Mengapa manusia sering kali merasa ‘ada yang tidak beres dengan hidup ini’, padahal secara materi berkecukupan? “Uang ada, istri dan anak lengkap, pekerjaan makin mentereng, dsb”. Mungkin jawabannya terletak pada sejauh mana kita telah melenceng dari fitrah yang Allah SWT anugerahkan.
Ya, fitrah, sebuah kata yang sering kita dengar, namun sering pula kita masukkan ke saku celana. Dan, banyak dari kita yang tanpa sadar telah mematikan fitrahnya sendiri, terjebak dalam rutinitas dan ambisi hidup yang boleh jadi menyesatkan.
Dalam putaran waktu yang semakin cepat, kita seringkali terlena dengan kelap kelip dunia, mengejar materi dan status sosial tanpa menghiraukan suara hati yang paling dalam. Kita lupa bahwa setiap manusia di lahirkan dengan potensi dan tujuan yang berbeda, yang jika diabaikan, akan membawa pada kesalahan dan ketidakbenaran.
Fitrahku dan Fitrahmu
Fitrah, dalam terminologi Islam, bukan sekadar potensi bawaan, melainkan sebuah “shibghah Allah” (celupan Allah), sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an:
Ψ΅ΩΨ¨ΩΨΊΩΨ©Ω Ψ§ΩΩΩΩ°ΩΩΫ ΩΩΩ ΩΩΩ Ψ§ΩΨΩΨ³ΩΩΩ Ω ΩΩΩ Ψ§ΩΩΩΩ°ΩΩ Ψ΅ΩΨ¨ΩΨΊΩΨ©ΩΫ ΩΩΩΩΩΨΩΩΩ ΩΩΩΩ ΨΉΩ°Ψ¨ΩΨ―ΩΩΩΩΩ ΫΩ‘Ω£Ω¨
ShibghatallΓ’h, wa man aαΈ«sanu minallΓ’hi shibghatan wa naαΈ«nu lahΓ» βΓ’bidΓ»n
(QS. Al-Baqarah: 138).
“Shibghah Allah” ini mengisyaratkan bahwa fitrah adalah cetakan ilahi yang melekat pada setiap jiwa, sebuah kecenderungan inheren untuk bertauhid dan tunduk kepada Sang Pencipta.
Fitrah juga mencakup hanifiyah, yaitu kecenderungan untuk condong kepada kebenaran dan menjauhi penyimpangan. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa fitrah adalah kondisi awal yang suci, sebelum kemudian dipengaruhi oleh pihak luar.
Namun, fitrah yang suci ini dapat mengalami distorsi atau bahkan “maskh” (perubahan bentuk) akibat berbagai faktor, seperti hawa nafsu amarah yang tidak terkendali, waswas syaitan yang terus-menerus, atau taqlid buta terhadap lingkungan yang menyimpang.
Dalam kondisi ini, manusia dapat mengalami qaswatul qalb (kekerasan hati) yang membuatnya sulit menerima kebenaran, atau bahkan istidraj, yaitu kenikmatan duniawi yang sebenarnya merupakan azab yang disamarkan.
Nah, ini penting bagi kita umat muslim untuk senantiasa menjaga dan memelihara fitrahnya dengan cara mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu), tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), dan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin.
Mematikan Fitrahnya Sendiri
Tahukah kamu, ada banyak profesi dan perilaku yang melenceng dari fitrah, seperti benang kusut yang menjerat langkah kita? Kita seringkali terjebak dalam labirin ambisi, mengejar fatamorgana kesuksesan yang tak ada patokannya. Tanpa tersadar, telah mematikan fitrah kita sendiri, menggantinya dengan topeng-topeng palsu yang menyembunyikan jati diri sejati kita.
Mungkin terlihat sukses di mata dunia, dengan harta dan jabatan yang tinggi, misalnya. Namun, di balik itu semua, ada kekosongan yang menganga, sebuah raung hampa yang tak bisa di isi oleh apapun, selain kembali kepada fitrah. Kita telah kehilangan sesuatu yang seharusnya membimbing kita menuju “yang semestinya”.
Ketika “Cuan” Mengalahkan Fitrah: Ironi Profesi Masa Kini
Di era yang serba kompetitif ini, kita seringkali di hadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Antara mengejar “cuan” (keuntungan materi) atau mempertahankan fitrah yang telah Allah SWT. anugerahkan. Sayangnya, tak jarang kita βnakalβ tergoda untuk melenceng dari jalan yang seharusnya, mengorbankan nilai-nilai kepatutan demi kesenangan duniawi yang semu.
Sebut saja:
1. Guru Berbisnis LKS. “Profit Menggoda, Amanah Terlupaβ
Seorang guru, misalnya, yang fitrahnya adalah ta’lim wa tarbiyah (mengajar dan mendidik) anak-anak, justru lebih fokus pada bisnis LKS Β atau Lembar Kerja Siswa, demi keuntungan pribadi. Mereka terjebak dalam hubbud dunya βcubit sana cubit siniβ yang kadang kala berlebihan dan memberatkan, sehingga mengabaikan tanggung jawab utama mereka sebagai mu’allim (pendidik).
2. Pejabat Korup βKekuasaan di Tangan, Amanah Tergadaikanβ
Ini yang paling banyak kita temui, seorang pejabat, misal, yang seharusnya mengemban amanah untuk khidmah lil ummah (melayani umat), malah menyalahgunakan kekuasaannya untuk korupsi dan memperkaya diri sendiri. Mereka lupa bahwa jabatan adalah amanah yang harus di pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, sebuah mas’uliyah (tanggung jawab) yang kelak dan sangat pasti akan di mintai pertanggungjawabannya.
3. Bocah Banget βMasa Kecil Terenggut, Potensi Terhambatβ
Anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecil dengan bermain dan belajar, dipaksa untuk bekerja βbanting tulangβ atau mengikuti kegiatan yang tidak sesuai dengan kemampuan usia mereka. Tentu saja merampas hak mereka untuk tumbuh dan berkembang secara alami, menghambat tathawwur (perkembangan) potensi mereka.
4. Wanita Karir: Ego Menguasai, Harmoni Terganggu
Seorang ibu yang berkarir, yang merasa memiliki penghasilan lebih besar dari suami, memaksakan kehendak untuk memimpin keluarga. βGue leadernya di sini!β Hal ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam rumah tangga dan mengabaikan peran suami sebagai kepala keluarga, merusak mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) dalam keluarga.
5. Influencer βPopularitas Vs Nilai β
Seorang influencer, yang memiliki pengaruh besar di media sosial, justru menggunakan popularitasnya untuk mengumbar aurat, menyebarkan konten yang tidak senonoh, provokasi, gibah serta fitnah, dan mengajak orang lain kepada keburukan. Mereka terjebak dalam riya’ (pamer) dan sum’ah (mencari popularitas), mengabaikan nilai-nilai kesopanan, etika, dan kesusilaan yang seharusnya di junjung tinggi.
Menjual Fitrah Demi Dunia? Taghayyur Kehidupan Modern
Dalam gemerlap kehidupan modern yang penuh dengan taghayyur (perubahan) yang begitu cepat, kita seringkali tergoda untuk menukar fitrah suci dengan kenikmatan duniawi yang fana. Kita terjebak dalam pusaran tanafsul hayah (kompetisi kehidupan), saling berlomba mengejar materi dan popularitas, hingga lupa akan hakikat diri yang sejati.
Padahal,
Setiap jiwa telah di anugerahi potensi isti’dad liddin (kesiapan beragama), yang artinya kecenderungan untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Namun,
Godaan dunia seringkali membutakan mata hati kita, membuat kita terjerumus dalam madharatul ‘aqli (kehancuran akal) dan fasadul qalbi (kerusakan hati). Kita lupa bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta benda atau jabatan yang tinggi, melainkan pada ketenangan jiwa yang di peroleh dari ketaatan kepada Allah SWT.
Ingat-nya: “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita solehah.” (HR. Muslim).
Nah, mumpung Allah SWT telah memberikan kita kesempatan untuk bertemu dengan bulan Ramadan, mari kita gunakan waktu yang berharga ini untuk kembali kepada fitrah, memperbaiki kesalahan-kesalahan kita, serta meningkatkan kualitas ibadah.
Salam Dyarinotescom.