Dunia maya kembali dihebohkan dengan kontroversi yang melibatkan seorang konten kreator ternama, Willi Salim, misalnya. Kali ini, aksi satu konten “makan besar” yang dilakukannya di Palembang, Sumatera Selatan, berujung pada tuduhan miring terhadap masyarakat setempat. Alih-alih menampilkan kekayaan kuliner dan keramahan warga, konten tersebut justru memicu perpecahan dan merusak citra budaya Palembang.
Jebakan kah?
“Ceritanya…” Dalam konten yang viral tersebut, Willi Salim memasak rendang dalam jumlah besar. “200 kg!” Namun, ketika proses ia “beralasan” pergi ke toilet, lantas tetiba “dalam cerita di berbagai kanal” hidangan tersebut ludes diambil oleh masyarakat sekitar yang menonton acara tersebut. Alih-alih menunjukkan apresiasi, “Enak ini rendang” Willi Salim justru terkesan nyeleneh.
Banyak warganet yang menanggapi negatif hal tersebut.
Poin yang kami tangkap adalah Kota Palembang sangat tidak tidak baik. “Terlalu malu untuk kami tulis disini”. Satu frame settingan yang menyakitkan. Sontak, video tersebut memicu pendapat dan amarah netizen. Banyak yang menilai bahwa aksi tersebut adalah sebuah jebakan yang disengaja, sebuah “prank” yang mengorbankan budaya dan masyarakat Pelambang.
Settingan yang kelewat batas tolol-nya!
Dia yang berbuat, orang lain yang harus sapu bersih. Dasar Tolol!
Ketika Budaya Jadi Bahan Eksploitasi. Bukan Diperbaiki Malah Dirusak!
Kontroversi ini memicu perdebatan sengit di media sosial. Banyak netizen yang menyayangkan tindakan Willi Salim, menilai bahwa ia telah mengeksploitasi budaya lokal demi konten sensasional. Tuduhan yang berbau ‘rasis dan pencuri’ yang dilontarkan dari berbagai penjuru daerah, dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap masyarakat Palembang yang di kenal ramah dan menjunjung tinggi nilai-nilai daerah.
Tancap warga: “Ini bukan lagi soal konten, tapi soal menghargai citra daerah orang lain. Jangan jadikan ‘settingan kau sebagai bahan fyp’, apalagi sampai menuduh buruk terhadap masyarakat seenaknya.
“Settingan” yang Berujung Petaka: Hilangnya Batas Antara Hiburan dan Pelecehan
Kasus ini menjadi pengingat bahwa konten kreator memiliki tanggung jawab besar terhadap dampak yang di timbulkan dari karya mereka. Batas antara hiburan dan pelecehan semakin tipis, dan konten yang tidak sensitif dapat memicu konflik dan merusak citra suatu budaya.
Banyak saksi mata “salah satunya beberapa kesaksian dari video yang beredar” yang mengungkapkan bahwa hidangan rendang tersebut memang sengaja di biarkan begitu saja, seolah-olah mengundang masyarakat untuk mengambilnya.
Hal ini menimbulkan ‘kecurigaan’ bahwa Willi Salim sengaja membuat jebakan untuk menciptakan konten kontroversial, misalnya.
Nah,
Belajar dari Kontroversi Willi Salim: Bagaimana Menciptakan Konten yang Positif?
Kasus “makan besar” Willi Salim di Palembang itu menurut penulis sangat menjijikkan, dan harus menjadi pelajaran berharga bagi para konten kreator. Alih-alih menghibur, konten tersebut justru memicu kontroversi dan merusak citra budaya lokal. Kejadian ini membuka mata kita tentang pentingnya menciptakan konten yang positif, bertanggung jawab, dan menghargai nilai-nilai budaya.
Pintar menyusun poin penting dalam menciptakan konten yang positif, sebut saja:
1. Riset Mendalam dan Pemahaman Konteks
Sebelum membuat konten yang melibatkan budaya atau masyarakat tertentu, lakukan riset mendalam. Pahami konteks budaya, nilai-nilai, dan sensitivitas masyarakat setempat. Jangan hanya mengejar sensasi, tetapi juga pertimbangkan dampak jangka panjang dari konten yang di buat.
“Do your homework!”
2. Etika dan Tanggung Jawab Konten Kreator
Konten kreator memiliki tanggung jawab besar terhadap dampak yang di timbulkan dari karya mereka. Hindari membuat konten yang merendahkan, menghina, atau mengeksploitasi budaya lain. Ingatlah bahwa setiap konten yang di unggah dapat memengaruhi persepsi dan opini publik.
“Think before you post!” Pakai otak bukan pakai dengkul!
3. Menghargai Perbedaan dan Mempromosikan Toleransi
Konten yang positif adalah konten yang menghargai perbedaan dan mempromosikan toleransi. Hindari membuat konten yang diskriminatif, rasis, atau menyebarkan kebencian. Jadikan platform media sosial sebagai sarana untuk mempererat persatuan dan mempromosikan budaya positif.
“Spread love, not hate!”
4. Konten Edukatif dan Inspiratif
Selain menghibur, konten juga dapat menjadi sarana untuk mengedukasi dan menginspirasi. Buatlah konten yang memberikan informasi bermanfaat, memotivasi, atau menginspirasi orang lain untuk berbuat baik.
“Content is king!” dan kami tahu konten yang kalian buat kebanyakan sampah!
5. Interaksi Positif dengan Audiens
Jalin interaksi positif dengan audiens. Dengarkan masukan dan kritik dari mereka, dan jadikan itu sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kualitas konten. Hindari memicu kontroversi atau konflik yang tidak perlu.
“Engage your audience!”
Pentingnya Konten yang Bertanggung Jawab
Kontroversi “makan besar” ini di harapkan menjadi pelajaran bagi para konten kreator untuk lebih bijak, lebih pintar dalam berkarya. Konten yang menghibur tidak harus mengorbankan nilai-nilai budaya dan merendahkan martabat orang lain apalagi itu satu daerah.
Bagaimana sektor-sektor seperti pariwisata, perhotelan, dan bisa juga investasi, atas akibat dari hal semacam ini?
Orang takutkah untuk datang ke Palembang?
Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua “jangan mau di jadikan korban dari bocah tengil” dan jadikan media sosial sebagai sarana untuk mempererat persatuan dan mempromosikan budaya positif. Kasus ini wajib menjadi sorotan bagi para penonton untuk lebih cerdas dalam menyaring konten yang mereka konsumsi.
Jangan mudah terprovokasi oleh konten sensasional yang murahan yang berpotensi merusak citra perseorangan, apalagi masyarakat di suatu daerah. Pintarlah sedikit. Ini bukan soal daging atau uang, ini soal harga diri.
Salam Dyarinotescom.