Entah Benar atau Salah, Tapi Ini Ada dan Nyata

  • Post author:
  • Post category:Did You Know
  • Post last modified:Maret 26, 2025
  • Reading time:11 mins read
You are currently viewing Entah Benar atau Salah, Tapi Ini Ada dan Nyata

Di negeri yang penuh dengan paradoks ini, realita sering kali melampaui imajinasi. “Entah benar atau salah, tapi ini ada dan nyata.” Kita hidup dalam lanskap sosial di mana logika dan nalar seolah-olah berjoget ala “Tza’ad Temani” tarian Yahudi dengan keanehan. Fenomena-fenomena yang seharusnya membuat alis kita terangkat tinggi-tinggi, justru di terima sebagai bagian dari “keunikan” yang tak terelakkan.

Berawal dari narasi-narasi yang beredar di warung kopi hingga celotehan di media sosial, kita di suguhi dengan cerita-cerita yang mungkin terdengar seperti plot film fiksi ilmiah, namun sayangnya, 💥ini adalah realitas yang kita hadapi sehari-hari. Istilah “konspirasi” dan “hoaks” mungkin sering di lemparkan, tetapi bagaimana jika kenyataannya lebih aneh dari itu?

Benar atau Salah?

 

Ini Ada dan Nyata

Kita hidup di era “post-truth,” di mana perasaan dan keyakinan pribadi sering kali lebih diutamakan daripada fakta objektif. Masyarakat kita seolah-olah memiliki kemampuan untuk menerima ‘dua kebenaran yang bertentangan secara bersamaan’, tanpa merasa perlu untuk mencari konsistensi.

Kita mengkritik keras ketidakadilan, tetapi pada saat yang sama, kita membiarkan atau bahkan berpartisipasi dalam tindakan-tindakan yang melanggengkan ketidakadilan tersebut. “Paham maksud kami kan?” Ini bukan tentang benar atau salah, ini tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, menavigasi kompleksitas realitas yang sering kali absurd ini.

Di balik semua itu, ada pertanyaan mendasar yang terus menggema: apa yang sebenarnya kita yakini, dan mengapa?

 

Kenyataan Yang Biasa Kita Lihat

Di tengah riuhnya informasi yang membanjiri dan mengilhami, kita sering kali lupa bahwa dunia ini menyimpan segudang kisah dan dosa yang tak terungkap, misteri yang tersembunyi di balik tirai realitas yang kita kenal.

Banyak narasi-narasi yang sengaja di bungkam, kami diam “karena puasa”, fakta-fakta yang dianggap kurang ‘seksi’ untuk dikonsumsi publik, dan kebenaran-kebenaran alternatif yang bersembunyi di balik bayang-bayang arus utama.

Namun, jika kita berani membuka mata dan mempertanyakan narasi yang disajikan, kita akan menemukan perspektif yang lebih luas, lebih kaya, dan mungkin, lebih menakutkan. Dunia yang kita kira sudah kita kenal ternyata menyimpan lapisan-lapisan realitas yang tak terduga.

Sebut saja:

 

1. Masyarakat yang peduli akan pemberantasan korupsi

Masyarakat kini mencapai titik muak terhadap korupsi, yakin bahwa praktik haram ini harus dibasmi hingga ke akar-akarnya. Namun, ironi muncul ketika kecelakaan truk buah atau bahan pokok terjadi, “seperti yang di beritakan akhir-akhir ini”.

Alih-alih membantu, penjarahan justru merajalela, memicu pertanyaan pedas: “Apakah mentalitas aji mumpung telah merasuki setiap lapisan masyarakat, dari elite hingga akar rumput, sehingga memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan menjadi hal yang lumrah?”

Jangan-jangan benar! ini seolah menegaskan bahwa korupsi bukan sekadar masalah segelintir elite berdasi, melainkan penyakit sosial yang menggerogoti mentalitas 7 generasi. Budaya maling teriak maling pun mencuat, di mana mereka yang lantang mengutuk korupsi di level atas, justru tak segan-segan menjarah ketika kesempatan datang.

Ini bukan lagi soal korupsi berjamaah, tapi potret buram mentalitas mental maling yang merasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Benar atau Salah?

 

2. Negara butuh orang miskin agar Sistem terus berjalan

Kalian kira para menteri itu benar-benar peduli dengan nasib masyarakat? Mereka itu kan di gaji, bukan bekerja sukarela. Istilah populernya, mereka itu “abdi negara” yang terikat kontrak kerja, bukan “malaikat penolong” yang datang dari langit. Jadi, jangan terlalu berharap banyak pada retorika politik mereka yang seringkali hanya manis di bibir.

Lalu, kalian kira pemerintah benar-benar serius memberantas kemiskinan? Coba pikirkan logika sederhananya, jika semua orang kaya, siapa yang mau bekerja di sektor-sektor yang kurang di minati? Siapa yang mau bekerja kasar dengan gaji rendah?

Siapa yang mau menerima bentakan dan perlakuan tidak adil? Dalam ekonomi pasar, selalu ada kebutuhan akan tenaga kerja murah. Tentu mereka mengamini, kemiskinan itu seperti lingkaran setan yang sengaja di pelihara.

Dan, akar kemiskinan adalah kebodohan.

Benar atau Salah?

 

3. Keturunan India dan Cina ‘Lebih dibenci’, keturunan timur tengah dihormati

Sungguh menggelitik melihat fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita. Bagaimana tidak, ketika kita menyoroti segelintir masyarakat yang leluhurnya adalah pendatang di negeri ini, seperti keturunan India dan Tionghoa, seringkali yang muncul dalam benak kita adalah stereotip negatif.

Istilah populer seperti “bau ketiak”, “jorok”, atau “tukang bohong” seolah menjadi label yang melekat. Namun, ironisnya, perlakuan berbeda justru di berikan kepada mereka yang memiliki keturunan Timur Tengah, khususnya Arab. Mereka seolah di tempatkan pada posisi yang istimewa, di muliakan, dan di hormati secara berlebihan. Pertanyaannya, dogma macam apa yang sedang kita anut ini?

Perbedaan perlakuan ini mencerminkan adanya bias budaya dan etnosentrisme yang masih kental dalam masyarakat kita. Seolah-olah, asal keturunan menjadi tolok ukur untuk menilai seseorang, bukan pada kualitas individu itu sendiri. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan ketidakadilan, tetapi juga berpotensi merusak harmoni sosial.

Istilah populer seperti “privilese keturunan” atau “superioritas ras” mungkin terdengar kasar, tetapi itulah realitas yang terjadi.

Benar atau Salah?

 

4. Kuburan dijadikan tempat Ibadah

Cibiran “sudah rusak otaknya!” mencerminkan kekesalan mendalam terhadap fenomena yang dianggap menyimpang. Di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, muncul paradoks ketika kuburan di jadikan tempat ‘keramat’ , praktik yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Ironisnya, para oknum yang terlibat dalam praktik ini justru mengklaim diri sebagai ulama atau berlindung pada label diri “keturunan nabi”, seolah-olah memiliki legitimasi untuk melakukan penyimpangan. Fenomena ini memicu “pembodohan” di kalangan umat Islam, mempertanyakan otoritas keagamaan dan garis keturunan sebagai justifikasi tindakan.

Lebih lanjut,

‘Sikap diam’ atau “takut” dari sebagian tokoh agama terhadap praktik-praktik menyimpang ini menimbulkan tanda tanya besar. Alih-alih meluruskan, mereka justru terkesan “biarin saja lah”, seolah-olah memberikan pembenaran terhadap takhayul yang merusak akidah. Dan itu dosa besar!

Ini sungguh memicu kekhawatiran akan terjadinya distorsi ajaran agama, di mana tradisi dan budaya lokal bercampur aduk dengan ritual keagamaan, menghasilkan praktik-praktik yang jauh dari esensi ajaran Islam yang murni.

Benar atau Salah?

 

5. Dunia ternyata tidak butuh banyak karyawan seperti loe

Ini berkaitan dengan pengembangan AI yang sebenarnya AI itu bukan untuk membantu manusia, malah untuk menggantikan manusia itu sendiri. Mereka memberikan judul sebagai efisiensi. Dalam dunia teknologi yang terus berkembang pesat, kecerdasan buatan (AI) muncul sebagai kekuatan yang menjanjikan efisiensi dan inovasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Efisiensi, yang sering kali diagungkan sebagai tujuan utama pengembangan AI, dapat menjadi jilid baru peradaban. Di satu sisi, AI dapat mengoptimalkan proses, mengurangi biaya, dan meningkatkan produktivitas di berbagai sektor. Namun, di sisi lain, dorongan untuk efisiensi ini dapat mengarah pada “ganti tenaga kerja manusia” secara besar-besaran.

“Pengangguran teknologi” dan “kesenjangan keterampilan” menjadi semakin relevan dalam konteks ini, menyoroti tantangan yang dihadapi masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan era AI. Jadi, yang lemah persiapkan diri terpinggirkan.

Benar atau Salah?

 

6. Biaya Pendidikan Tinggi

Istilah ‘pendidikan adalah hak segala bangsa’ seakan menjadi ironi ketika biaya pendidikan terus melambung tinggi. Seharusnya, pemerintah dapat menerapkan sistem ‘pendidikan gratis’ hingga menjadi anak bangsa yang mandiri atau setidaknya memberikan subsidi yang signifikan, sehingga semua anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk meraih ‘masa depan cerah’.”

Konsep ‘bayar nanti setelah lulus’ atau ‘student loan’, misalnya, mungkin bisa menjadi solusi alternatif. Dengan sistem ini, siswa dapat fokus pada pendidikan mereka tanpa terbebani oleh biaya kuliah yang tinggi. Istilah ‘merdeka belajar’ akan lebih bermakna jika setiap anak Indonesia memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, tanpa terkendala oleh masalah finansial.

Ini bukan hanya tentang ‘transfer of knowledge’, tetapi juga tentang menciptakan generasi penerus yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Bukan seperti generasi korup yang ada saat ini. Agar tidak marah, semua poin-poin ini adalah permisalan.

 

7. Sistem Pendidikan Demi Pasokan Industri

Kita di sekolah di jejali pelajaran matematika, fisika, kimia, yang mungkin hanya sedikit terpakai dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kita tidak pernah di ajarkan tentang cara mencari uang, berinvestasi, atau membangun bisnis. Ibaratnya, kita cuma di ajari cara jadi “kuli” atau karyawan, bukan jadi “juragan” atau pengusaha.

Hal ini memicu pertanyaan,

Apakah sistem pendidikan kita di rancang untuk menciptakan generasi pekerja, bukan generasi pencipta lapangan kerja? “Sekolah hanya mencetak buruh” seolah menjadi kenyataan pahit. Padahal, pengetahuan tentang keuangan dan kewirausahaan sangat penting untuk mencapai kebebasan finansial dan membangun masa depan yang lebih baik.

 

8. Perbudakan Digital

Kita sebagai pengguna seringkali tidak menyadari bahwa konten yang kita nikmati di platform digital seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan Google sebenarnya tidak sepenuhnya gratis. Padahal, platform-platform tersebut berhasil menjadi perusahaan dengan keuntungan yang sangat besar.

Ternyata, kitalah yang menjadi target pasar utama mereka. Setiap interaksi seperti like, view, klik, dan bahkan data pribadi kita, di ubah menjadi komoditas yang menghasilkan uang bagi mereka. Dalam istilah populer, kita sering di sebut sebagai “produk” dari layanan gratis tersebut.

Ini sering di sebut sebagai “ekonomi perhatian” atau attention economy, di mana perhatian pengguna menjadi mata uang yang sangat berharga. Perusahaan-perusahaan teknologi ini memanfaatkan algoritma dan strategi pemasaran yang canggih untuk menarik dan mempertahankan perhatian kita, sehingga mereka dapat mengumpulkan data dan menampilkan iklan yang relevan.

Data-data ini kemudian di gunakan untuk personalisasi iklan, yang menjadi sumber pendapatan utama mereka. Jadi, meskipun kita tidak membayar dengan uang, kita membayar dengan perhatian dan data pribadi kita.

 

9. Sumber Daya Alam Bukan Untuk Kita

Negara ini bagaikan “ibu pertiwi” yang kaya akan sumber daya alam, namun ironisnya, kekayaan tersebut justru di nikmati oleh pihak asing. Mengapa sistem yang di terapkan malah menciptakan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakberdayaan bagi masyarakatnya sendiri?

Seolah-olah, masyarakat hanya menjadi penonton di stadion mereka sendiri, sementara para “pemain asing” dengan leluasa “menggiring bola” kekayaan alam. Ini adalah paradoks yang menyedihkan, di mana aset negara seharusnya menjadi “berkah”, justru berubah menjadi “kutukan”.

Ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang kedaulatan ekonomi dan politik. Apakah kita benar-benar merdeka, atau hanya menjadi boneka di tangan para “kapitalis global”? Mengapa “kebijakan publik” yang di buat di rancang untuk mengamankan kepentingan pihak luar, bukan untuk kesejahteraan rakyat?

 

10. Percaya dengan Drama Setingan dan lupa Realita

Aneh yaa, warga +62 ini, “Senang lihat orang kenyang, Mukbang”. Kita, sebagai bagian dari masyarakat, kadang to-lol dan lebih peduli dengan omongan para artis ketimbang urusan politik dan ekonomi. Padahal, urusan-urusan itu penting agar kita tetap bisa bertahan hidup. Jika tidak, kita pasti terusir dari tanah air beta.

Kita lebih menikmati gosip, cerita recehan, settingan murahan, dan drama-drama yang sebenarnya tidak penting. Kami sebut “budaya infotainment”, di mana hiburan dan gosip selebriti lebih mendominasi ruang publik daripada kelaparan dan pembodohan.

Kita lebih memilih untuk terhibur dengan hal-hal yang ringan dan lucu “menjadi robot berdaging”, daripada pusing memikirkan masalah-masalah di Negara ini. Namun, apakah ini adalah pilihan yang tepat? Apakah kita akan terus terjebak dalam hiburan yang menghabiskan waktu jam makan siang, atau kita akan mulai lebih peduli dengan isu-isu yang benar-benar penting?

 

Benar atau Salah, Tapi yang pasti Kita Diamkan Kenyataan itu

Dalam realita yang seringkali absurd ini, kita di hadapkan pada tantangan untuk tetap waras dan berani mengatakan ini baik dan itu tidak baik. Entah benar atau salah, kisah-kisah aneh yang kita saksikan sehari-hari adalah cerminan dari karakter masyarakat kita.

Di tengah derasnya pembodohan informasi, kita perlu mengasah kemampuan untuk membedakan fakta dan fiksi, logika dan ilusi. Mungkin, inilah saatnya kita berhenti menerima segala sesuatu sebagai “keunikan” semata, dan mulai mempertanyakan, menganalisis, serta mencari solusi atas anomali-anomali yang terjadi.

Sebab, jika kita terus membiarkan keanehan ini menjadi norma, bukan tidak mungkin kita akan terjebak dalam realitas yang semakin sulit di pahami. Lebih jauh lagi, kita berisiko di berikan label sebagai bangsa ‘bodoh’, yang tidak mampu menalar penyimpangan di sekitar kita.

Agar tidak merah dan marah, kami beri tambahan semua ini dengan kata: Ini misalnya. 😀

 

Salam Dyarinotescom.

Tinggalkan Balasan