya, seseorang yang di chat terkesan kaku dan dingin, padahal aslinya periang dan hangat?
Ini adalah bukti nyata bahwa “typing” bisa menjadi topeng atau cermin yang buram. Satu tulisan memang bisa mengkhianati karakter asli seseorang, karena ia seringkali hanya menangkap sepotong kecil dari pribadi yang kompleks, tanpa nada, intonasi, atau ekspresi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi manusiawi.
Ketikan Bikin Ilfeel? Ini Saatnya #NoTypingJudgement!
Jadi, setelah kita mandi hujan atas fenomena ilfeel karena ‘ketikan’ ini, satu hal yang bisa kita sepakati bersama adalah: ini saatnya kita mulai mengibarkan bendera #NoTypingJudgement! Berhenti menghakimi buku dari cover ketikannya saja. Ada begitu banyak hal di balik deretan huruf di layar yang tak bisa kita lihat atau pahami seutuhnya.
Daripada membiarkan satu typo atau gaya singkatan memupuk rasa ilfeel, kenapa tidak coba membuka ruang untuk memahami, bertanya, atau bahkan mengabaikannya? Ingat, komunikasi itu dua arah. Saling TikTok-an. Tugas kita bukan hanya mengirim pesan, tapi juga berusaha memahami pesan yang diterima, terlepas dari bagaimana ia diketik.
Pada akhir-nya:
Yang terpenting dalam komunikasi adalah substansi dan niat baik. Jangan sampai sepotong “Typo” yang mungkin tak sempurna justru menghalangi kita untuk mengenal pribadi yang luar biasa di baliknya. Karena, kualitas seseorang bukan terletak pada bagaimana jempolnya menari di atas keyboard, melainkan pada bagaimana hatinya berinteraksi dengan dunia.
Salam Dyarinotescom.