Boleh jadi – pagi ini kamu bangun, menyeruput kopi yang dibeli dipasar, dan merasa hidupmu sudah cukup ‘di-pajaki’. Maksudnya, dari kita lahir, beli popok, beli susu, bahkan mungkin kuota internet “untuk buat artikel ini” pun seolah “dikenai biaya” sana-sini. Normal, itu daily struggles warga Konoha. Tapi ada satu plot twist yang baru-baru ini muncul di permukaan. Dan jujur, ini bikin mood pagi langsung terjun bebas. Katanya: uang pensiun pun kena pajak! 😧…
Sudah tau tapi masih bisa diam?
Musik …🔊
Saat kita sudah tua, rambut memutih, tenaga lari ke mana-mana, dan akhirnya menerima uang pensiun “dana yang seharusnya menjadi jaminan hari tua” ternyata dana itu juga digigit oleh sistem perpajakan. Seriously? Uang pensiun, lho.
Entah karena selama ini sengaja ditutup-tutupi atau memang kita saja yang kurang update dan keasyikan scroll TikTok lihat yang gemoy-gemoy, rasanya baru kali ini fakta ini mencuat dan langsung menampar kesadaran publik.
Ini bukan lagi soal lucu-lucuan, ini soal survivability di masa senja.
Demi Pemasukan Semua Dikenakan Pajak
Jelas, bagi negara seperti Konoha, pemasukan adalah raja. Clear ini maah.
Yang kami cerna sebagai rakyat: Pemerintah daerah seringkali bingung saking “Noo limitnya” anggaran yang dimiliki. Jadinya, bukannya dipakai, uang itu malah dianggurin di Bank. Rakyat menilai: Oooh, mereka tuuuh mandek ide dan “tidak tahu” mau bikin program apa.
Gak bisa kerja. Cena.
Sementara, yang katanya: “demi menambal lubang di mana-mana” (entah lubang apa itu), semua potensi pemasukan disasar. Mulai dari yang muda dengan gaji bulanan, sampai yang tua dengan dana sisa jaminan hari tua mereka. Semuanya dianggap sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang harus setor ke kas negara.
Memang, secara hukum, uang pensiun itu dianggap sebagai penghasilan yang belum pernah dikenakan pajak saat diakumulasikan. Jadi, ketika dana itu cair, ia harus dikenakan pajak, meskipun ada komponen Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang diperhitungkan. Kalau di bawah PTKP, aman. Tapi begitu nilainya melampaui batas, “ngoook”, bersiaplah potongannya mampir.
Ini jadi polemik besar!
Seolah-olah, setiap rupiah yang masuk ke kantong kita, baik dari hasil kerja keras puluhan tahun maupun warisan, selalu dilihat dengan mata elang yang penuh perhitungan.
Situasi ini membuat sebagian dari kita merasa seperti main game monopoli kan yaa 😂, yang aturannya selalu berubah di tengah jalan, di mana setiap singgah, kita harus bayar sewa dan pajak, tanpa ada jeda. Padahal, dana itu adalah hasil iuran yang sudah dipotong dari gaji sejak awal masa kerja.
Logika sederhananya, kok bisa yang sudah dicicil dari penghasilan yang sudah dipajaki, saat kembali dalam bentuk dana pensiun, dipajaki lagi?
Double kill namanya, cuk!
Pemerintahan yang dulu sungguh betul-betul tidak becuss buat UU!, misalnya.
Ini bukan sekadar data atau pasal-pasal kaku, ini adalah narasi tentang rasa keadilan yang terluka. Dan di tengah kehebohan ini, ada beberapa penjelasan resmi dari pihak berwenang yang, alih-alih menenangkan, justru gagal total dipahami publik “bahkan cenderung bikin kita makin emosi!”
Mari kita bedah satu per satu, apa saja sih alasan klasik yang sering kita dengar, tapi kok ya, sulit diterima akal sehat?
Penjelasan yang Gagal Dipahami Publik
Setelah membahas betapa bikin emosi-nya kebijakan ini, mari kita sejenak menenangkan diri. Kita tahu, dalam setiap kebijakan yang bikin heboh, pasti ada penjelasan resmi dari pihak berwenang. Mereka pasti punya pasal, ayat, dan jargon-jargon rumit yang intinya bilang, “Tenang, ini sudah sesuai aturan dan etis, kok.”
Tapi masalahnya, penjelasan-penjelasan ini, alih-alih meredakan kegaduhan, justru sering kali membuat kita makin geleng-geleng kepala saking jauhnya dari logika sederhana rakyat.
Faktanya, ada beberapa alasan klasik yang selalu diulang-ulang. Ini seolah jadi mantra wajib yang dikeluarkan ketika publik protes. Tapi, gap antara apa yang mereka katakan di ruang sidang kementerian dengan apa yang dirasakan Nenek di rumah itu jauhnya minta ampun.
Nah, daripada kita makin manyun, lebih baik kita bongkar tujuh penjelasan tersebut. Mari kita lihat, seberapa kocak dan absurd-nya alasan-alasan ini di mata publik Konoha, terutama ketika kita tahu ada aset negara lain (seperti SDA) yang dibiarkan ‘dicuri’, tapi uang pensiun rakyat malah digigit dengan penuh semangat.
Siap-siap baper dong!
1. Pajak Double Kill? Nggak Kok, Itu Kan Dulu Iuran!
Mereka bilang, iuran yang dipotong dari gajimu dulu bisa dikurangkan dari penghasilan bruto. Jadi, iuran itu belum pernah kena pajak. Begitu cair jadi uang pensiun, barulah ia dianggap penghasilan yang dikenakan PPh. Intinya: Dulu kamu dapat diskon, sekarang waktunya bayar penuh.
Kedengarannya masuk akal, tapi terasa kurang etis di mata pensiunan yang butuh uang itu untuk obat dan kebutuhan sehari-hari.
2. Dana Pensiun Adalah Tambahan Kekayaan (Masa Tua)
Dalam Pasal 4 UU PPh, penghasilan didefinisikan sebagai tambahan kemampuan ekonomis. Lho, dana pensiun itu bukan tambahan, itu hasil saving paksa selama puluhan tahun! Menganggap uang hasil jerih payah yang dicicil ini sebagai ‘tambahan’ rasanya seperti bercanda. Rakyat itu serius berjuang untuk hidup woy!
3. PTKP Masih Ada! Tenang, Nggak Semua Kena!
Pemerintah selalu menekankan adanya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). “Kalau di bawah PTKP, aman kok!” katanya. Ya, betul. Tapi bagaimana dengan pensiunan yang punya penghasilan cukup besar (misalnya karena jabatannya tinggi dulu) yang uang pensiunnya otomatis jadi sasaran tembak?
Bukankah tujuan dana pensiun adalah untuk hidup layak, bukan sekadar ‘aman’ di batas PTKP?
4. Fokus ke Uang Pesangon Gede Aja Dulu!
Kasus uang pesangon yang viral, yang kena pajak sampai 25%, sering digunakan sebagai distraction. Tapi faktanya, tarif 25% itu hanya untuk uang pesangon di atas Rp500 juta! Artinya, ini menyasar kalangan tertentu.
Namun, isu pajak pensiun yang sifatnya rutin dan mengenai lebih banyak orang justru terpinggirkan.
5. Negara Kejar Setoran Saja, SDA Biarin Dicuri!
Ini adalah poin yang paling bikin nyesek. Kita tahu, di Konoha ini, isu Sumber Daya Alam (SDA) yang ‘bocor’ atau potensi penerimaan besar yang hilang di sektor lain seringkali luput dari perhatian serius.
Tapi anehnya, uang kecil “yaelah receh banget seeh bagi negara yang katanya KAYA!” dari pensiunan yang sudah berjuang keras malah digigit.
Prioritasnya kok seolah terbalik, ya?
6. Regulasi Lawas yang Belum Sempat Di-Revisi
Alasan klasik.
Aturan ini sudah ada sejak lama, dan meskipun sudah diubah berkali-kali (seperti UU HPP), substansi bahwa uang pensiun adalah objek pajak tetap dipertahankan. Ini menunjukkan kurangnya kemauan politik “gak sensi ke rakyat’ untuk mengubah pasal yang jelas-jelas sensitif secara sosial.
7. Ini Bukan Merampok, Ini Kewajiban Warga Negara yang Baik!
Intinya, pemerintah selalu kembali ke narasi kewajiban.
Memang benar, membayar pajak adalah kewajiban. Tapi, apakah moralitasnya tepat ketika ‘memajaki’ mereka yang sudah selesai berjuang dan hanya ingin menikmati sisa hari tanpa beban finansial yang memberatkan?
Kita bicara soal hati nurani Paman, bukan cuma undang-undang.
Ingat! Undang-undang itu dibuat oleh pemerintahan terdahulu. Jadi, bisa saja toh banyak pasal yang cacat dan tidak berpihak ke rakyat.
Setelah Gaji, Giliran Dana Hari Tua yang Disasar
Keresahan ini bukan cuma sekadar wacana di media sosial. Ini adalah kisah nyata yang dialami orang-orang terdekat kita.
Misalnya saja, Si Nenek. Suaminya (kakek kita) sudah meninggal, dan Nenek mendapat dana pensiun almarhum sebagai sandaran hidup. Setiap bulan, Nenek selalu mengeluh: “Kok berkurang terus, ya?” Dulu, kita hanya berpikir itu mungkin potongan administrasi bank biasa.
Tapi setelah membaca pasal-pasal kaku itu, aha! Ternyata potongannya adalah ‘gigitan’ pajak.
Mendengar keluhan Nenek, rasanya ada sesuatu yang mencubit di ulu hati. Bayangkan, puluhan tahun sang kakek mendedikasikan hidupnya untuk negara, gajinya dipotong untuk iuran, dan ketika ia sudah tiada, dana yang seharusnya menjamin kehidupan sang Nenek di masa senja malah terus di-gerogoti.
Ini bukan tentang jumlahnya yang besar atau kecil, ini tentang rasa penghargaan negara terhadap masa bakti warganya.
Kisah ini mengingatkan pada seorang pembalap yang kita kenal: Marc Marquez, seperti artikel sebelumnya. Hehehe😁.
Dia selalu mencoba untuk melebihi limit dirinya, mencari batas terluar dari kemampuan motor dan fisiknya, hanya demi satu tujuan: kemenangan. Ia tak peduli seberapa menyakitkan jatuh itu. Ia terus dan terus sampai akhirnya ia jatuh.
Bedanya, kakek kita tidak sedang mencoba mencari batas, kakek hanya mencoba bertahan hidup dengan uang pensiunnya.
Dalam konteks pensiun ini, kita semua adalah pembalap. Kita berlomba puluhan tahun di trek karier yang keras, mencoba mencapai garis akhir dengan selamat, berharap dana pensiun “yang ditabung” adalah pit stop terakhir yang nyaman.
Tapi, ternyata di lap terakhir, aturan berubah: kita harus membayar tol lagi.
Ceritanya: Curhat ini adalah refleksi betapa sulitnya menemukan rasa aman finansial sejati di masa tua di konoha, bahkan setelah bekerja sekeras dan se-gila Marc Marquez di masa mudanya. Hanya bisa mengelus dada.
Konoha, Pajak, dan Pajak Lagi
Yups, isu pajak atas uang pensiun ini merangkum carut marut sistem yang kita hadapi di Konoha.
Sejak lahir “manusia yang lahir disini” sudah menjadi objek pajak, “SDM itu aset negara” Mata mu! 🤬… Dan nampaknya, sampai masa pensiun pun, kita tetap menjadi sasaran empuk. Ini adalah lingkaran ‘kebodohan’ di mana kebutuhan negara akan pemasukan selalu di atas kebutuhan warga negara akan kepastian dan ketenangan finansial di hari tua.
PoV-nya: Negara pintar-pintar cari duit woy! Bukan rakyat jelata yang sudah tua diperas habis “tipis” hingga kurus.
Kita perlu menggeser fokus dari sekadar mengejar pemasukan dari rakyat yang sudah terbebani, menjadi bagaimana memastikan efisiensi dan pemanfaatan optimal dari pajak yang sudah ditarik. Jika SDA dibiarkan ‘bocor’ dan banyak sektor lain yang belum disentuh, rasanya sungguh keterlaluan bila uang pensiun yang merupakan harta terakhir para pejuang masa lalu malah menjadi sasaran.
Semoga cuap-cuap dan keresahan yang disuarakan ini bisa menjadi cermin bagi para pembuat kebijakan. Karena masa tua yang tanpa beban finansial adalah hak dan kesempatan yang harus dihormati.
Biarkan para pensiunan kita menikmati sisa hari mereka dengan senyuman, dengan khusuknya ibadah mereka. Bukan dengan terus-menerus menghitung uang yang dipotong. Sadar-nya: Kepastian di hari tua bukanlah kemewahan, melainkan janji yang harus ditepati oleh sebuah negara.
Jika mau dikatakan itu benar sebuah Negara.
Saya, Nugroho.
Salam Dyarinotescom.
