Mengontrol Perilaku Netizen Sebagai Bagian Dari Ekosistem Digital

  • Post author:
  • Post category:Technology
  • Post last modified:April 17, 2025
  • Reading time:12 mins read
You are currently viewing Mengontrol Perilaku Netizen Sebagai Bagian Dari Ekosistem Digital

Kita berada di sebuah hutan algoritma digital yang luasnya bisa sangat besar banget. Di dalamnya, miliaran makhluk virtual bernama: Netizen berinteraksi. Memiliki berbagai bentuk, berbagi ide, bertukar informasi, bahkan sesekali terlibat drama panas yang lebih seru dari sinetron stripping.

Nah, dalam rimba maya yang penuh “randomness” ini, muncul sebuah pertanyaan mahal sekaligus sedikit “creepy”: “Bisakah kita mengendalikan perilaku para penghuninya sebagai bagian tak terpisahkan dari ekosistem digital itu sendiri?”

Jangan langsung berpikir konspirasi tingkat tinggi ala “The Matrix”. Kejauhan itu mah. Kontrol di sini lebih mengarah pada upaya terstruktur untuk membentuk, mengarahkan, atau memoderasi interaksi dan tindakan netizen dalam platform digital.

Hehe, ini juga bukan lagi sekadar urusan admin grup Facebook yang menghapus komentar “julid”. Lebih dalam dari itu, fenomena ini melibatkan algoritma canggih, desain platform yang “mind-blowing”, hingga strategi komunikasi yang dirancang untuk memengaruhi opini dan tindakan para “digital native” ini.

 

Dari Moderasi Biasa Hingga “Social Engineering” Naik Level

Dulu, mengontrol perilaku netizen mungkin sebatas menghapus postingan yang melanggar norma atau memblokir akun “haters”. Namun, seiring perkembangan teknologi, metodenya pun ikut naik level. Sekarang, kita bicara tentang algoritma personalisasi yang menyajikan konten sesuai preferensi pengguna, yang tanpa disadari bisa membentuk pandangan mereka.

Kita juga melihat bagaimana desain antarmuka (UI/UX) sebuah aplikasi bisa “nudge” pengguna untuk melakukan tindakan tertentu, mulai dari membeli produk hingga ikut dalam sebuah kampanye “viral”.

Bahkan,

Tak jarang kita menyaksikan praktik “social engineering” yang lebih lembut lagi namun sangat efektif. Misalnya, penggunaan influencer dengan “engagement rate” tinggi untuk menyebarkan pesan tertentu, atau pembentukan narasi yang konsisten melalui berbagai kanal media sosial.

Tujuannya satu: Mengarahkan perilaku netizen sesuai dengan agenda tertentu. Ini bukan lagi sekadar “FYP” di TikTok, tapi bagaimana “FYP” itu sendiri kita bentuk dan kita manfaatkan.

 

Maksdunya?

Begini pak bu,

Bayangkan kamu sedang asyik scrolling TikTok, dan tiba-tiba FYP (For You Page) kamu di penuhi video-video tentang isu lingkungan. Mulai dari cara mengurangi sampah plastik, tips berkebun di rumah, sampai ajakan untuk ikut aksi bersih-bersih pantai.

Awalnya mungkin kamu pikir, “Wah, kebetulan banget nih, “Yaa gak sih” aku memang lagi tertarik sama isu ini. Tapi, coba pikirkan lebih dalam. Kenapa tiba-tiba FYP kamu isinya seragam begitu? Eng, Ing, Eng…

Mengarahkan perilaku netizen sesuai dengan agenda tertentu di sini, berarti ada pihak-pihak yang punya tujuan spesifik dan menggunakan berbagai cara untuk membuat para netizen (termasuk kamu yang nyelip di pojokkan) bertindak atau berpikir sesuai dengan tujuan tersebut.

Nah, Ini bukan lagi sekadar ‘FYP’ di TikTok. Ini jauh lebih  ‘mewing’ dari sekadar algoritma TikTok yang secara acak memilihkan video yang mungkin kamu suka. Tapi bagaimana ‘FYP’ itu sendiri di ramu, kita hiasi, beri bumbu (+) micin, hidangkan, untuk lezat di makan atau di manfaatkan.

 

PoV-nya tuh disitu.

Ada kemungkinan konten-konten bertema lingkungan itu sengaja “di push” atau diprioritaskan oleh pihak tertentu. Boleh jadi “tanpa ada satu maksud dan tuduhan” ada organisasi lingkungan yang sedang kampanye, atau bahkan perusahaan yang ingin terlihat peduli lingkungan (greenwashing).

Mereka bisa menggunakan iklan tertarget, bekerja sama dengan influencer bayaran, atau bahkan menciptakan bot yang menyebarkan konten secara masif. Tujuannya bukan hanya sebatas agar kamu melihat video-video tersebut.

Tapi lebih jauh lagi,

Agar kamu jadi lebih peduli lingkungan (sesuai agenda organisasi), membeli produk ramah lingkungan (sesuai agenda perusahaan), atau bahkan ikut dalam aksi-aksi yang mereka galakkan (sesuai dengan program awal), misalnya.

Jadi-nya: FYP yang tadinya terasa personal dan organik, sebenarnya bisa jadi “panggung” yang di atur sedemikian rupa untuk menggiring opini dan tindakanmu. Ini seperti bukan lagi sekadar menonton, tapi konten itu tahu persis apa yang ingin kamu dengar dan lihat, dan menayangkannya terus-menerus sampai kamu terpengaruh.

Seperti cuci otak, gituh?

Jawablah sendiri.

 

Tapi,

Sungguh di luar nalar, di tengah klaim kemampuan institusi besar, negara misalnya, dalam mengendalikan perilaku netizen demi terciptanya atmosfer digital yang lebih konstruktif dan positif, justru riuh rendah keluhan tentang “negara gelap” semakin santer terdengar di berbagai platform media sosial.

“Kami pun gerah melihat hal yang berbau settingan seperti itu”

Ini menimbulkan sebuah paradoks yang menggelitik geli, sekaligus membingungkan.

Jika benar algoritma dan strategi komunikasi telah sedemikian rupa “kuat” untuk di kuasai hingga mampu mengarahkan opini publik ke arah yang lebih membangun, mengapa justru narasi pesimisme dan kegelisahan yang mendominasi linimasa?

Mungkin saja ini, kemampuan “mengontrol” yang di banggakan tersebut lebih terfokus pada upaya memoderasi konten yang di anggap merugikan saja, “kami ulangai: Di anggap merugikan saja” atau mengarahkan percakapan pada isu-isu tertentu yang lebih prioritas.

Agar meredam suasana?

🤔

Benar! esensi dari “berpikir positif” tidak bisa di paksakan atau kita rekayasa melalui algoritma semata. Ia tumbuh dari rasa aman, kepercayaan pada sistem, dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik.

Better than yesterday!

Jika realitas yang di rasakan netizen justru bertolak belakang dengan narasi positif yang di pompakan, maka wajar jika ekspresi ketidakpuasan dan kekecewaan justru semakin menguat, mencari celah untuk di luapkan di ruang-ruang digital yang (mereka harapkan) masih bebas.

 

Lantas,

Satu pertanyaan “ada apa ini sebenarnya?” pun menjadi semakin relevan.

Inilah teka-teki yang perlu diurai, sebuah diskoneksi yang mengindikasikan adanya persoalan yang lebih dalam dari sekadar pengelolaan konten di media sosial.

Tapi malasss bahas yang beginian.

 

“The Power of the Crowd” dan Tantangan Kontrol yang Sesungguhnya

Meski berbagai upaya kontrol terus dikembangkan, satu hal yang tak bisa diabaikan adalah kekuatan kolektif netizen itu sendiri. Mereka adalah makhluk digital yang cerdas, adaptif, dan punya insting “membongkar kebohongan” yang luar biasa.

Ingat bagaimana fenomena “cancel culture” bisa membuat reputasi seseorang atau brand hancur dalam semalam? Ini bukan sekadar gosip viral atau drama sesaat, tapi sebuah manifestasi nyata dari kekuatan kolektif netizen.

Ketika seorang figur publik atau entitas bisnis melakukan blunder, mengeluarkan pernyataan kontroversial, atau bahkan terungkap skandal masa lalunya, gelombang reaksi negatif dari warganet bisa begitu dahsyat hingga berujung pada “pengucilan” digital.

Mereka bisa kehilangan endorsement, ditinggalkan penggemar, bahkan karirnya terancam tamat. Ini adalah bukti telak bahwa narasi dan citra yang selama ini dibangun dengan susah payah bisa runtuh seketika di hadapan the power of the crowd.

 

Judgment kolektif

Kontrol atas citra dan reputasi tidak lagi sepenuhnya berada di tangan individu atau korporasi, melainkan juga di tentukan oleh judgment kolektif para penghuni dunia maya. Ambil contoh: kasus Irina Shayk, mantan kekasih megabintang sepak bola Cristiano Ronaldo.

Setelah hubungan mereka kandas, muncul berbagai spekulasi mengenai penyebabnya. Salah satu yang cukup santer terdengar adalah komentar Shayk yang di anggap meremehkan popularitas Ronaldo.

Beberapa media memberitakan bahwa model asal Rusia tersebut merasa ketenarannya murni hasil kerja kerasnya sendiri, bukan semata-mata karena menjadi kekasih seorang CR7 yang sudah mendunia. Meskipun kebenarannya sulit diverifikasi sepenuhnya, narasi ini sempat memicu reaksi keras dari para penggemar Ronaldo yang loyal abis.

Mereka menyerbu akun media sosial Shayk dengan komentar-komentar pedas, bahkan tak jarang bernada ‘body shaming’ dan hate speech.

Meskipun Shayk adalah seorang model internasional yang sudah punya nama sebelum berpacaran dengan Ronaldo, damage reputasi akibat komentar tersebut (terlepas dari akurasinya) cukup signifikan di mata sebagian besar warganet. Terutama para die-hard fans sepak bola. Ini menunjukkan bagaimana cancel culture tidak hanya menyasar kesalahan atau skandal besar, tapi juga pernyataan yang di anggap merendahkan idola mereka.

Kasus ini menjadi contoh bagaimana popularitas dan pengaruh besar seseorang tidak otomatis melindungi orang-orang di sekitarnya dari amukan “digital mob” jika mereka di anggap berseberangan atau tidak menghormati sang idola.

Kekuatan fanbase yang militan bisa menjadi pedang “Zulfikar, atau Dhu al-Foqar”, dan dalam sekejap, kontrol narasi bisa berbalik arah, menghantam balik pihak yang dianggap “berani” menantang sang bintang.

 

Lalu, Bagaimana Mengontrol Perilaku Netizen Sebagai Bagian Dari Ekosistem Digital?

Jika “kita…” menjadi bagian dari sebuah institusi yang berfokus pada “Bagaimana Mengontrol Perilaku Netizen Sebagai Bagian Dari Ekosistem Digital?”, alih-alih terpaku pada metode konvensional seperti moderasi konten ketat atau algoritma kurasi yang terkesan “menggurui”, aku akan mengusulkan pendekatan yang mungkin bisa jadi jarang terpikirkan.

Yaitu: Membangun “Taman Bermain Digital” yang sehat dan adiktif.

Bayangkan sebuah platform digital yang di desain layaknya taman bermain yang menyenangkan dan aman. Alih-alih fokus pada larangan dan hukuman, kita menciptakan insentif intrinsik bagi perilaku positif.

Misalnya, kita membangun sistem reward “Dapat uang neeeeh!” berbasis reputasi yang transparan dan di hargai tinggi. Netizen yang berkontribusi secara konstruktif, berbagi informasi valid, atau bahkan membantu menyelesaikan konflik antar pengguna akan mendapatkan “lencana” atau status khusus yang di akui oleh komunitas.

Status ini bukan sekadar pajangan digital, tapi memberikan akses ke fitur eksklusif, kesempatan berkolaborasi dalam proyek komunitas, atau bahkan prioritas dalam mendapatkan dukungan teknis.

 

UUD lah poinnya😁.

Lebih jauh lagi, kita akan merancang fitur-fitur interaktif yang mendorong empati dan kolaborasi. Misalnya, simulasi dilema etis yang memungkinkan netizen merasakan dampak dari berbagai pilihan perilaku online, atau platform kolaborasi untuk memecahkan masalah sosial nyata yang ada di dunia maya maupun dunia nyata.

Tujuannya bukan untuk “mencuci otak” netizen agar selalu setuju dengan narasi tertentu, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran diri dan pemahaman akan konsekuensi dari tindakan mereka di ruang digital.

Pendekatan ini bertolak belakang dengan mentalitas “polisi internet”.

Alih-alih terus-menerus memburu pelanggar, kita menciptakan lingkungan di mana perilaku positif menjadi default dan lebih menarik untuk kita ikuti. Ibaratnya, daripada memasang banyak rambu “di larang” di taman, kita membangun wahana yang seru dan area bermain yang nyaman.

Sehingga: anak-anak “baca: netizen” lebih memilih untuk bermain dengan aman dan positif. Keberhasilan “kontrol” di sini bukan di ukur dari seberapa banyak konten negatif yang di hapus, melainkan seberapa banyak interaksi positif dan konstruktif yang tercipta secara organik.

Ini adalah tentang membangun komunitas yang saling menghargai dan bertanggung jawab, di mana perilaku positif bukan lagi paksaan, melainkan sebuah pilihan yang menguntungkan (karena ada imbalan) dan memuaskan bagi setiap individu di dalam ekosistem digital tersebut.

Setuju?

 

Masa Depan Kontrol Perilaku Netizen: Antara Etika, Kebutuhan dan Efektif Tidak-nya

Lantas, bagaimana masa depan kontrol perilaku netizen dalam ekosistem digital?

Jawabannya tentu Panjang! Di satu sisi, platform digital punya tanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban, mencegah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Di sisi lain, privasi dan kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang tidak boleh di langgar.

Dan saat ini bukan lagi untuk sekedar bersenang-senang, tapi menjadi kebutuhan.

Perdebatan etis seputar penggunaan teknologi untuk memengaruhi perilaku online akan terus bergulir. Batasan antara moderasi yang di perlukan dan manipulasi yang merugikan akan terus di negosiasikan.

Pasti-nya: Pemahaman dan kesadaran yang mendalam tentang dinamika perilaku netizen, perkembangan teknologi, following needs-nya, dan implikasi etisnya akan menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab.

Jadi, siapkah kita menjadi bagian dari evolusi “digital jungle” ini dengan lebih bijak dan kritis? Stay woke, para netizen!

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan