I’m sorry: Meminta Maaf Juga Punya Adab

  • Post author:
  • Post category:Lifestyle
  • Post last modified:Desember 6, 2024
  • Reading time:5 mins read
You are currently viewing I’m sorry: Meminta Maaf Juga Punya Adab

Pernahkah Kamu melihat permintaan maaf yang justru memancing kontroversi? Di era media sosial yang serba cepat ini, kita kerap disuguhkan berbagai kejadian viral, termasuk momen ketika permintaan maaf justru menjadi sorotan, karena cara penyampaiannya yang kurang tepat “kurang beradab”. Peristiwa ini mengundang pertanyaan besar: Apakah sekadar mengucapkan ‘maaf’ sudah cukup? Atau, ada adab dan etika tersendiri dalam menyampaikan permintaan maaf?

The Art of the Apology 

Meminta maaf itu ada adab-nya, bukan sebarangan! Atau ugal-ugalan. Apalagi jika kita memberikan label diri sebagai tokoh “Dengan T besar”. Ini bukan sekadar mengucapkan kata “maaf, sorri”, merangkul bahu orang seperti anak kecil meminta pisang. “Bukan, bukan bro!”.

Melainkan,

Melibatkan pemahaman yang ‘sungguh’ tentang kesalahan yang kita lakukan, empati terhadap perasaan orang yang disakiti, dan komitmen untuk memperbaiki situasi. Meminta maaf juga harus tepat waktu, penggunaan bahasa yang sopan, gestur yang tidak berlebihan, serta kesediaan untuk menerima konsekuensi atas tindakan.

Itu sebabnya Adab lebih tinggi dari Ilmu.

 

Meminta Maaf Juga Punya Adabnya

Dalam budaya kita, di Indonesia, meminta maaf adalah tanda kesopanan dan kedewasaan. “Kemanusiaan yang adil dan ber-adab”. Namun karena pergaulan, pengaruh, dan hiruk pikuk kehidupan modern, nilai-nilai ini seringkali kita lupakan. Akibatnya, kita sering menyaksikan meningkatnya konflik dan perselisihan.

Sebenarnya ‘Permintaan Maaf’ itu, tidak hanya memperbaiki hubungan dengan orang lain, tetapi juga membangun karakter diri kita sendiri. Maaf itu tidakan dan ucapan yang di-tulus-kan, tanda bahwa kita pernah belajar, berdewasa, berani, dengan ber-rendah hati.

 

Ketika meminta maaf dalam konteks “The Art of the Apology”

Sebenarnya ini bukan untuk menggurui. Tapi, amat disayangkan, orang kita ini semakin berilmu semakin tolol kelakuannya, sombong gayanya, jongkok adabnya. Semakin tinggi pendidikan dan jabatan yang di raih, harusnya semakin terasah kepekaan sosial dan empati kita.

Namun, sayang sekali, kita justru menyaksikan banyak ‘tokoh’ yang mengedepankan ego dan ambisi, melupakan nilai-nilai luhur, seperti kesopanan dan kerendahan hati. Padahal, ilmu seharusnya untuk meningkatkan kualitas, bukan menjadi senjata untuk menjatuhkan.

Untuk itu, apa yang kita lakukan?

Ketika kita meminta maaf, pada dasarnya kita sedang melakukan proses rekonsiliasi. Kita mengakui kesalahan yang telah kita perbuat, “Muka jangan kucel”, tunjukkan penyesalan atas dampak yang ditimbulkan, dan membuka pintu untuk memperbaiki. Lebih dari sekadar mengucapkan kata “maaf”, meminta maaf itu tindakan, melibatkan hati, pikiran, dan perbuatan.

Lakukan itu dengan:

 

1. Mengakui

To err is human. to forgive, divine”: Berbuat salah adalah sifat manusia. memaafkan adalah sifat Ilahi.

Dengan jelas “Akui” apa yang dikatakan, dan orang yang mendengarkan pun mengerti apa yang kita katakan. Secara spesifik mengakui tindakan atau perkataan kita yang salah. “Mana-mana yang kita anggap salah” Tanpa basa-basi dan embel-embel. Ini menunjukkan bahwa kita bertanggung jawab atas lidah, perkataan, perbuatan dan tidak berusaha untuk membentengi diri.

 

2. Menunjukkan

Like a ship lost at sea, I wander aimlessly, regretting the course I’ve steered”: Seperti kapal yang tersesat di laut, aku berkeliaran tanpa tujuan, menyesali arah yang telah kuambil.

Mengungkapkan perasaan menyesal atas dampak yang telah kita timbulkan. Ini menunjukkan bahwa kita memahami bahwa tindakan kita telah menyakiti atau merugikan mereka. Karena, penyesalan adalah guru yang keras, tapi pelajarannya sangat baik. Penyesalan terbesar dalam hidup bukanlah atas hal-hal yang kita lakukan, melainkan atas hal-hal yang tidak kita lakukan tapi kita timbulkan.

 

3. Mengucapkan

Dina beurang anu caang ieu, abdi ngarasa poek ku kalepatan diri”: Di siang yang cerah ini, aku merasa gelap karena kesalahanku.

Kita seringkali menggunakan kata ‘maaf’ untuk mengungkapkan penyesalan atas kesalahan yang telah kita lakukan. Namun, permintaan maaf yang tulus bukan hanya sekedar kata-kata. Tapi komitmen untuk berubah dan memperbaiki diri. Penyesalan tanpa tindakan adalah sia-sia belaka. Kata-kata memiliki kekuatan untuk membangun, tapi bisa juga menghancurkan.

 

4. Memahami

Becik ketitik ala ketara“: Kebaikan akan tampak, keburukan akan terlihat, PoV-nya: perbuatan baik maupun buruk pasti akan terlihat hasilnya.

Kita berusaha keras untuk memahami perasaan orang yang telah kita sakiti. Menempatkan diri pada posisi mereka, kita mencoba merasakan apa yang mereka rasakan. Sebelum menghakimi seseorang, berjalanlah satu mil dalam sepatunya. Dengan memahami sudut pandang mereka, kita berharap dapat memperbaiki kesalahan yang telah kita perbuat. Tindakan itu lebih keras daripada kata-kata.

 

5. Berkomitmen dan Bertindak

Mulat sarira, ngerti ing laku.”: Melihat diri sendiri, mengerti perbuatan, PoV-nya: sebelum berbicara, kita harus introspeksi diri terlebih dahulu.

Memberikan keyakinan “berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama” di masa depan. Menunjukkan bahwa serius memperbaiki diri. Jika dirasa ada kerugian materi, kita melakukan tindakan nyata untuk memperbaiki situasi. Misalnya, mengganti barang yang rusak, memberikan bantuan, atau melakukan hal lain yang dapat menunjukkan ketulusan kita.

 

“Maaf Yaa Bro”. The Art of the Apology

Sebenarnya kami ingin mengajak kita semua untuk merenung lebih dalam tentang makna permintaan maaf. Penyesalan itu tidak hanya sekadar memberikan ucapan puitis yang melankolis, namun menggali jauh ke dalam hati nurani manusia.

Melalui pemahaman tentang emosi, empati, dan tanggung jawab, kita di ajak untuk mendalami sebuah permintaan maaf yang tulus. Dan itu merupakan sebuah seni yang memerlukan keberanian. Mengingatkan kita bahwa kesalahan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Oleh karena itu, cara kita merespon ‘satu kesalahan’ yang akan menentukan kualitas kita dengan orang lain sebagai mahluk yang beradab. Dengan kata lain, “I’m Sorry” bukan sekadar dua kata, melainkan sebuah perjalanan menuju penyembuhan dan pertumbuhan. Tidak hanya meminta maaf, tetapi juga untuk belajar dari kesalahan, membangun kembali kepercayaan, dan memperkuat sesuatu yang berharga. Yaitu: Keadaban

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan