“Katanya…”: Ketika ‘Nasihat Warisan’ Bikin Kita Lost in Translation

  • Post author:
  • Post category:Lifestyle
  • Post last modified:April 15, 2025
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing “Katanya…”: Ketika ‘Nasihat Warisan’ Bikin Kita Lost in Translation

Pernah dengar ungkapan bijak dari orang tua atau kakek-nenek kita? “Hemat pangkal kaya,” “Rajin pangkal pandai,” atau mungkin “Jangan keluar malam, pamali!” Dulu, “nasihat warisan’ ini mungkin relevan dan menjadi pegangan hidup yang teruji waktu. Namun, di era yang kita mau dan penuh disrupsi ini, tidak semua “wejangan” lawas masih relate dengan realita kekinian. Bahkan, beberapa di antaranya jika kita telan mentah-mentah, justru bisa membuat kita miskomunikasi dengan zaman, bahkan terperosok dalam keputusan yang kurang tepat.

SadFact-nya: Fenomena inilah yang sering kita alami.

Kita tumbuh dengan berbagai “kebenaran” yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tanpa kita sadari, “katanya sih gini…” ini menjadi mindset yang mengakar kuat, mempengaruhi cara kita berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan. Padahal, konteks zaman sudah jauh berubah.

Apa yang dulu dianggap bijak dan membawa keberuntungan, kini beberapa diantaranya “bisa jadi” justru menghambat perkembangan diri, bahkan menjauhkan kita dari tujuan yang sebenarnya. Mari kita bedah beberapa “nasihat warisan” yang mungkin sudah saatnya kita re-evaluate.

Sindir-nya: Generasi awal banyak yang memiliki kemampuan untuk menafsirkan sesuatu melalui penalaran. Namun, dalam proses nya ada juga yang menyimpang.

 

Lost in Translation

Sebelum panjang kemana-mana, taukah kamu: apa maksud dari Lost in Translation?

Lebih dalam, lost in translation di sini menggambarkan adanya gap pemahaman yang signifikan antara generasi dulu dengan generasi sekarang akibat perbedaan zaman, konteks sosial, teknologi, dan nilai-nilai yang dianut. Ibaratnya, “bahasa” kehidupan sudah jauh berubah, sehingga “terjemahan” atau penerapan langsung dari “nasihat warisan” seringkali jadi nggak nyambung alias out of touch.

Apa yang dulu relevan dan wise, kini bisa jadi misleading, bahkan bikin kita awkward atau salah langkah di era serba digital dan dinamis ini. Jadi, lost in translation dalam hal ini adalah hilangnya esensi atau relevansi dari sebuah pesan bijak ketika diterapkan di lingkungan yang benar-benar berbeda. Kita jadi kayak mencoba menjalankan software jadul di gadget keluaran terbaru, jelas banyak error dan nggak compatible.

Yaa kan?

 

Misalnya Begini

Hidup di era modern menuntut kita untuk memiliki growth mindset dan kemampuan beradaptasi yang tinggi. Kita perlu menghargai kearifan lokal dan nasihat dari generasi sebelumnya, namun juga berani untuk mempertanyakannya dan menyesuaikannya dengan realita zaman now. Jangan biarkan “katanya sih gini…” menjadi belenggu yang menghambat potensi diri.

Misal:

1. “Yang Penting Kerja Kantoran, Gajinya Pasti Stabil”

Dulu, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau bekerja di perusahaan besar dengan status karyawan tetap dianggap sebagai puncak karir dan jaminan masa depan yang mapan. “Seseran banyak, kerja nyantai, gaji tetap, tanpa ingat itu uang rakyat”.

Namun, di era gig economy dan perkembangan startup yang pesat, pandangan ini mulai bergeser. Banyak anak muda kini lebih tertarik dengan fleksibilitas, tantangan, dan potensi penghasilan yang lebih besar di luar zona nyaman kantor tradisional.

Terlalu terpaku pada “stabil itu pasti bagus” bisa membuat kita melewatkan peluang emas untuk mengembangkan diri dan meraih potensi hidup maksimal. Kita jadi stuck di zona nyaman padahal dunia terus bergerak.

 

2. “Jangan Terlalu Banyak Mikir, Nanti Stres Sendiri”

Nasihat ini seringkali di ucapkan untuk menenangkan seseorang yang sedang overthinking. Namun, menghindari pemikiran yang mendalam tentang suatu masalah justru bisa kontraproduktif.

Berpikir kritis dan analitis adalah skill penting di era informasi ini. “Biar tidak di bodoh-bodohi orang.”

Alih-alih menghindarinya, kita perlu belajar mengelola pikiran dan emosi agar overthinking tidak menjadi beban, namun tetap mampu mengambil keputusan yang rasional. Terlalu sering menuruti “jangan banyak mikir” bisa membuat kita jadi kurang reflektif dan mudah di pengaruhi.

 

3. “Harus Nurut Sama Orang Tua, Mereka Lebih Pengalaman”

“Kami lebih banyak makan asam garam nya dunia” kata mereka. Meskipun tidak menurunkan rasa hormat orang tua sebagai sesuatu yang bersifat nilai luhur, menerapkan semua nasihat mereka tanpa mempertimbangkan konteks zaman dan aspirasi pribadi bisa menjadi boomerang.

Celana ‘Cutbray’ begitu loh.

Generasi yang berbeda tumbuh dengan tantangan dan peluang yang berbeda pula. Memaksakan kehendak orang tua dalam hal karir, pendidikan, atau bahkan pilihan hidup bisa membuat kita merasa terkekang bagai robot berdaging.

Istilah helicopter parent mungkin relevan di sini, di mana orang tua terlalu mendikte kehidupan anak hingga menghambat kemandirian.

 

4. “Investasi Itu Ribet, Mending Nabung di Bank Saja”

Dulu, “Duuulllluuu🎤” menabung di bank di anggap cara paling aman untuk menyimpan uang. Namun, dengan inflasi yang terus bergerak, nilai uang kita bisa tergerus jika hanya di simpan tanpa di investasikan.

Di era fintech yang semakin canggih, berbagai instrumen investasi kini lebih mudah di akses oleh berbagai kalangan. Sikap “investasi itu menakutkan” tanpa mau belajar bisa membuat kita kehilangan potensi untuk mengembangkan aset di masa depan.

Kita jadi miss opportunity untuk mencapai financial freedom.

 

5. “Perempuan Itu Kodratnya di Rumah, Ngangkang, dan Hanya Mengurus Anak”

Pandangan ini jelas sudah sangat sangat ketinggalan zaman sekali. Emansipasi “ceritanya” wanita telah membawa perubahan besar dalam peran gender. Perempuan kini memiliki kesempatan yang sama untuk berkarir, berprestasi, dan berkontribusi di berbagai bidang.

Membatasi potensi perempuan hanya pada urusan domestik adalah bentuk ketidakadilan dan menyia-nyiakan waktu hidup manusia yang berharga. Istilah gender equality bukan lagi sekadar wacana, tapi sebuah keniscayaan.

 

Ketika ‘Nasihat Warisan’ Bikin Kita Lost in Translation, Tapi Malah Di bilang “Kurang Ajar!”

Menyikapi fenomena “nasihat warisan” yang terasa lost in translation di era modern memang dilematis. Di satu sisi, kita diajarkan untuk menghormati sesepuh dan menghargai nilai-nilai yang mereka pegang teguh. Namun, di sisi lain, memaksakan relevansi mutlak pada setiap petuah tanpa mempertimbangkan perubahan zaman bisa berujung pada miskomunikasi dan bahkan menghambat kemajuan diri.

Ironisnya:

Ketika kita mencoba mengkritisi atau menyesuaikan “wejangan” lawas dengan konteks kekinian, tak jarang kita justru di cap sebagai generasi yang “kurang ajar” atau tidak menghargai tradisi. Inilah the real struggle: bagaimana menavigasi antara menghormati akar budaya dan beradaptasi dengan realitas yang terus bergerak maju tanpa di anggap durhaka.

Faktor Kunci-nya Di sini:

Terletak pada dialog yang konstruktif dan pemahaman yang kontekstual. Alih-alih menolak mentah-mentah, kita perlu mencoba memahami core values atau esensi dari nasihat tersebut. Mungkin bentuk implementasinya yang perlu disesuaikan dengan zaman now.

Misalnya:

Nasihat “hemat pangkal kaya” tetap relevan, namun cara berhematnya bisa berbeda di era digital dengan memanfaatkan promo cashback atau membandingkan harga online. Begitu pula dengan menghormati orang tua, esensinya adalah kasih sayang dan perhatian, namun cara mengungkapkannya bisa berbeda antara generasi yang terbiasa dengan komunikasi tatap muka dan generasi yang lebih nyaman dengan interaksi digital.

Pada akhir-nya:

Menjadi generasi yang bijak bukanlah berarti menelan bulat-bulat semua “nasihat warisan” tanpa berpikir kritis. Justru, kebijaksanaan terletak pada kemampuan kita untuk memilah dan memilih, mengambil nilai-nilai luhur yang masih relevan, dan mengadaptasi penerapannya agar sesuai dengan tantangan dan peluang zaman kita.

Menghargai masa lalu bukan berarti terperangkap di dalamnya. Justru, dengan memahami konteks dan berani berdiskusi, kita bisa menjembatani jurang generasi dan menciptakan harmoni antara tradisi dan modernisasi, tanpa harus di beri label: “kurang ajar” hanya karena kita berpikir lebih terbuka.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan