Indonesia, negeri yang katanya “gemah ripah loh jinawi”, kini tengah menghadapi berbagai tantangan yang di luar nalar. Mulai dari masalah klasik💵 efisiensi anggaran dan PHK, program makan bergizi gratis yang menuai pro dan kontra, hingga fenomena viral #KaburAjaDulu yang menggambarkan kegelisahan generasi muda. Belum lagi, kasus reklamasi Pulau yang tak kunjung usai, menambah daftar panjang permasalahan yang buruk untuk di pandang. Dan benar, sepertinya Indonesia kita sedang tidak baik-baik saja.
Perlu ke Dokterkah😷?
Di tengah cenat-cenut permasalahan ini, respons pemerintah terhadap aspirasi rakyat justru terkesan kurang greget. Tidak seperti saat kampanye dulu. “Cuek saja!” Alih-alih mencari solusi yang mengedepankan rasa keadilan, menaggapi dengan argumen penjelasan, atau mendengarkan apa maunya rakyat, eehh.. pemerintah justru terlihat bodoh amat “norak plus pe’ak” dalam menghadapi dinamika yang berkembang.
Kritik dan masukan dari sebagian golongan masyarakat pun, seolah hanya menjadi angin lalu serupa kentut dan malah dicibir “Ndasmu!”, tak pernah benar-benar di dengarkan apalagi di tindaklanjuti. Hal ini tentu saja menimbulkan kekecewaan dan rasa frustrasi di kalangan masyarakat, terutama generasi muda yang notabene sebagai generasi copy, “mencontoh apa yang pendahulu lakukan”.
Kami kira mereka berbeda, ternyata sama saja. Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja
Benarkah Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja?
Banyak yang beranggapan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kekhawatiran ini bukan tanpa peristiwa sebelumnya. Berbagai permasalahan seperti inefisiensi anggaran, polemik program makan bergizi gratis, hingga fenomena #KaburAjaDulu menjadi bukti nyata bahwa ada sesuatu yang perlu dibenahi di negeri ini.
“Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja.”
Masyarakat sebenarnya tidak menuntut hal yang muluk-muluk, kok Pak.
Mereka hanya ingin pemerintah lebih responsif terhadap aspirasi rakyat, lebih transparan dalam pengelolaan anggaran, dan lebih serius dalam mencari solusi atas berbagai permasalahan. Rakyat ingin melihat pemerintah ini benar-benar bekerja untuk kepentingan mereka, bukan hanya untuk kepentingan atau golongan tertentu.
Ketidakpuasan ini muncul karena rakyat merasa suara mereka tidak didengar.
Padahal, rakyat hanya ingin pemerintah lebih peka terhadap apa yang mereka rasakan. “Buat apa membayar banyak orang, tapi tidak bisa menjawab pertanyaan rakyat.” Rakyat ingin melihat anggaran negara digunakan secara tepat mengikuti rasa keadilan, dan transparan menjawab tuduhan, bukan malah dihambur-hamburkan untuk proyek-proyek yang “Kami pun sudah tahu tau hasil akhirnya pasti bermasalah.”
Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja😒
Lebih dari itu, rakyat ingin melihat pemerintah hadir sebagai solusi, bukan malah menjadi bagian dari masalah tersebut.
Dan,
Idealnya
Negara demokrasi yang maju itu ibarat unicorn di dunia politik, di mana good governance lebih dari sekadar jargon. Pemerintahannya agile dan responsif, bukan nongkrong di zona nyaman. Kebijakan publiknya tentu saja user-friendly, dirancang dengan melibatkan partisipasi aktif warga, bukan one-man show.
Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi rule of the game, bukan sekadar janji manis di atas kertas hitam dan putih. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, tidak hanya tajam ke bawah tumpul ke atas. Kebebasan pers dan berekspresi pun dijamin, bukan dibungkam dengan dalih stabilitas.
Sedangkan, toleransi dan inklusi menjadi DNA masyarakatnya, bukan hanya slogan kosong. Kesejahteraan ekonomi dan sosial merata, bukan hanya dinikmati segelintir elite. Pendidikan dan kesehatan berkualitas tinggi, bukan hanya formalitas tanpa mutu. Singkatnya, negara demokrasi maju itu the real deal, bukan sekadar ilusi atau utopia.
Rakyat itu maunya:
1. Pelayanan Publik yang Berkualitas
Ketika berbicara tentang pelayanan publik yang berkualitas, ekspektasi masyarakat sebenarnya tidak melulu tentang sesuatu yang mewah atau canggih. Lebih dari sekadar “good service”, masyarakat mendambakan pelayanan yang efektif, efisien, dan yang paling penting, menyentuh kebutuhan mereka secara langsung. Ini bukan cuma soal senyum ramah petugas, tapi soal bagaimana pelayanan itu benar-benar solve masalah mereka.
Misalnya,
Ketika “Ribet” Jadi “Sat-Set”
Ambil contoh urusan birokrasi. Dulu, ngurus KTP atau perizinan usaha bisa jadi mimpi buruk, penuh antrian panjang, pungli, dan proses yang bertele-tele. Sekarang, dengan digitalisasi dan reformasi birokrasi, masyarakat berharap semua urusan bisa “sat-set”, cepat dan mudah diakses, bahkan dari smartphone di rumah. Ini baru namanya pelayanan publik yang berkualitas, yang relevan dengan gaya hidup masyarakat modern yang serba cepat.
Ada Hak yang Tak Bisa Ditawar
Sektor kesehatan dan pendidikan, misalnya, adalah contoh yang sangat krusial. Wajib! Kami ulangi lagi, “Ini Wajib!” Masyarakat ingin akses layanan kesehatan yang mudah dan terjangkau, fasilitas yang memadai, serta tenaga medis yang profesional dan peduli.
Begitu juga dengan pendidikan, masyarakat ingin anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang berkualitas, yang membekali mereka dengan skill yang bisa di gunakan untuk bersaing di era global. Ini adalah hak dasar yang tidak bisa ditawar-tawar, dan menjadi indikator penting apakah sebuah negara itu “baik-baik saja” atau tidak.
Jangan Cuma “Estetik”
Infrastruktur “Benar!” menjadi sorotan. Masyarakat tidak hanya butuh jalan yang mulus atau gedung yang estetik, tapi juga infrastruktur yang fungsional dan berkelanjutan. Misalnya, transportasi publik yang nyaman dan terjangkau, sanitasi yang baik, serta ketersediaan air bersih.
Infrastruktur yang baik akan menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas dari masyarakat tanah air itu sendiri.
Pada akhirnya, pelayanan publik yang berkualitas adalah pelayanan yang “melayani” bukan mengakali. Pemerintah dan para aparatur-nya harus memiliki sense of belonging dan empati terhadap masyarakat. Mereka harus tahu diri bahwa “mereka adalah pelayan publik,” bukan penguasa.
Jadi, jangan seperti preman!
2. Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial menjadi salah satu indikasi penting, apakah sebuah negara itu “baik-baik saja” atau tidak. Di Indonesia, isu ini menjadi krusial di tengah berbagai fenomena yang muncul. Kita sering mendengar istilah “generasi sandwich”, di mana banyak orang harus menanggung beban ekonomi keluarga, bahkan hingga beberapa generasi sekaligus. Ini adalah gambaran nyata betapa rapuhnya kesejahteraan sosial sebagian masyarakat kita.
Maksudnya begini?
Jaminan Sosial yang “Jomplang”
Program jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan memang ada, tapi masih jauh dari kata sempurna. Banyak bukti yang menyatakan “Mereka tebang pilih”. Jika pasien menggunakan biaya mandiri, misalnya, akan lebih cepat mendapatkan penanganan.
Banyak masyarakat yang masih kesulitan mengakses layanan kesehatan yang layak, sementara perlindungan terhadap risiko kecelakaan kerja atau PHK juga masih minim. Istilah “miskin struktural” menggambarkan bagaimana sebagian masyarakat terperangkap dalam kemiskinan karena sistem yang belum berpihak pada mereka.
Perumahan yang “Overpriced” dan Tidak Terjangkau
Harga properti yang semakin “overpriced” membuat banyak keluarga kesulitan memiliki rumah yang layak. Program perumahan rakyat yang di gadang-gadang pun masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan hunian yang terjangkau. Akibatnya, banyak yang terpaksa tinggal di lingkungan yang tidak sehat dan tidak layak huni.
Ketahanan Pangan yang Mudah “Goyang”
Harga bahan pokok yang seringkali “naik turun” membuat masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah, kesulitan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Program stabilitas harga pangan yang di lakukan pemerintah juga belum sepenuhnya efektif. Istilah “inflasi” menjadi momok yang menakutkan bagi banyak keluarga.
Lingkungan Hidup yang “Memprihatinkan”
Masalah lingkungan hidup seperti polusi, sampah terutama, dan bencana alam juga turut memperburuk kondisi kesejahteraan sosial masyarakat. Bencana alam seperti banjir dan longsor tidak hanya merenggut nyawa, tapi juga menghancurkan tempat tinggal dan mata pencaharian masyarakat. Istilah “darurat iklim” semakin sering kita dengar, dan ini adalah ancaman nyata bagi kesejahteraan sosial kita.
Lalu, bagaimana dengan:
3. Pembangunan Ekonomi
Bagi masyarakat awam, pembangunan ekonomi itu bukan sekadar angka pertumbuhan ekonomi yang “wah” di atas kertas. Mereka lebih peduli dengan dampaknya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Misal,
- Apakah pembangunan ekonomi itu membuka lapangan kerja baru?
- Apakah inovasi-inovasi mutakhir memudahkan hidup mereka?
- Apakah investasi yang masuk itu berujung pada kesejahteraan, bukan hanya keuntungan segelintir orang? Dan yang tak kalah penting,
- Apakah infrastruktur yang di bangun itu benar-benar mempermudah mobilitas dan aktivitas mereka?
Mimpi Anak Muda
Lapangan kerja adalah isu klasik, terutama bagi fresh graduate yang baru lulus. Baru tahu bagaimana asinya garam. “Kami butuh pekerjaan!” begitu kata mereka. Pekerjaan bukan hanya soal mencari nafkah, tapi juga tentang aktualisasi diri, bayar tagihan, pengalaman, dan juga turut berkontribusi pada keluarga dan negara.
Pembangunan ekonomi yang milenial friendly itu mampu menciptakan lapangan kerja yang match dengan kebutuhan pasar, yang memberikan salary yang worth it, dan yang menawarkan career path yang jelas. Jangan sampai pembangunan ekonomi hanya dinikmati oleh para big boss dan “anjing-anjing kapitalis”, sementara generasi muda masih bergelut dengan pengangguran, alias jobless. Menjadi moster di rumah sendiri.
Gak Ada Lo, Gak Rame!
Tanpa inovasi, negara ini bakal ditinggal. Ditinggal? Orang akan lebih membanggakan bangsa lain hanya karena mereka lebih maju. Dan jelas, inovasi adalah kunci kemajuan suatu bangsa. Masyarakat ingin melihat inovasi-inovasi yang memudahkan hidup mereka, yang membuat pekerjaan lebih efisien, dan yang membuka peluang-peluang baru.
Inovasi itu kan tidak hanya melulu soal teknologi canggih, tapi juga inovasi dalam pelayanan publik, dalam pendidikan, dalam kesehatan, dan dalam sektor-sektor lainnya. Karena, pembangunan ekonomi yang inovatif adalah yang mampu mendorong lahirnya ide-ide baru, yang memberikan dukungan bagi para inovator, dan yang mampu mengadopsi teknologi-teknologi terkini. Termasuk, mengikutsertakan peran anak muda yang kaya imajinasi dan jauh dari rasa takut.
Ada Duit, Ada Barang!
Ada duit, yaa ada barang. Investasi masuk, ekonomi terbangun.
Investasi adalah darah segar bagi pembangunan ekonomi. Masyarakat ingin melihat investasi yang masuk itu memberikan manfaat bagi mereka, bukan hanya bagi para investor. Investasi yang baik adalah yang menciptakan lapangan kerja, yang meningkatkan pendapatan daerah, dan yang tidak merusak lingkungan.
Pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang kondusif, yang memberikan kepastian hukum, dan yang mempermudah proses perizinan. Namun, yang perlu diingat, investasi juga harus diikuti dengan pengawasan yang ketat, agar tidak terjadi praktik-praktik yang merugikan.
Jalan Mulus, Rezeki Lancar!
Infrastruktur adalah fondasi pembangunan ekonomi. Sarana transportasi jalan, misalnya. Masyarakat ingin melihat jalan-jalan yang mulus, transportasi publik yang nyaman, dan fasilitas umum yang memadai. Infrastruktur yang baik akan mempermudah mobilitas masyarakat, memperlancar arus barang dan jasa, dan meningkatkan daya saing daerah. Pembangunan infrastruktur juga harus memperhatikan aspek lingkungan, agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan alam.
Bagimana dengan:
4. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah ruh dari negara demokrasi. Masyarakat tidak ingin hanya sekadar “Asal Bunyi” menjadi penonton atau objek pembangunan, tapi juga ingin terlibat aktif dalam menentukan arah dan kebijakan negara.
Partisipasi ini mencakup berbagai aspek, mulai dari menyampaikan aspirasi, memberikan masukan, hingga ikut serta dalam pengambilan keputusan. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah partisipasi masyarakat di Indonesia sudah berjalan sebagaimana mestinya?
Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat
Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, demokrasi tidak hanya sebatas pemilihan umum yang digelar setiap lima tahun sekali. Lebih dari itu, demokrasi adalah tentang bagaimana suara rakyat didengar dan diakomodasi oleh pemerintah.
Masyarakat ingin melihat pemerintah yang responsif terhadap aspirasi mereka, yang tidak hanya mengumbar janji-janji manis saat kampanye, tapi juga bekerja nyata untuk kepentingan rakyat setelah terpilih. Jangan sampai demokrasi hanya menjadi komoditas, sementara suara rakyat diabaikan begitu saja.
No More ‘Gelap-Gelapan’
Transparansi adalah kunci dari pemerintahan yang akuntabel. Masyarakat ingin tahu ke mana uang pajak mereka di gunakan, bagaimana kebijakan-kebijakan publik dibuat, dan mengapa keputusan-keputusan penting diambil.
Transparansi bukan hanya soal membuka informasi kepada publik, tapi juga tentang memberikan penjelasan yang mudah di pahami dan di akses oleh masyarakat. Jangan sampai transparansi hanya menjadi “lips service”, sementara informasi-informasi penting di sembunyikan atau dipelintir.
Gak Cuma ‘Like’ dan ‘Share’
Partisipasi masyarakat tidak hanya sebatas memberikan “like” atau “share” di media sosial. Sesungguhnya adalah ketika masyarakat terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan, memberikan masukan yang konstruktif, dan ikut serta dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan publik.
Partisipasi juga tentang bagaimana masyarakat berani menyampaikan kritik dan koreksi terhadap pemerintah, tanpa takut di intimidasi atau di kriminalisasi. Jangan sampai partisipasi masyarakat hanya menjadi ‘hujan’, sementara suara kritis di bungkam.
5. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Masyarakat ingin melihat “semua setara di mata hukum” bahwa hak-hak mereka di jamin dan di lindungi oleh negara, tanpa diskriminasi. Perlindungan HAM mencakup berbagai aspek, mulai dari hak untuk hidup, hak untuk bebas berpendapat, hingga hak untuk mendapatkan keadilan.
Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah perlindungan HAM di Indonesia sudah berjalan sebagaimana mestinya?
Semua Sama, Tanpa Kecuali
Kesetaraan adalah prinsip bahwa semua manusia memiliki hak dan martabat yang sama, tanpa memandang ras, suku, agama, gender, atau status sosial. Masyarakat ingin melihat bahwa hukum di tegakkan secara adil dan rasa keadilan, tanpa pandang bulu.
Jangan sampai ada perlakuan yang tidak adil hanya karena perbedaan pendapat dan argumentasi. Semua orang memiliki hak yang sama untuk diperlakukan dengan hormat dan bermartabat.
Bebas Berpendapat, Bebas Berekspresi
Kebebasan adalah hak setiap individu untuk berpikir, berpendapat, dan berekspresi. Masyarakat ingin memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasi mereka, untuk mengkritik kebijakan pemerintah, dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Kebebasan ini tentu saja memiliki batas, yaitu tidak melanggar hak-hak orang lain.
Namun, jangan sampai kebebasan di batasi secara berlebihan, sehingga masyarakat tidak berani untuk “speak up”.
Hukum Harus Tegak, Bukan menunduk “Cium Tangan”
Keadilan adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil di depan hukum. Masyarakat ingin melihat bahwa hukum di tegakkan secara tegas dan tidak memihak, bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan, tanpa memandang status sosial atau ekonomi.
Jangan sampai keadilan hanya menjadi “mimpi” bagi sebagian orang, sementara yang lain ketawa-ketiwi.
Benarkah Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja?
Saatnya “Move On” dan Berbenah Diri!
Jadi, apakah Indonesia sedang tidak baik-baik saja? Pertanyaan ini tentu tidak bisa di jawab dengan jawaban tunggal “ya” atau “tidak”. Yang jelas, ada banyak pekerjaan rumah yang harus di selesaikan agar Indonesia bisa gercep dan menjadi negara yang lebih baik.
Mulai dari masalah klasik efisiensi anggaran yang masih jadi “bulan-bulanan”, program makan bergizi gratis yang belum satu suara, fenomena #KaburAjaDulu yang menggambarkan kegelisahan generasi muda, hingga kasus PIK 2 yang tak ada “ujung-ujungnya”. Semua ini adalah judul cerita perjalanan Indonesia bahwa ada sesuatu yang perlu di benahi.
Kolaborasi Kece untuk Indonesia Maju
Pemerintah sebagai pemegang tongkat komando “lima tahunan” jangan mudah bengong, harus lebih “sat-set” dalam merespons aspirasi rakyat. Jangan hanya mengumbar janji-janji manis, tapi berikan bukti nyata bahwa pemerintah ini bekerja untuk kepentingan rakyat.
Transparansi anggaran juga harus menjadi “harga mati”. Masyarakat berhak tahu ke mana uang pajak mereka di alokasikan. Selain itu, pemerintah juga harus lebih inovatif dalam mencari solusi atas berbagai permasalahan yang ada. Jangan hanya mengandalkan cara-cara lama yang sudah terbukti gagal total.
Namun, perubahan tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah. Kita pun sebagai bagian dari masyarakat juga harus berperan aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan, memberikan masukan yang konstruktif, dan tidak apatis terhadap isu-isu publik.
Partisipasi masyarakat yang kuat adalah kunci dari demokrasi yang sehat. Masyarakat harus berani “speak up” jika ada kebijakan yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Jangan biarkan suara kita hanya menjadi “sampah” di media sosial.
Gak Ada Rotan, Akar Pun Jadilah
Istilah “Indonesia sedang tidak baik-baik saja” sebenarnya adalah “alarm” bagi kita semua. Ini adalah signal bahwa kita tidak boleh terlena dengan pencapaian-pencapaian yang sudah di raih. Kita harus terus berbenah diri, mencari solusi atas berbagai permasalahan yang ada, dan bekerja sama untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
Ingat, “gak ada rotan, akar pun jadi”. Jika kita tidak bisa mengandalkan pemerintah sepenuhnya, maka kita sebagai masyarakat harus ikut turun tangan memperbaiki. Ketuk pintu wakil-wakil rakyat untuk menjalankan tugasnya. Rakyat tak butuh ‘drama’ di sosial media, sementara kenyataannya ‘Negara sedang tidak baik-baik saja.’
Bersama-sama, kita bisa menciptakan Indonesia yang lebih maju, terbuka dan berkeadilan.
Salam Dyarinotescom.