Insting Kawanan Lebih Penting Dari Kalkulasi Akal Sehat? 😧

  • Post author:
  • Post category:Marketing
  • Post last modified:November 19, 2025
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Insting Kawanan Lebih Penting Dari Kalkulasi Akal Sehat? 😧

Nyantai dulu dong di mall, lalu tiba-tiba ada segerombolan orang lari terbirit-birit ke satu arah. Jelas-jelas tidak ada suara alarm, tidak ada teriakan “kebakaran!”, tapi… boom! Secara otomatis, kaki ini ‘latah’ seperti diberi remote control oleh kerumunan massa. Ikutan lari! Setelah sampai di ujung koridor dengan napas terengah-engah, jantung berdebar serasa mau copot, ternyata eee… mereka cuma berebut antrian diskon es krim yang baru buka. Hadeh … ternyata benar, akal sehat butuh pendinginan 😂?

Musik 🔊

 

Kita ini kan bukan “domba tersesat” yang gampang digiring ke padang rumput, apalagi segerombolan serigala yang taat banget sama sang alpha. Tapi, mengapa ya, begitu banyak dari kita “orang-orang dewasa yang katanya sudah lulus mata pelajaran logika” begitu mudahnya terbawa arus?

Dari mulai memilih trend fashion aneh, menggilai investasi kripto 1,7m yang menjanjikan keuntungan “gaib”, sampai teriak-teriak mendukung tokoh yang sepak terjangnya saja kita tidak tahu persis. Seolah-olah, tombol ‘akal sehat’ mendadak error saat berhadapan dengan ‘insting kawanan’.

 

Ketika Rasionalitas Tunduk pada Tekanan Mayoritas

☺️ Pergerakan massa itu memang ajaib, yaa.

Ia (massa) punya kekuatan untuk mendefinisikan apa itu keren, apa itu benar, dan apa itu berharga, bahkan sebelum kita sempat menghitung 1+1=2. Kita ambil contoh dari dunia dagang, deh.

Dulu, Sandal Kulit Made in Indonesia itu dewa-nya alas kaki. Kuatnya minta ampun, desainnya berkelas, dan paling penting: mendukung pemberdayaan pengrajin lokal. Keren, kokoh, dan ekonomis dalam jangka panjang.

Itu namanya kalkulasi akal sehat yang waras.

Namun, semua berubah ketika tsunami barang murah dari Tiongkok masuk tanpa hambatan. Tiba-tiba, yang tadinya bagus karena awet, jadi kalah sama yang murah dan ganti-ganti tiap bulan.

Belum lagi fenomena Thrifting yang masif.

Memang, ada nilai estetika dan sustainability-nya, tapi jujur saja, kita rela berdesakan memburu barang bekas hanya karena ada embel-embel branded luar negeri, sementara produk lokal yang baru dan berkualitas jadi dipandang sebelah mata.

Di sini, nilai fungsional dan logis (kekuatan produk) tiba-tiba ambruk di hadapan nilai emosional (prestise brand).

Gelombang ‘insting kawanan’ alias Herd Mentality ini bukan cuma soal belanja, lho. Dalam politik dan sosial, kekuatannya jauh lebih menyeramkan. Lihat saja bagaimana sebuah isu, entah itu benar atau hoaks, bisa viral secepat kilat.

Hanya karena banyak yang bilang A, maka A seolah-olah menjadi kebenaran mutlak. Siapa pun yang berani bilang B, siap-siap saja dicap aneh, anti-mainstream, atau bahkan di-cancel rame-rame. Rasanya, otak kita sudah terlalu lelah untuk memproses informasi, sehingga lebih nyaman ikut saja apa kata mayoritas.

Prinsip-Nya: “Kalau ramai-ramai, pasti aman!”.

Dalam banyak kasus, rasionalitas kita ini seringkali jadi korban peer pressure dari kerumunan. Mau tahu bagaimana caranya agar “otak” kamu tetap berfungsi normal di tengah badai emosi massal ini?

Ngulik agar akal sehat kita tetap waras di zaman yang serba riuh ini.

 

5 Langkah Menjaga Akal Sehat di Tengah Badai Emosi Massa

Mengikuti keramaian itu memang menawarkan kenyamanan emosional. Rasanya aman, tidak sendirian, dan kamu tidak perlu repot-repot berpikir keras. Tapi, kenyamanan itu bisa jadi perangkap.

Nah, sebelum kamu ikut-ikutan gila, lari mengejar layangan putus yang dikira harta karun, yuk kita pasang tameng rasional dan kewarasan, yang dijamin bikin kamu tetap stay cool saat yang lain panik buying.

Ampuh ala kita-kita untuk menjaga kewarasan di tengah hiruk-pikuk tren dan tekanan sosial. Misal:

 

1. The Power of Pause: Terapkan Prinsip “Jeda Dulu, Kuy!”

Biar keren, kami katakan itu dengan Mindful Detachment.

Ketika semua orang di media sosial, misalnya, heboh tentang sebuah isu, tren, atau gimmick investasi baru, rem mendadak! Jangan langsung ikut komentar atau ikut transfer dana. Terapkan Mindful Detachment, yaitu kemampuan untuk menarik diri sejenak dari emosi dan keramaian.

Tarik napas, hitung sampai sepuluh (atau sampai kamu lupa mau reply apa), lalu tanyakan pada diri sendiri: “Apakah ini benar-benar masuk akal untukku, atau aku cuma takut ketinggalan ‘FOMO doang’?” Tindakan jeda ini akan memberikan ruang bagi otak rasional kamu untuk menyala.

 

2. The Art of Gak Ikutan: “Kita Beda Aliran, Bro!”

Yaa dapat dikatakan dengan Echo Chamber Exit.

Media sosial hari ini dirancang untuk membuat kita nyaman dengan orang-orang yang berpikiran sama. Ini namanya Echo Chamber. Kalau semua teman kamu di linimasa bilang A, kamu akan cenderung yakin bahwa A adalah satu-satunya kebenaran.

Keluar dari kamar gema itu!

Cari informasi dari sumber yang berbeda, baca opini yang berlawanan, baca Dyarinotescom. Atau, bertemanlah dengan orang yang punya pandangan hidup 180 derajat dari kamu. Mendengarkan sudut pandang yang berbeda bukan berarti kamu harus setuju, tapi ini melatih otakmu untuk melihat “gambar yang utuh”, bukan sekadar lukisan yang dipajang kerumunan.

 

3. Kepo Tapi Elegan: Verifikasi Informasi Itu Wajib!

Sebut itu bagai Fact-Checking Discipline.

Dengar isu panas di grup WhatsApp? Ada broadcast yang menjanjikan kekayaan instan? Jangan langsung telan mentah-mentah seperti meminum es cekek saat kehausan.

Biasakan diri untuk melakukan Fact-Checking Discipline. Cari sumber aslinya. Siapa yang bilang? Kapan kejadiannya? Apa buktinya? Hari gini, jadi kepo soal kebenaran itu bukan lagi iseng, tapi sudah jadi skill survival wajib!

Daripada jadi korban hoaks, mending jadi detektif amatir yang menyelamatkan akal sehat sendiri, kan? Malu dong sama kucing 😀. Mereka itu tahu mana ikan beneran, mana yang bohongan.

 

4. Kenali Garis Finish Kamu: Jangan Sampai Nyasar!

Seringkali, kita ikut-ikutan tren karena lupa apa tujuan hidup kita sendiri. Semua orang beli saham A yang super mahal, padahal kamu cuma butuh uang untuk DP rumah tiga tahun lagi. Semua orang ikut diet ekstrem B, padahal kamu cuma ingin hidup sehat dan bugar.

Terapkan Personal Goal Alignment.

Setiap kali ada ajakan masif dari kerumunan, cek dulu ke list tujuan hidup kamu. “Apakah ini akan membantuku mencapai tujuanku, atau malah cuma membuang waktu dan energiku?” Kalau jawabannya tidak, lambaikan tangan dan bilang, “Maaf, kita gak sejalur!”

 

5. Self-Talk Anti-Baper: Siapa Takut Sendirian?

Internal Locus of Control dong!

Tekanan kawanan itu seringkali bekerja karena kita takut dihakimi atau ditinggalkan. Gawatnya, ini membuat kita menggantungkan keputusan pada orang lain. Ubah mindset itu dengan membangun Internal Locus of Control. Artinya, kamu percaya bahwa hasil hidupmu ditentukan oleh tindakan dan keputusan kamu sendiri, bukan oleh anggukan kepala dari orang banyak.

Ulangi mindset ini: “Waras itu keren, walau sendirian.” Ketika kamu yakin dengan keputusan yang kamu ambil berdasarkan data dan logika (bukan sekadar emosi massa), rasa aman yang kamu dapatkan jauh lebih otentik dan tahan lama.

 

Mereka yang Berani Melawan Arus. Waras?

Berbicara tentang melawan arus, kita pasti teringat pada segelintir orang yang berani mengambil keputusan yang benar-benar berseberangan dengan konsensus. Di mata banyak orang, mereka ini mungkin dicap gila, eksentrik, atau minimal sok tahu. Padahal, mereka hanya menjalankan kalkulasi akal sehat dengan disiplin tinggi.

Ambil contoh fenomena bubble properti, misalnya. Saat semua orang berbondong-bondong meminjam uang dengan gila-gilaan untuk membeli properti, mereka yang waras justru menahan diri, melihat data, dan sadar bahwa harga sudah tidak masuk akal.

Tentu saja, saat itu mereka dihina. “Kamu kolot!” “Kamu akan ketinggalan!” “Ini kesempatan seumur hidup!” Namun, ketika gelembung itu pecah dan banyak orang kehilangan segalanya, ternyata mereka yang “kolot” itu adalah satu-satunya yang selamat dan masih bisa tersenyum.

Ini bukan soal benar atau salah, tapi soal keberanian untuk memercayai hasil analisis kamu sendiri di tengah histeria kolektif. Mereka berani memilih jalan sunyi yang didasari data, bukan jalan ramai yang digerakkan oleh emosi dan spekulasi.

Keberanian melawan arus ini sesungguhnya adalah bentuk tertinggi dari kecerdasan. Itu adalah pertarungan antara otak neokorteks (tempat logika bersemayam) melawan otak limbik (tempat emosi dan insting kawanan berkuasa).

Di dunia yang bising ini, mereka yang mampu mematikan noise keramaian dan hanya mendengar suara logika dalam dirinya adalah pahlawan sejati bagi kewarasannya itu sendiri.

 

Membangun Pulau Rasional Tapi ‘Mental (Terperosok)’ Karena Urusan Perut

Kita harus mengakui bahwa meski akal sehat sudah kita genggam erat, ada satu hal yang seringkali menjadi titik lemah utama kita: urusan perut.

Semua teori rasionalitas, semua hitung-hitungan cerdas, bisa runtuh seketika saat dihadapkan pada tekanan ekonomi. “Butuh Duit”. Kamu tahu sebuah pekerjaan itu toxic dan tidak sesuai nilai-nilai kamu, tapi kamu tetap bertahan karena gaji. Kamu tahu sebuah produk itu tidak etis, tapi kamu tetap membelinya karena diskonnya bisa menghemat pengeluaran bulanan.

Inilah ironi terbesar manusia modern: kita mampu membangun pulau rasionalitas yang kokoh di tengah samudra keramaian, namun mental kita seringkali terperosok ke dalam lumpur pragmatisme karena dorongan kebutuhan mendasar.

 

Sadar Betul Insting Kawanan Itu Bahaya?

Okey ceritanya sudah sadar neeh. Tapi, ketika kawanan itu menjanjikan kemudahan finansial instan “masuk, harga naik, TP, keluar”, naluri bertahan hidup kita seringkali memenangkan pertempuran melawan akal sehat. Itu bukan karena kita bodoh, tapi karena kita manusia yang punya banyak urusan, terkait tanggungan dan tagihan.

Maka, PR terbesar kita bukan hanya melawan Herd Mentality yang emosional, tapi juga melawan rasionalitas semu yang timbul dari tekanan perut.

Keseimbangan adalah kuncinya: bagaimana kita bisa tetap waras dan independen secara pikiran, tanpa mengorbankan stabilitas hidup. Tugas kita adalah memastikan bahwa kalkulasi akal sehat kita tidak hanya berputar pada seputar benar atau salah secara logika, tapi juga seputar nilai-nilai dan dampak jangka panjang bagi kehidupan yang kita jalani.

Sejati-Nya: Kewarasan sejati bukanlah soal seberapa pintar kamu berhitung, tapi soal seberapa berani kamu berjalan sendirian di jalan yang benar, bahkan saat keramaian menawarkan janji palsu di jalan yang salah.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Leave a Reply