Dopamin, sering disebut sebagai “hormon kebahagiaan“, memainkan peran penting dalam sistem penghargaan otak kita. Namun, di era digital yang serba cepat ‘tanpa ribet-ribet’, kita seringkali terperangkap dengan mengejar sensasi “instan” Fake Dopamin, yang sangat mudah kita dapatkan dari media sosial, game, atau bahkan notifikasi ponsel.
Lantas apakah itu salah?
Tidak ada yang salah dengan menginginkan dopamin. Dopamin adalah neurotransmiter yang memberikan perasaan senang dan motivasi. Hal tersebut sangatlah wajar dan manusiawi. Namun, masalah muncul ketika kita terlalu bergantung kepadanya. “Hormon kebahagiaan” instan bisa membuat kita sulit merasakan kepuasan dari hal-hal yang lebih bermakna dalam hidup.
Jadi, mana yang lebih baik: mengejar dopamin alami, atau puas dengan yang buatan?
Table of Contents
Toggle
Apa Itu Real dan Fake Dopamin?
Secara sederhana, “dopamin” adalah nama yang diberikan kepada senyawa kimia karena hubungannya dengan asam amino dopa dan sifat kimianya sebagai amina. Senyawa ini mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang mengarah pada tujuan, membantu kita untuk belajar, memberikan perasaan senang lagi puas, serta baik dalam meningkatkan kreativitas.
Sebelum memberikan label: “Mana yang lebih baik?”, patutlah kita mengetahui rupa dari ‘Dopamine’ yang asli dan wujud dari si palsu.
Seperti apa seeh Real Dopamin?
Sesuatu yang ‘Real’ mengacu pada dopamin yang diproduksi secara alami oleh tubuh kita sebagai respons terhadap pengalaman dan aktivitas yang memberikan kepuasan atau penghargaan. Ini bisa berupa:
- Aktivitas fisik, seperti: Berolahraga, atau melakukan aktivitas fisik yang menyenangkan;
- Prestasi, seperti: Menjadi juara, mencapai tujuan, menyelesaikan tugas;
- Interaksi sosial, layaknya: Berinteraksi dengan orang yang kita sayangi, membangun hubungan;
- Pengalaman baru, meliputi: Menjelajahi tempat baru, belajar hal baru; dan
- Makanan sehat, seperti: Mengonsumsi makanan bergizi yang dibutuhkan tubuh.
Kemudian,
Maksud dari Fake Dopamin?
Dopamin Palsu atau Fake “hormon kebahagiaan” merujuk pada sensasi senang “Aku bebas, aku lepas!” atau kepuasan yang didapat secara instan dan tidak berkelanjutan “tak ada manfaat”, dan biasanya berasal dari sesuatu yang buatan atau stimulasi eksternal. Dopamin palsu lebih seperti jalan pintas untuk mendapatkan perasaan senang. Bisa kita dapatkan pada:
- Lingkungan Media Sosial, seperti: Mendapatkan banyak like, komentar, atau followers;
- Game, dengan cara: Mencapai level baru, mengumpulkan poin, atau memenangkan pertandingan;
- Pada Makanan Olahan, misalnya: Mengonsumsi makanan yang tinggi gula, garam, atau lemak;
- Pengaruh Narkoba, seperti: Penggunaan zat-zat psikoaktif seperti kokain atau heroin; dan sudah pasti,
- Belanja, berupa: Membeli barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan.
Jadi Mana yang lebih baik
Berdasarkan yang terlihat diatas, jelas! dapat kita simpulkan bahwa yang alami (Real dopamine) jauh lebih baik daripada buatan (Fake dopamine). Tentu saja, kita diperbolehkan untuk bermedia sosial “agar tetap update”, main game, dan belanja. Tapi dengan banyak batasan-batasan atau sesuai kebutuhan.
Mengapa Real lebih baik?
Dopamin alami memberikan perasaan puas yang lebih stabil dan baik pula jika dilanjutkan terus menerus, dibandingkan dengan euforia sesaat dari dopamin buatan. Dopamin alami mendukung kesehatan secara keseluruhan “Bisa kita buktikan!”. Sementara dopamin buatan seringkali dikaitkan dengan kecanduan dan masalah lainnya.
Dopamin alami memotivasi kita untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat dan bermakna dalam jangka panjang, dan juga berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih baik secara keseluruhan.
Dopamin buatan atau sering disebut sebagai “dopamin instan” memang memberikan kepuasan yang cepat, namun efeknya tidak bertahan lama dan seringkali diikuti oleh perasaan hampa “Uang habis entah kemana, waktu habis tanpa makna, tubuh tak sehat karena duduk seharian”.
Selain itu, ketergantungan pada dopamin buatan dapat menyebabkan masalah yang lebih parah. Yaa, otak mu sering ‘Ngelag’ gitu.
Jebakan Dopamin Instan, Bagaimana Bisa Mereka Memanipulasi Otak Kita?
Media sosial, dengan desainnya yang cerdik, telah berhasil menciptakan sebuah lingkaran setan yang menggiurkan: “Jebakan dopamin instan.” Kita semua pasti pernah bahkan sering merasakan sensasi menyenangkan saat mendapatkan notifikasi baru, like, atau komentar di media sosial.
Sensasi ini, yang sebenarnya adalah dorongan dopamin, neurotransmitter yang terkait dengan perasaan senang dan penghargaan, “Masuk jebakan!” membuat kita terus kembali untuk mencari lebih banyak lagi “Terus masuk melemahkan kesadaran”.
Bagaimana Media Sosial Memanipulasi Otak Kita?
Penting untuk diingat bahwa media sosial dapat menjadi alat yang bermanfaat jika digunakan dengan bijak dan batasan yang jelas. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan dan tidak membiarkannya lebih dalam menguasai hidup kita. Sampai-sampai melemahkan kesadaran kita akan dunia nyata. Dengan tegas mereka memanipulasi sosial media, dengan cara:
1. Memainkan Peranan Intermittent Reinforcement
Prinsip ini mirip dengan mesin slot. Kita tidak pernah tahu kapan hadiah (like, komentar, dll.) itu akan datang, sehingga kita terus mengecek notifikasi dengan harapan mendapatkan “hadiah” tersebut. “Pemberi Harapan Palsu” Menunggu tanpa kepastian jelas. Ketidakpastian ini membuat kita terus terhubung dengan platform. Dan merasa percaya bahwa akan ada hari esok yang ceria. Tapi ternyata? Zonk!!
2. Mencolek Social Proof.
Ketika kita melihat banyak orang menyukai atau mengomentari suatu postingan, kita merasa terdorong untuk melakukan hal yang sama. “Lagi dan lagi” Ini menciptakan semacam tekanan sosial yang tidak bisa di tolak. Pasti “Ketagihan”. Bagai sambal dengan ikan goreng berikut pete dan lalapannya. Semakin banyak respon, semakin bersemangat untuk melakukannya kembali.
3. Fear of Missing Out (FOMO) dan Personalisasi
Media sosial terus menyajikan informasi terbaru dan menarik. Takut ketinggalan tren atau momen penting membuat kita merasa harus terus di bawah naungan online. “Internet mati, gelap neeh dunia”. Algoritma media sosial mereka design untuk menampilkan konten yang paling relevan, sesuai minat kita. Ini membuat kita semakin terjebak dalam informasi yang sesuai dengan preferensi kita, sehingga kita semakin sulit untuk keluar dari lingkaran tersebut.
Dan ini menjadi senjata di abad 21.
Fake Dopamin. Narkoba Abad 21
Istilah “fake dopamin” memang sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana media sosial telah menjadi ancaman bagai “Narkoba abad 21”. Meskipun tidak mengandung zat kimia seperti narkoba tradisional, mekanisme kerjanya sangat mirip. Media sosial merangsang otak kita untuk melepaskan dopamin secara instan, menciptakan lingkaran setan yang sulit untuk dihentikan.
Sungguh ini Berbahaya!!
Mengapa Game dan Media Sosial Begitu Adiktif?
Platform media sosial dan game, di rancang dengan sangat cermat untuk memaksimalkan waktu kita habiskan di sana. Notifikasi, like, komentar, dan fitur-fitur lain semuanya di rancang untuk memberikan kepuasan instan dan mendorong kita untuk terus kembali. Para pengembang media sosial sangat memahami psikologi manusia, terutama bagaimana kita merespons penghargaan dan pengakuan.
Mereka memanfaatkan pengetahuan ini untuk menciptakan pengalaman. Algoritma media sosial terus belajar tentang preferensi kita dan menyajikan konten yang paling mungkin membuat kita terlibat. Ini semakin memperdalam ketergantungan kita.
Game bagaimana?
Game di rancang untuk memberikan hadiah kepada pemain ketika mereka mencapai satu kemenangan. Hadiah bisa berupa poin, level baru, atau item virtual. Sistem penghargaan ini “membuat kita senang” memicu pelepasan dopamin, neurotransmitter yang terkait dengan perasaan senang dan kepuasan. Di rancang dengan sistem level atau progres agar lebih menarik.
Rasa pencapaian saat naik level atau membuka fitur baru sangatlah memuaskan dan mendorong pemain untuk terus bermain. Banyak game memiliki elemen kompetitif, baik melawan pemain lain atau melawan diri sendiri. Dorongan untuk menjadi yang terbaik atau mengalahkan rekor pribadi dapat sangat memotivasi.
Fake Dopamin: Belanja dan Makanan Olahan Tidak Terpisahkan?
Sangat menarik bahwa kita mengaitkan makanan olahan dan belanja dengan konsep “dopamin palsu”. Kedua aktivitas ini memang memiliki kesamaan dengan kecanduan media sosial, yaitu: kemampuan untuk memicu pelepasan dopamin dan memberikan sensasi senang yang instan.
Bagi sebagian orang, belanja adalah bentuk terapi.
Ketika kita membeli sesuatu, otak melepaskan dopamin yang memberikan perasaan senang dan puas. Ini bisa menjadi cara untuk mengatasi stres atau kebosanan. Iklan dan tren fashion terus mendorong kita untuk memiliki barang-barang baru.
Keinginan untuk memiliki sesuatu yang baru dan menarik, dapat memicu perilaku belanja yang kompulsif “terlalu memaksakan diri”. Menemukan barang yang kita cari, atau diskon besar dapat memberikan rasa “menang”, memicu pelepasan dopamin, “Yee gue dapet. Padahal *olol”.
Selesai berbelanja perut lapar, dan tiba saatnya makan. Makanan cepat saji menjadi pilihan.
“Makanan olahan itu enak banget” Benar, mengandung kombinasi gula, garam, dan lemak yang sempurna untuk mengaktifkan pusat penghargaan kesenangan. Campur aduk ini sangat manjuur memicu pelepasan dopamin, membuat kita ingin terus dan terus mengonsumsinya.
Makanan olahan mudah di temukan dan cepat di sajikan. Ini membuatnya menjadi pilihan yang sangat menarik, terutama bagi mereka yang memiliki gaya hidup yang sibuk. Industri makanan olahan sangat pandai dalam memasarkan produk mereka, dan kita lah korbannya.
Real vs Fake Dopamin. Mana Yang Lebih Berharga?
Mana yang lebih berharga, Real atau Fake?
Dopamin ibarat bensin untuk mobil. Kita membutuhkannya agar otak kita bisa berfungsi dengan baik. Namun, jika kita terlalu sering mengisi tangki dengan bensin berkualitas rendah, mesin mobil kita akan rusak. Begitu pula dengan otak kita. Mengejar dopamin instan yang ternyata palsu secara terus-menerus, menyebabkan masalah terutama di otak kita sebagai pusat kesadaran.
Satu kesadaran bahwa semua kita akhiri dengan,
Salam Dyarinotescom.