Bukan Robot, Bukan AI: Kita Fokus di Akademi Bonsai Saja lah

  • Post author:
  • Post category:Technology
  • Post last modified:July 8, 2025
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Bukan Robot, Bukan AI: Kita Fokus di Akademi Bonsai Saja lah

Di tengah ongkos revolusi industri 4.0 yang nilai-nya melelehkan kotoran telinga, saat negara-negara adidaya berlomba menciptakan kecerdasan buatan paling mutakhir dan robot yang mampu menggantikan peran manusia, kita di sini, di tanah yang katanya “Konoha” ini, justru sedang merancang sebuah akademi bonsai. Ya, paman tidak salah baca. Bukan pusat riset AI, bukan laboratorium robotika canggih, melainkan sebuah akademi khusus untuk menanam dan membentuk pohon kerdil.

Melongo? Tentu saja.

Ngoooook 😧

Fenomena ini mungkin terdengar ‘nyeleneh’ di telinga para penganut paham kemajuan linear, seolah kita berjalan mundur ke masa ketika gerobak sapi adalah puncak teknologi😁. Geli banget ini. Namun, di balik keputusan yang terkesan “antik” ini, tersimpan sebuah narasi yang jauh lebih berbobot dan mungkin, tanpa kita sadari, justru merupakan refleksi dari pencarian jati diri yang autentik di tengah pusaran modernitas yang serba seragam.

 

Ketika Dunia Sibuk Mengotomatisasi, Kita Menanam Estetika

Entah apa yang berkelebat di otak orang-orang di “Konoha” ini. Saat bangsa-bangsa maju di luar sana sibuk mendanai pengembangan teknologi kuantum dan algoritma prediktif yang mengubah wajah peradaban, kita justru disodori gagasan tentang akademi bonsai. Rasanya seperti kembali ke zaman prasejarah, di mana alat batu adalah gadget paling canggih.

Bukan tidak boleh! Tapi, aroma regresinya itu lho, bikin geleng-geleng kepala.

Negara-negara maju saat ini tidak hanya mengembangkan robot dan AI untuk manufaktur atau militer, tetapi juga untuk membantu kehidupan sehari-hari, termasuk dalam budidaya tanaman. Bayangkan, bahkan untuk mengurus bonsai sekalipun, mereka sudah punya robot penyiram otomatis atau sensor yang memantau kelembaban tanah.

Mereka mengembangkan segala sektor berbasis teknologi demi efisiensi dan keuntungan ekonomi maksimal.

Lalu, “Konoha” kita?

Jangankan robot atau AI, kita ini “baru akan” dan “rencana-nya”, “baru mau” atau sekadar membuat akademinya. Itupun bukan akademi robotika apalagi artificial intelligence, tapi akademi bonsai.

Alamak jang!

Betapa menggelikan sekaligus mengecewakan rasanya. Seolah-olah visi kepemimpinan kita hanya sebatas itu saja, terkesan dangkal, hanya sebatas penyerapan anggaran dan proyek yang terlihat “ada”, tanpa substansi yang relevan dengan tantangan zaman, misalnya.

Kualitas para pemimpin daerah yang seperti ini memang seringkali membuat kita frustrasi. Mereka tampak sibuk dengan kegiatan seremonial yang hanya bertujuan agar anggaran terserap habis, tanpa memikirkan dampak jangka panjang atau relevansi dengan kebutuhan nyata masyarakat di era digital ini. Ini bukan sekadar keputusan aneh, tapi sebuah manifestasi ‘yang ter-blok’ yang merugikan kita semua.

Di saat dunia berlari kencang menuju era hyper-connectivity dan big data, kita malah asyik menggunting ranting.

Apakah ini strategi atau memang minimnya pemahaman tentang arah zaman? Pertanyaan ini terus menghantui, membuat kita bertanya-tanya, apakah kita memang ditakdirkan untuk selalu berada di barisan belakang, ataukah ada makna tersembunyi yang belum terungkap di balik obsesi terhadap pohon kerdil ini?

 

Urgensi Teknologi vs. Kekayaan Tradisi: Sebuah Pilihan Prioritas

Mungkin rasa emosi ini muncul karena kita berpikir bahwa kebutuhan saat ini harus disesuaikan dengan tren global. Ini mungkin yaa, kak.

Bukankah seharusnya kita berlomba untuk menjadi yang terdepan dalam inovasi teknologi, mengembangkan startup berbasis AI, atau menciptakan ekosistem digital yang kuat? Mengapa kita justru menoleh ke belakang, ke sebuah seni yang (di mata sebagian orang) terkesan statis dan outdated?

Atau, mungkin SDM kita mampu-nya itu doang? 😧🥴

Kami mencoba sedikit menenangkan diri dan melihat gambaran yang lebih besar. Apakah kemajuan selalu harus linier dan seragam? Apakah mengejar tren global adalah satu-satunya definisi dari kemajuan? Bisa jadi, dalam hiruk pikuk modernisasi, kita melupakan esensi dari apa yang membuat sebuah bangsa benar-benar unik dan berdaya.

 

1. Narasi Ulang Kemajuan: Bukan Sekadar Kecepatan, Tapi Kedalaman

Kemajuan bukanlah balapan kuda. Seringkali, kita terjebak dalam narasi bahwa yang paling cepat mengadopsi teknologi terbaru adalah yang paling maju. Namun, definisi kemajuan juga bisa mencakup kedalaman budaya, kelestarian lingkungan, dan kekuatan identitas. Fokus pada bonsai bisa menjadi simbol dari pilihan untuk mengembangkan “kecerdasan” lain: kecerdasan artistik, kesabaran, dan kemampuan menghargai proses yang panjang.

Ini bukan tentang menolak teknologi, tapi tentang menyeimbangkan antara inovasi disruptive dan warisan sustainable. Sebuah negara bisa saja punya robot tercanggih, tapi jika masyarakatnya kehilangan akar budaya dan jiwanya sendiri, apakah itu bisa disebut kemajuan sejati?

 

2. Diversifikasi Intelektual: Jangan Semua Telur dalam Satu Keranjang Digital

Kecerdasan tidak hanya ada di layar gawai. Memfokuskan seluruh sumber daya pada satu bidang, yaitu teknologi digital, bisa jadi bumerang. Ada bahaya homogenisasi intelektual, di mana semua orang didorong untuk berpikir seperti programmer atau data scientist. Mengembangkan akademi bonsai justru membuka spektrum kecerdasan lain.

Bisa saja itu bentuk kecerdasan visual, ketelitian, pemahaman tentang botani, dan filosofi.

Ini adalah tentang menciptakan skill set yang beragam dalam masyarakat. Ketika dunia semakin didominasi oleh AI, kemampuan manusiawi yang unik seperti kreativitas, kesabaran, dan apresiasi estetika mungkin justru menjadi komoditas paling langka dan berharga.

 

3. Ekonomi Kreasi Lokal: Dari Manufaktur Global ke Nilai Unik

Produk unggulan tidak harus selalu berbasis chip dan circuit. Ekonomi masa depan tidak melulu tentang produksi massal, tetapi juga tentang kreasi nilai unik. Bonsai, sebagai produk seni bernilai tinggi, memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Sebuah akademi bisa melahirkan seniman dan pengusaha bonsai yang mampu menciptakan pasar global untuk produk-produk yang hand-made dan sarat makna.

Ini adalah tentang memposisikan diri di niche market yang tidak mudah diduplikasi oleh robot. Sementara negara lain bersaing di industri manufaktur raksasa, kita bisa menonjol dengan produk-produk seni dan budaya yang memiliki cerita dan nilai estetika mendalam.

 

4. Keseimbangan Jiwa dan Raga: Menurunkan Laju, Meningkatkan Kualitas Hidup

Hidup bukan cuma tentang ‘throughput’.

Di tengah tekanan hidup yang serba cepat dan tuntutan produktivitas yang tak ada habisnya, seni seperti bonsai menawarkan jeda. Ia mengajarkan kesabaran, fokus, dan koneksi dengan alam. Sebuah akademi bonsai bisa menjadi oasis bagi jiwa yang lelah karena hiruk pikuk dunia digital.

Ini adalah tentang investasi pada well-being masyarakat. Sebuah bangsa yang seimbang secara mental dan spiritual akan lebih resilient dan inovatif dalam jangka panjang, bahkan dalam menghadapi tantangan teknologi.

 

5. Kekuatan Identitas: Merayakan Keunikan, Bukan Meniru

Siapa kita di mata dunia?

Jika kita hanya meniru apa yang di lakukan negara maju, kita akan selalu menjadi pengekor. Mengembangkan akademi bonsai adalah langkah berani untuk menegaskan identitas sebagai bangsa yang menghargai keindahan, ketelitian, dan harmoni dengan alam. Ini adalah tentang menonjolkan keunikan kita, bukan melebur dalam homogenitas global.

Ini tentang membangun brand negara yang berbeda. Mungkin, di masa depan, ketika semua negara punya robot dan AI, yang akan membedakan adalah sejauh mana mereka melestarikan dan mengembangkan warisan budaya otentik mereka.

 

Dari Silicon Valley ke Kebun Bonsai: Mengapa Kita Berbeda?

Jika kita membandingkan dengan Silicon Valley, misalnya, tempat lahirnya inovasi teknologi yang mendunia, ada perbedaan filosofi yang mendasar. Di sana, yang di elu-elukan adalah kecepatan, skalabilitas, dan disruption. Mereka mendorong batas-batas kemungkinan teknologi, mengubah cara kita bekerja, berkomunikasi, dan hidup.

Para pemimpin di sana memiliki visi yang jelas: menguasai masa depan melalui teknologi.

Lalu, kita? Terkadang, memang terasa seperti para pemimpin kita tidak memiliki visi clear-cut ke depan.

Yang namanya: ‘Anggaran’ seolah hanya jadi lahan proyek tanpa arah, jauh dari gambaran tentang Indonesia yang berdaya saing global dalam inovasi teknologi. Rasa frustrasi itu valid. Kita menginginkan pemimpin yang visioner, yang mampu melihat peluang di tengah badai perubahan.

Sejarah bangsa lain mengajarkan bahwa inovasi bukan hanya tentang teknologi.

Jepang, misalnya, dikenal sebagai raksasa teknologi, tetapi mereka juga sangat menghargai dan melestarikan seni tradisionalnya, termasuk bonsai. Mereka menunjukkan bahwa kemajuan dan tradisi bisa berjalan beriringan, bahkan saling menguatkan.

Maka, jika ada pemimpin yang terbukti hanya menghamburkan anggaran tanpa visi yang jelas, dengan proyek-proyek yang tidak relevan dengan kebutuhan dan potensi masa depan bangsa, penggantian adalah sebuah keharusan. Kita butuh pemimpin yang bukan hanya pekerja, tapi pemikir strategis yang mampu menempatkan bangsa ini di peta dunia, entah melalui teknologi atau melalui jalur unik yang kita pilih.

 

Gak Ketinggalan Zaman, Cuma Mencari Jati Diri Bangsa

Jadi, apakah fokus pada akademi bonsai ini berarti kita ketinggalan zaman? Sama sekali tidak dong. Sudah okey kok ini. Tapi, amat di sayangkan jika: bertani bonsai harus di “akademi kan” segala!

Jawab mereka: Justru, ini bisa jadi sebuah langkah berani untuk mendefinisikan ulang makna kemajuan bagi diri kita sendiri. Di saat dunia berlomba mengejar kecepatan dan kecanggihan yang seragam, kita memilih untuk memperdalam akar, mengasah kepekaan, dan merawat keindahan yang abadi.

CapCut-nya: Di saat negara lain menikmati kemajuan, kita menonton saja seraya merapikan ranting bonsai.

Yaa mungkin, di masa depan, ketika robot dan AI telah menguasai sebagian besar aspek kehidupan, sentuhan manusiawi, karya seni yang di buat dengan hati, dan koneksi dengan alam akan menjadi hal yang paling di cari. Akademi bonsai bukan hanya tempat belajar menanam pohon kerdil, bukan juga nanti lulusannya ramai-ramai ngantri mau melamar kerja di pabrik, tapi juga tempat menumbuhkan kesabaran, ketelitian, dan apresiasi terhadap keindahan yang tidak bisa di ciptakan oleh algoritma manapun.

Remainder: Fokus pada bonsai adalah tentang mencari jati diri bangsa yang unik.

Ini adalah tentang memilih jalur yang berbeda, di mana kemajuan tidak hanya di ukur dari jumlah chip yang di produksi atau kecepatan koneksi internet, tetapi juga dari kedalaman spiritual, kekayaan budaya, dan kemampuan kita untuk menemukan harmoni dalam hal-hal kecil.

Boleh-jadi: Di era robot dan AI, mungkin yang paling manusiawi adalah merawat sebatang pohon kerdil. 😁

 

Salam Dyarinotescom.

 

Leave a Reply