Ramadan: Hidayah Datang Kepada Siapa Saja Termasuk Koruptor

  • Post author:
  • Post category:Lifestyle
  • Post last modified:Maret 4, 2025
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Ramadan: Hidayah Datang Kepada Siapa Saja Termasuk Koruptor

Ramadan kali ini membawa “vibes” yang berbeda. Suasana syahdu bulan suci ini terasa begitu kental, seolah mengingatkan kita bahwa hidayah bisa datang kepada siapa saja, bahkan kepada mereka yang selama ini dianggap public enemy yaitu para koruptor.

Lihatlah, bahkan seorang koruptor kelas kakap yang selama ini hidup dalam gelimang harta hasil “cubit-cubit anggaran” pun bisa tersentuh hatinya oleh cahaya Ramadan. Inilah bukti bahwa Allah SWT Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, selalu membuka pintu ampunan bagi hamba-Nya yang ingin bertobat.

 

Ramadan Benar-Benar Membawa Berkah

Dari tanah Konoha, terselip sebuah kisah tentang perjalanan hidup seorang insan yang dikenal sebagai ‘Si Tukang Tilep Uang Rakyat’. Kisah ini bukan sekadar fiksi, melainkan cerminan realitas yang sering kita jumpai. Memang benar, pintu ampunan Allah SWT selalu terbuka lebar bagi hamba-Nya yang berlumuran dosa.

Namun, bagaimana jika dosa itu tak hanya melibatkan hubungan vertikal dengan Sang Pencipta, tetapi juga horizontal dengan sesama manusia? Bagaimana cara menebus dosa kepada mereka yang haknya telah dirampas?

Nah, untuk itu berikut ceritanya:

 

Ilustrasi foto keluarga

 

Koruptor Bertobat, Ramadan Membawa Berkah

Pak Hartawan, seorang koruptor kelas kakap yang namanya sering menghiasi halaman depan media massa, hidup dalam gelimang harta hasil rampokan uang negara. Ia membangun sebuah kerajaan kemewahan dari uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

“Flexing” telah menjadi gaya hidupnya, sebuah pertunjukan kekayaan yang tak tahu malu. Ia memamerkan kekayaannya dengan koleksi mobil mewah yang nilainya setara dengan anggaran pembangunan sebuah desa, rumah bak istana yang lebih mirip museum seni modern, dan jam tangan seharga rumah subsidi yang seharusnya menjadi impian para pekerja kerah biru.

Gaya hidupnya yang “wah” membuatnya dijuluki “Sultan Maling” oleh para netizen yang geram tapi terpaksa. Ia menjadi simbol keserakahan dan ketidakadilan, wajah korupsi yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Pak Hartawan tertangkap tangan saat mencoba “cuci tangan” dengan menyuap aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi benteng keadilan.

Ia dan antek-anteknya pun dijebloskan ke penjara, sebuah tempat di mana para “sad boys” dan “sad girls” menghabiskan hari-hari mereka dalam penyesalan dan kesepian. Di balik tembok penjara yang dingin dan suram, Pak Hartawan harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kekuasaan dan kekayaan yang selama ini ia banggakan tidak ada artinya.

Bagai sayap nyamuk.

 

Hidayah itu Bisa Datang dari Mana Saja

Di balik jeruji besi yang dingin dan lembap, Pak Hartawan, sang “Sultan Rampok”, bertemu dengan Pak Salim, seorang bapak tua renta yang dipenjara karena mencuri seekor ayam. “Waduh, dipenjara karena seekor ayam, gak salah?” pikirnya.

Pak Salim, dengan wajah keriput dan mata sayu, menceritakan kisahnya. Ia mencuri bukan untuk kemewahan, bukan untuk “flexing” atau pamer harta, melainkan karena perut dan keluarga kecilnya sudah keroncongan berhari-hari.

Mereka kelaparan, tak punya beras, apalagi lauk pauk. Air mata Pak Salim menetes saat ia bercerita tentang anak-anaknya yang menangis kelaparan. “Kami lapar, dan setan menggodaku untuk mencuri”.

Dari kisah hidup Pak Salim, Pak Hartawan baru menyadari betapa jahatnya perbuatannya.

Uang pajak yang seharusnya menjadi hak rakyat kecil seperti Pak Salim, malah ia “embat” untuk kepentingan pribadi. Ia membangun istana, membeli kendaraan mewah, sementara rakyat kecil seperti Pak Salim berjuang untuk bertahan hidup.

Hatinya yang selama ini keras bak batu karang, mulai retak. “Malu muka ini seperti kotoran” dan “tak patut dibilang sebagai orang”. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri, dengan segala kemewahan yang ia nikmati dari hasil korupsi.

Apalagi, saat itu bertepatan dengan bulan Ramadan. Semua kebiasaan berubah dari hari biasanya.

Suasana penjara yang biasanya kelam, mendadak terasa syahdu dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an. Setiap malam, Pak Hartawan mendengar suara merdu para tahanan yang membaca Al-Qur’an.

Ia melihat mereka khusyuk beribadah, meski dalam kondisi yang serba terbatas. Ia merasa malu, sangat malu. Ia, yang selama ini hidup dalam kemewahan tapi palsu, bahkan tak sekalipun pernah menyentuh Al-Qur’an.

 

Merenung Tentang Banyak Hal

Malam-malam di balik jeruji besi menjadi saksi bisu pertarungan batin Pak Hartawan. Setiap malam, ia merenungi dosa-dosanya yang menggunung, seperti sampah yang menumpuk di pinggir jalan yang menyebabkan bau dan penyakit.

Ia merasa seperti “netizen julid” yang hanya bisa menghakimi orang lain tanpa pernah berkaca pada diri sendiri. Ia menyadari betapa munafiknya ia selama ini, menuntut keadilan dari orang lain sementara ia sendiri menginjak-injak keadilan.

Ia merasa seperti “public enemy” bagi rakyat kecil yang telah ia rampok haknya.

Di bulan Ramadan yang penuh berkah ini, hidayah seolah mendobrak pintu hatinya yang telah lama tertutup. Ia bertekad untuk bertobat, membersihkan diri dari noda-noda dosa yang telah melekat.

Ia mulai belajar kembali menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk, merasakan lapar dan dahaga yang selama ini tak pernah ia rasakan. Ia mengikuti salat tarawih berjamaah di masjid penjara, merasakan kedamaian yang selama ini tak pernah ia temukan dalam lingkaran bejatnya.

Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, meresapi makna setiap kata, mencari petunjuk jalan yang lurus. Ia juga memberanikan diri untuk meminta maaf kepada Pak Salim dan tahanan lainnya. Ia mengakui kesalahannya, memohon ampun atas dosa-dosanya.

 

Perlahan tapi Pasti, Pak Hartawan Berubah.

Ia berusaha dengan keras menjadi pribadi yang lebih rendah hati, lebih peduli terhadap sesama. Ia belajar untuk menghargai setiap rezeki, betapapun kecilnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, jika kelak ia bebas, ia akan mengembalikan semua uang yang telah ia curi.

“Buat apa uang banyak, tapi hasil merampok uang rakyat” sadar-nya. Ia memimpikan hidup sederhana namun tidak merugikan orang banyak. Ia berniat menjadi orang yang bermanfaat. Ingin mengabdikan dirinya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.

Ramadan telah menjadi titik balik dalam hidupnya, membawanya dari gelapnya korupsi menuju cahaya ampunan, dari kesombongan menuju kerendahan hati, dari keserakahan menuju kedermawanan dan pengabdian.

 

Namun,

Cerita ini tidak selesai dan seindah yang para koruptor impikan.

Sebelum sempat benar-benar bertobat dan mengembalikan uang rakyat, “Si Paling Kaya, Sultan Maling” tersebut mati mengenaskan. Kematiannya begitu ironis, sebuah akhir yang tragis bagi seorang yang dulunya bergelimang harta.

Ia terpeleset di kamar mandi oleh kotorannya sendiri, sebuah simbol dari kekotoran hati dan perbuatannya selama ini. Ia sudah terlambat untuk meminta maaf kepada seluruh rakyat yang telah menjadi korban keserakahannya.

Kematiannya yang mendadak meninggalkan tanda tanya besar. Apakah ini hukuman dunia, atau sekadar kecelakaan biasa? Yang jelas, ia pergi dengan membawa beban dosa yang tak tertebus.

Pada saat itu, seorang petugas penjara menemukan secarik kertas lusuh di saku celananya. Di atas kertas itu, tertulis sebuah kalimat yang mengguncang hati siapapun yang membacanya:

“Jika Surga menolakku, Neraka jijik kepadaku: lantas aku kemana?”

Kalimat itu menjadi warisan terakhir Pak Hartawan, sebuah jeritan hati yang penuh penyesalan dan keputusasaan. Kalimat itu menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa harta dan kekuasaan tidak menjamin kebahagiaan dan keselamatan.

Kematian Pak Hartawan menjadi pelajaran berharga, bahwa setiap perbuatan pasti ada balasannya, dan penyesalan selalu datang terlambat.

 

Hidayah Datang Kepada Siapa Saja

Huuh, sungguh tragis memang kisah ini. Hidayah, yang datang tanpa diduga, terbukti mampu menyentuh hati siapa saja, bahkan untuk seorang koruptor. Namun, ironisnya, ketika ia hendak memperbaiki diri, waktu telah habis.

Usia tak lagi bersahabat dengan waktu untuk menebus kesalahan. Perjalanan yang penuh liku, dari puncak kejayaan yang semu hingga jurang penyesalan yang dalam, menjadi lamunan penulis dan kita semua pembaca.

Kisah ini bukan sekadar hiburan mengisi Ramadan, melainkan pesan tentang makna “pertobatan yang sejati” dan “konsekuensi abadi dari setiap perbuatan”. Mengingatkan kita bahwa kesempatan untuk berbuat baik dan meminta maaf tak selalu tersedia. Bukan seperti tiket bioskop yang bisa kita beli kapan saja.

Pesan-nya: Jangan sampai penyesalan datang terlambat, ketika waktu tak lagi berpihak. Sebuah pelajaran berharga tentang konsekuensi dari setiap perbuatan.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan