Kadang kita, sebagai orang dewasa, suka heran. Kenapa yaa anak yang tadinya manis, penurut, tiba-tiba jadi sering membantah dan punya jawaban untuk setiap perkataan? Seakan-akan, ada satu “saklar” ajaib yang menyulap mereka dari balita menggemaskan jadi manusia super sinis. Apakah ini yang orang sebut dengan “masa remaja”! Apa perlu bertanya: apa yang salah dengan cara kita melihat mereka? Kita sering lupa, bahwa di balik jaket kesukaan, berkaca dengan gaya, dan tatapan mata yang sering kosong, ada gejolak besar yang sedang mereka hadapi.
Pernahkah berpikir, apa yang terjadi di dalam kepala mereka?
Mungkin kita sudah terlalu sibuk menjadi orang tua yang sibuk, sehingga melewatkan sinyal-sinyal kecil yang mereka berikan. Tanpa sadar, kita melakukan hal-hal yang justru membuat mereka semakin menjauh. Ada kesalahan yang kita anggap remeh, padahal dampaknya bisa sangat dalam.
Artikel ini bukan untuk menyudutkan, menggurui, apalagi memfitnah kamu. Tapi, untuk membuka mata kita. Siapa tahu, setelah ini, kamu bisa menemukan ‘cahaya’ untuk masuk ke dunia mereka dan menyambung kembali komunikasi yang sering kali putus.
Apa yang Mereka Butuh saat Masa Remaja?
Frame besar: Remaja itu bukan robot yang butuh upgrade sistem.
Mereka butuh lebih dari sekadar uang saku dan fasilitas. Butuh yang namanya koneksi. Mereka sangat ingin merasa didengar, bukan hanya disuruh-suruh. Seringkali, saat mereka membuka diri, mereka hanya ingin berbagi cerita, bukan mencari solusi instan.
Namun, kita malah buru-buru memotong dan memberi nasihat ala “dewan pakar!”. Alih-alih mendapatkan feedback positif, mereka malah merasa: “Apaan sih”, tidak dimengerti, dan pintu komunikasi yang tadinya terbuka, langsung tertutup lagi.
Gagal total!
Di tengah gejolak emosi dan perubahan fisik, mereka sedang berusaha menemukan siapa diri mereka. Ini adalah fase trial and error terbesar dalam hidup. Mereka akan membuat keputusan buruk, mencoba hal-hal baru, dan kadang gagal.
Justru di sinilah peran kita sangat penting. Bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menjadi jaring pengaman. Memberi ruang bagi mereka untuk mencoba dan jatuh, tapi tetap ada di sana untuk membantu mereka bangkit.
Memangnya Ada Kesalahan yang Ortu Lakukan, tapi Gak Sadar?
Banyak sekali. Tanpa kita sadari, kita melakukan hal-hal yang sebenarnya merusak kepercayaan dan kedekatan dengan anak remaja kita. Mungkin niatnya baik, tapi caranya yang salah. Memang benar, tidak ada buku panduan yang baku membahas tentang ini.
Tapi,
Memahami kesalahan-kesalahan ini bisa menjadi langkah awal yang baik.
Berikut cerita, beberapa nasihat, sisipan, dan kesalahan yang sering kita ‘orang tua’ lakukan dengan tanpa sadar, yang membuat anak remaja kita semakin menjauh. Nah, menurut kamu: benarkah kita selalu melakukan:
1. Misi Misi Silence (Nasihat Bertubi-tubi Tanpa Mendengarkan)
Ini mungkin adalah kesalahan paling fatal. Ketika anak menceritakan masalahnya, kita sudah siap dengan seribu nasihat. “Kamu tuh harusnya gini…”, “Dulu Mama juga…”, “Makanya jangan…”. Padahal, yang mereka butuhkan hanyalah telinga yang mendengarkan, bukan mulut yang menguliahi.
Mereka hanya ingin kita mengangguk dan mengatakan, “Oh, begitu ya. Bapak ngerti.” Dengan memotong pembicaraan, kita tidak hanya menasihati, tapi juga mengirim pesan bahwa perasaan mereka tidaklah penting.
2. Problem Solver Sejati (Menganggap Remeh Masalah Remaja)
Masalah patah hati, bully di sekolah, atau nilai yang jelek mungkin terasa sepele bagi kita. Tapi bagi mereka, itu adalah dunia. Saat kita meremehkan masalah mereka dengan kalimat seperti, “Alah, itu mah biasa, nanti juga lupa,” kita secara tidak langsung menyakiti perasaan mereka.
Ini membuat mereka merasa tidak ada gunanya berbagi cerita, karena toh pada akhirnya tidak akan ada yang mengerti.
3. The Big Boss (Kurang Memberi Kepercayaan dan Ruang)
Anak remaja itu butuh ruang untuk bernapas dan membuat keputusan sendiri. Ketika kita terlalu mengontrol setiap aspek hidup mereka, mulai dari siapa temannya, apa yang dipakai, hingga kapan harus pulang, mereka akan merasa tercekik.
Memberi kepercayaan sedikit demi sedikit adalah cara untuk menunjukkan bahwa kita menghargai mereka sebagai individu yang mandiri. Tanpa ruang, mereka akan mencari cara lain untuk mendapatkan kebebasan, yang sering kali justru di luar pengawasan kita.
4. Double Standard (Tidak Menjadi Teladan yang Konsisten)
Kita sering menuntut anak untuk jujur, tapi kita sendiri berbohong soal umur di bioskop. Kita meminta mereka sopan, tapi kita suka membentak saat kesal. Remaja sangat peka dengan ketidak konsistenan.
Mereka akan melihat dan meniru apa yang kita lakukan, bukan hanya apa yang kita katakan. Jika kita ingin anak kita menjadi pribadi yang baik, kita harus menjadi contoh yang baik terlebih dahulu.
5. C.A.S.A (Mendikte Cita-Cita, Asmara, dan Segalanya)
Setiap anak punya mimpi dan jalan hidupnya sendiri. Saat kita terlalu banyak mendikte, kita seolah merampas hak mereka untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Biarkan mereka memilih jurusan yang mereka suka, atau berteman dengan siapa yang membuat mereka nyaman.
Dukungan adalah hal yang mereka butuhkan, bukan paksaan.
6. Silent Treatment (Tidak Mengobrol Santai)
Hubungan tidak bisa dibangun dengan satu arah. Komunikasi bukan hanya saat ada masalah. Seringkali, kita lupa untuk sekadar mengobrol santai. Tanyakan bagaimana harinya, tonton film bersama, atau video game bareng.
Obrolan ringan yang tulus bisa jadi jembatan untuk membongkar tembok-tembok yang dibangun oleh kesibukan.
7. Comparison is a Thief of Joy (Membandingkan dengan Anak Lain)
“Tuh lihat si Budi, nilainya bagus terus.” Kalimat ini mungkin sudah terlalu sering kita dengar, dan sayangnya, kita pun melakukannya pada anak kita. Membandingkan anak dengan orang lain hanya akan menimbulkan rasa minder dan kebencian.
Setiap anak punya keunikannya sendiri. Yang mereka butuhkan adalah dukungan untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka, bukan versi yang sama dengan orang lain.
Aku dan Masa Remaja-ku
Dulu, kita juga pernah merasa remaja!
Sama seperti mereka sekarang. Sering merasa dunia tidak adil dan tidak ada yang mengerti. Saat itu, aku lebih suka mengunci diri di kamar dengan musik rock kencang dan buku-buku yang membahas soal eksistensi. Rasanya, itu adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa jadi diri sendiri tanpa dihakimi. Aku tidak tahu bahwa orang tuaku juga bingung, sama bingungnya dengan aku.
Mereka berusaha sekuat tenaga, tapi mungkin caranya yang salah. Mereka seringkali terlalu protektif, karena mereka takut. Takut aku salah pergaulan, takut tidak punya masa depan. Mereka tidak tahu bahwa justru dengan memegang tanganku terlalu erat, aku ingin melepaskannya dan berlari sekencang-kencangnya.
Aku tidak ingin mengecewakan mereka, tapi aku juga bukan boneka. Aku ingin mengambil keputusan sendiri, meskipun terkadang itu konyol dan salah.
Saat tumbuh dewasa, kita pun sadar. Perasaan yang kita rasakan dulu, sama seperti yang dirasakan remaja hari ini.
Dan…
Gap antara orang tua dan anak itu nyata.
Bukan karena kita tidak sayang, tapi karena kita tidak tahu bagaimana cara bagaimana mengkomunikasikan itu dengan baik. Kita terperangkap dalam ego masing-masing. Mereka ingin dihormati, kita ingin dimengerti. Kita lupa bahwa untuk bisa sampai ke sana, harus ada langkah awal: menurunkan ego dan mendengarkan.
Mungkin,
Ini satu kemungkinan yaa: sudah saatnya kita berhenti melihat remaja sebagai masalah yang harus diselesaikan, tapi sebagai manusia tumbuh yang sedang berproses. Mereka bukan lagi anak kecil, tapi juga belum sepenuhnya dewasa. Mereka ada di tengah-tengah. Dan di tengah-tengah itulah, kita seharusnya berdiri, sebagai pelabuhan, bukan sebagai polisi berkumis tebal, berbaju dinas dengan sepatu keras.
Mencari Jati Diri dan Kemandirian di Usia Remaja
Masa remaja adalah fase dinamika emosi yang penuh dengan petualangan, kegagalan, dan pembelajaran. Ini adalah waktu di mana mereka mulai mencari tahu siapa diri mereka, nilai-nilai apa yang mereka pegang, dan bagaimana mereka ingin berkontribusi pada dunia.
Peran orang tua bukan lagi sebagai komandan, melainkan sebagai pemandu.
Kita tidak perlu lagi memegang tangan mereka di setiap langkah, tapi cukup memastikan mereka tidak tersesat terlalu jauh. “Mengarahkan!”
Tenang dulu, kesalahan-kesalahan yang kita lakukan tidak membuat kita menjadi orang tua yang buruk. Itu hanya membuat kita menjadi orang tua yang belajar. Mengakui kesalahan adalah langkah awal untuk memperbaiki hubungan. Tunjukkan pada ‘mereka’ bahwa kamu juga manusia yang tidak sempurna, yang bisa salah, dan yang paling penting, bisa meminta maaf.
Stop menuntut dan mulai memberikan.
Berikan mereka telinga, hati, dan kepercayaan. Karena pada akhirnya, hal terbaik yang bisa kita berikan pada anak kita bukanlah harta atau warisan benda, melainkan basis yang kuat untuk menjadi pribadi yang mandiri dan berani.
PoV-Nya: Berikan mereka akar, bukan sayap. Karena dengan akar yang kuat, mereka bisa tumbuh sekuat-kuatnya, lalu sayap akan datang dengan sendirinya.
Salam Dyarinotescom.
