Pernahkah kamu berada dalam situasi di mana kata-kata justru memperkeruh suasana? “Aku terjebak dalam perang kata-kata yang tak berujung”. Namun, kadang kala, diam menjadi jawaban yang paling bijak. Ini menyadarkan kita bahwa, ‘Bacot mu’ justru dapat mengundang konflik dan kesalahpahaman makin menjadi. Dan aku, memilih diam karena lebih baik dari menjelaskan.
Komunikasi tidak hanya terjadi melalui kata-kata, tetapi juga melalui bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan intonasi suara. Diam, dalam hal ini, menjadi bentuk komunikasi non-verbal yang sangat deep banget. Seperti pesan yang paling bermakna disampaikan tanpa harus mengucapkan satu kata.
Tapi dalam hati, tetap saja: *&@(@& 3 Loe…
Table of Contents
Toggle
Lebih Memilih Diam
Ini sering dikaitkan dengan proses refleksi diri. Ketika kamu memilih untuk tetap “Silence, Calm down, Shut up, Be quiet”, itu memberikan ruang bagi pikiran untuk tenang, fokus, dan memahami situasi dengan lebih jernih. “Mmmmm…”
Lebih menghargai keheningan di dalam keramaian, kejernihan pikiran, dan intuisi, dalam menghadapi berbagai tantangan dan persoalan. Dan sungguh berharga.
Mengapa Meneng Lebih Berharga?
Karena ini bisa mengundang penasaran. “Tutup Mulut” yang penuh makna seringkali lebih mengundang rasa ingin tahu daripada penjelasan dengan panjang lebar, hingga mulutmu berbusa.
Orang akan lebih berusaha untuk memahami, jika kita memberikan ruang bagi mereka untuk menilai dan berasumsi sendiri. Biarkan mereka Berputar dalam pikiran sendiri. “Ada apa dengan dirinya. Mengapa ia begitu?”.
Meneng (dalam bahasa jawa) bisa sangat berharga karena membantu kita menghindari miskomunikasi. Kata itu, sekali diucapkan sulit untuk ditarik kembali. Diam dapat mencegah kita mengucapkan hal-hal yang rumit, yang tidak kita maksudkan dan menghindari kesalahpahaman yang tidak perlu.
Diam sendiri tanda kedewasaan.
Kemampuan untuk mengendalikan diri dan memilih untuk tetap “Shut up” dalam situasi sulit adalah tanda kedewasaan sejati. Dan ini bisa membuka peluang baru, lho. Diam yang bijaksana dapat membuka pintu bagi dialog yang lebih produktif di esok hari.
Dan Aku Pun Terdiam
Mengapa seiring bertambahnya usia, kita cenderung lebih banyak diam? Apakah karena semakin banyak “rahasia” yang kita pikul, sehingga kita memilih untuk lebih berhati-hati dalam berbicara?
Iya juga ya, makin tua orang makin jarang ngomong. “Sariawan?” Langkah kaki makin melambat, dan begitu juga dengan kata-kata. Yang ada hanya senyum secukupnya. Mungkin saja ini bahasa baru yang kita pelajari seiring bertambahnya usia.
Kata mereka,
Sebuah tindakan yang sederhana namun sarat makna seperti “Meneng” misalnya, memiliki interpretasi yang beragam di seluruh dunia. Setiap budaya memiliki pandangan unik tentang itu.
Bisa saja itu di pengaruhi oleh sejarah, filosofi, dan nilai-nilai sosialnya. Ini berkaitan erat dengan:
1. Bentuk Hormat dan Kesopanan
Di budaya Timur, misalnya, di banyak negara Asia, diam di anggap sebagai tanda hormat, terutama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua atau berstatus lebih tinggi. “Dengerin kalo ortu lagi ngomong!”
Diam dikaitkan dengan kesabaran dan pengendalian diri.
Lain hal dengan budaya Aborigin. Beberapa suku Aborigin di Australia, diam di hargai sebagai waktu untuk mendengarkan suara alam dan roh nenek moyang. Seperti memahami dan mencoba mendengarkan dalam keheningan malam.
2. Alat Komunikasi
Jepang (Chinmoku) juga memiliki tradisi diam itu sendiri.
Budaya Jepang sangat menghargai itu (chinmoku). Meneng bukan hanya keheningan, tetapi juga bentuk komunikasi yang mendalam, di mana makna tersirat dalam gestur, ekspresi wajah, dan suasana.
Di wilayah yang jauh dari kita, yaitu suku Indian Amerika menilai, diam sebagai alat komunikasi. Beberapa suku Indian Amerika menggunakan diam sebagai bagian dari ritual dan upacara untuk menghubungkan diri dengan alam semesta.
3. Ekspresi Spiritual
Dalam berbagai ekspresi khususnya spiritualitas, diam seringkali di anggap sebagai pintu gerbang menuju kesadaran diri yang lebih dalam. Bagian integral dari meditasi dan pencapaian pencerahan. Melalui Nya, seseorang dapat mencapai kedamaian batin dan memahami hakikat diri.
Sehabis sholat, diamlah sejenak.
4. Sebagai Bentuk Protes
Ada juga diam sebagai bentuk protes. Ini sebagai satu gerakan hak sipil, tentunya. Dalam sejarah pun, “Silence” telah di gunakan sebagai bagian dari protes yang kuat. Misalnya, gerakan hak sipil di Amerika Serikat menggunakan aksi duduk diam untuk memprotes diskriminasi ras.
Meneng sebagai bentuk protes sendiri, memiliki karakter juga, seperti: tanpa kekerasan, paling menarik perhatian publik, dan memiliki pesan yang jelas. Dan pastinya ini sangatlah efektif.
Mengapa?
Tanpa kekerasan, protes diam dapat mencegah situasi menjadi lebih buruk. Ketika itu menarik simpati publik, banyak orang merasa terinspirasi oleh tekad para pengunjuk rasa yang menggunakan protes diam. Tentu saja membuat ‘mereka’ tidak nyaman, dan memiliki dampak yang tahan lama.
Itu dulu! Sekarang, gak ngaruh.
Lebih Dari Sekedar Keheningan
Ini mengajarkan kita untuk lebih bijaksana dalam memilih kata-kata, menghindari konflik yang tidak perlu, dan menghargai kedalaman makna yang tersembunyi di balik keheningan. Dan Aku lebih memilih untuk Silence.
Aku sadar bahwa semakin hari, pemahaman kita semakin tumbuh. Dan itu kita temukan dalam Silence. Melalui diam, kita dapat melatih “sabarku sejauh apa”, mendengarkan sesuatu yang lebih tulus, dan memahami perbedaan perspektif.
Dan Kata-kata itu sungguh berarti, walau sesuatu itu tidak kamu ucapkan.
Berbicaralah ketika kamu sedang marah dan pasti itu “pidato terbaik” yang akan kamu sesali seumur hidupmu. Diam itu adalah salah satu argumen yang paling sulit untuk dijawab.
Salam Dyarinotes.com.
1 Comment
sifatnya laki-laki nih lebih banyak diam dari pada menjelaskan