Life’s Little Moments: Capturing thoughts, Healthy habits, and Connections. Embrace the moment, Join me on this journey.

Batikku Bukan Batikmu: Budaya Tidak Bisa Diperjualbelikan

Share:

Batik, lebih dari sekadar kain. Ia adalah sebuah karya seni yang lahir dari sentuhan tangan-tangan terampil, sebuah cerita yang terukir dalam benang-benang halus. Pernah membayangkan batik sebagai sidik jari? Unik, khas, dan tak ada yang serupa. Batikku Bukan Batikmu!

“Batikku Bukan Batikmu” 😌

Ini bukan sekadar slogan, melainkan sebuah kenyataan yang menegaskan kekayaan budaya Indonesia yang begitu beragam. Apa yang membuat sehelai kain bisa menjadi sebuah karya seni yang bernilai tinggi? Apa yang membedakan batik Jogja dengan batik Pekalongan?

Jawabannya sederhana namun mendalam. Yaitu: cerita.

Setiap motif, setiap warna, adalah sebuah bab dalam sejarah panjang bangsa ini, sebuah ensiklopedia visual yang mengisahkan perjuangan, kebijaksanaan, dan keindahan masa lalu. Batik bukanlah kain yang dicoret-coret, melainkan sebuah dokumen hidup yang menyimpan filosofi dan nilai-nilai luhur.

 

Batik, Kekayaan Budaya Yang Tidak Bisa Diperjualbelikan

Batikku Bukan Batikmu!

Memang benar, batik adalah kekayaan budaya yang tidak bisa diperjualbelikan apalagi di ‘klaim’ kepemilikannya oleh bangsa lain. Seperti Negara tetangga kita, misalnya. Setiap motif batik adalah cerminan sejarah. Ini adalah warisan tak ternilai yang menjadi identitas bangsa.

UNESCO, badan PBB untuk kebudayaan, telah mengakui batik, keris, dan wayang sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi. Proses pengakuan terhadap batik dimulai pada tahun 2008 ketika pemerintah Indonesia mengajukan permohonan secara resmi. Setelah melalui evaluasi yang panjang, UNESCO akhirnya memberikan pengakuan atas nilai budaya dan sejarah yang terkandung dalam batik.

Apa yang terjadi setelahnya?

 

Godaan Keuntungan

Pengakuan Dunia atas batik sebagai warisan budaya merupakan tonggak sejarah yang membanggakan. Namun, di balik euforia tersebut, muncul ketamakan yang mengancam kelestarian batik. Seiring dengan meningkatnya popularitas, banyak pihak mulai mengeksploitasi batik untuk kepentingan komersial semata.

Fenomena ini memunculkan kekhawatiran akan terkikisnya nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal yang selama ini melekat pada batik. Ironisnya, di tengah upaya untuk mengangkat martabat batik di mata dunia, masyarakat Indonesia sendiri justru terjebak dalam paradoks.

“Batik adalah milikku, dunia mengakuinya, harusnya untung banyak hari ini”.

Industrialisasi batik yang masif tanpa di imbangi dengan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya dapat berdampak buruk bagi kelestarian batik.

Proses produksi massal yang mengedepankan efisiensi dan keuntungan seringkali mengorbankan kualitas dan keunikan batik. Selain itu, munculnya tren “fast fashion” yang mengadopsi motif batik secara sembarangan dan ugal-ugalan, juga dapat mendegradasi nilai estetika dan filosofis dari batik itu sendiri.

 

Minat Anak Muda Hilang

Batik, warisan leluhur yang dulu membanggakan, kini kian redup di mata generasi muda. “Kehilangan cahayanya” Generasi muda yang masih begitu polos, di biarkan terpengaruh oleh budaya luar. Padahal, batik pernah begitu bersinar di kancah internasional.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, pesona batik justru memudar.

Motif-motif klasik yang sarat makna seolah kehilangan relevansinya di tengah gemerlap tren fashion global. Batik di anggap kuno, terlalu formal, dan kurang kekinian. Padahal, di balik setiap coretan dan warna, tersimpan cerita panjang tentang bangsa ini.

Generasi muda lebih bangga, lebih tertarik dengan mode-mode instan yang mengikuti tren global. Batik yang identik dengan kesan tradisional dianggap tidak sesuai dengan gaya hidup mereka yang dinamis. Padahal, dengan sedikit kreativitas, batik bisa disulap menjadi busana yang modern dan stylish.

Sayang sekali, banyak anak muda yang belum menyadari potensi luar biasa dari batik. Mereka lebih memilih mengenakan pakaian bermerek daripada melestarikan warisan budaya bangsa sendiri. Di ikuti juga oleh para istri-istri pejabat yang tak tahu diri.

 

Kompetitor dan Pencemaran

Ancaman terhadap batik tulis semakin nyata seiring dengan maraknya batik printing. Layaknya kembang api “Boom!” begitu menyilaukan, batik printing hadir dengan harga yang lebih terjangkau dan proses produksi yang jauh lebih cepat. Kemudahan akses serta beragamnya pilihan motif instan membuat batik printing semakin di minati, khususnya oleh generasi muda yang menginginkan fashion yang cepat dan praktis.

Kehadiran batik printing ini bagaikan teman bermuka dua, di satu sisi mempopulerkan batik, namun di sisi lain mengancam eksistensi batik tulis yang memiliki nilai seni dan budaya yang jauh lebih tinggi.

Masalah semakin kompleks dengan masuknya produk tekstil impor bermotif batik tiruan.

Produk-produk ini membanjiri pasar dengan harga yang sangat-sangat murah. “Jadinya batik terkesan murahan”. Motif-motif batik asli yang telah menjadi ciri khas Indonesia dengan mudahnya di tiru dan di produksi secara massal di negara lain.

Dengan minim ilmu, konsumen terutama anak muda, semakin sulit membedakan antara batik asli dan tiruan. Kondisi yang tidak hanya merugikan para perajin batik, tetapi juga merusak reputasi batik Indonesia di mata dunia.

 

Belum lagi masalah pencemaran yang diakibatkan

Di balik keindahan motif dan warna-warni batik, tersimpan ancaman bagi lingkungan. Penggunaan bahan kimia sintetis dalam proses pewarnaan batik telah menjadi praktik umum di industri tekstil. Zat-zat kimia berbahaya ini, jika tidak di kelola dengan baik, dapat mencemari tanah, air, bahkan udara.

Limbah produksi batik yang mengandung bahan kimia beracun dapat meresap ke dalam tanah, mencemari sumber air, dan mengancam ekosistem.

Bayangkan, setiap kali kita mengenakan batik yang di produksi secara “sebarangan” tidak ramah lingkungan, berkontribusi pada kerusakan lingkungan. Warna-warni cerah yang menghiasi kain batik mungkin tampak memukau, namun di baliknya terdapat proses produksi yang menghasilkan limbah berbahaya. Bagai racun kimia ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berpotensi membahayakan kesehatan para pengrajin batik dan masyarakat sekitar.

 

Batikku Bukan Batikmu

Di tengah derasnya arus global yang membawa pada tren mode yang silih berganti, nasib batik seakan terombang-ambing. Sebagai warisan leluhur yang begitu kaya, apakah kita cukup sadar membiarkan batik tenggelam begitu saja?

Hari Batik Nasional ini menjadi momentum penting.

Jadi, mainkan peran dengan benar sebagai pemiliknya. Bagaimana mungkin bangsa yang begitu kaya akan budaya justru terlena dan membiarkan warisan leluhurnya terlupakan? Apakah kita layak menyandang predikat sebagai bangsa yang besar?

Dengan mengenakan batik, mempromosikan batik, dan mendukung para perajin batik, kita telah ikut serta dalam menjaga kelestarian batik. Ingatlah, batik bukan sekadar pakaian, melainkan identitas bangsa yang harus kita jaga dan lestarikan.

 

Salam Dyarinotescom.

Related Posts:

Jangan Lewatkan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Life’s Little Moments: Capturing Thoughts, Healthy Habits, and Connections. Embrace the Moment.

Join Me On This Journey.