Palak!: Unboxing Realita ‘Ngeri-Ngeri Sedap’ di Indonesia

You are currently viewing Palak!: Unboxing Realita ‘Ngeri-Ngeri Sedap’ di Indonesia

“Dompet mana dompet?” Celetukan bernada paksaan ini mungkin terdengar familiar bagi sebagian dari kita. Sayangnya, adegan yang kerap muncul di layar kaca ini bukanlah isapan jempol belaka. Di balik ramainya jalanan dan gemerlap kota, tersembunyi sebuah realita yang pahit dan membuat miris: praktik pemalakan atau palak.

Bukan hanya sekadar meminta “uang rokok” di lampu merah, fenomena “palak” di Indonesia telah bertransformasi menjadi gurita yang mencengkeram berbagai lini kehidupan, meninggalkan rasa tidak aman dan ketidakadilan.

Istilah “palak” mungkin terdengar ringan, namun dampaknya seperti “ngeri-ngeri sedap”.

Menjelma menjadi momok yang menakuti para pedagang kaki lima yang harus menyisihkan sebagian kecil keuntungannya, para pengendara ojek online yang merasa terancam di “spot-spot” tertentu, hingga para pengusaha yang berinvestasi di negeri ini.

Ironisnya, praktik ini tidak hanya terjadi di ruang publik yang abu-abu, tetapi juga disinyalir melibatkan oknum-oknum yang seharusnya menjadi garda terdepan penegakan hukum dan penyelenggaraan negara.

 

Realita Dunia Palak Zaman Now: Lebih dari Sekadar ‘Uang Keamanan’

Ini bukan tentang uang keamanan kuy, tapi harga diri sudah di injak-injak. Katanya tinggal di Negara hukum, tapi buktinya mana? Hukum lagi asyik tidur siang?

Jika dulu pemalakan identik dengan sosok “abang-abang” bertato, tak mandi tiga hari, mabok di terminal atau pasar, kini wajahnya jauh lebih beragam dan modusnya pun semakin canggih. Di era digital ini semua berbeda. Lebih maju cara main-nya.

“Palak” bisa menjelma menjadi pungutan liar (pungli) terselubung dalam perizinan usaha, “jatah proyek” yang harus disetor kepada kelompok preman yang “backing” oknum tertentu, hingga ancaman dan intimidasi terhadap pengusaha asing yang berinvestasi di Indonesia.

“Hehe, Sudah dari dulu kali!”

Dari zaman dulu hal semacam ini memang sudah ada, tapi kitanya saja yang tidak tahu tentang hal-hal buruk yang terjadi di Negeri ini. Dan kami rasa ini benar, mereka yang seharusnya menciptakan iklim investasi yang kondusif, justru ‘terkadang’ menjadi bagian dari “invisible enemy” yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan rasa tidak nyaman.

Para pengusaha, terutama yang katanya: investor asing, seringkali dihadapkan pada “negotiation” yang tidak sehat.

Di paksa untuk “merogoh kocek” lebih dalam dari yang seharusnya untuk “mengamankan” bisnis mereka dari gangguan yang tidak jelas. Tak jarang, oknum aparat atau birokrat tertentu memanfaatkan kekuasaannya untuk “memalak” dengan dalih retribusi, perizinan yang dipersulit, atau bahkan ancaman penutupan usaha. Ini misalnya.

Situasi ini tentu saja membuat para investor berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pasti dong! Padahal investasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sepertinya selaras juga dengan pemikiran KDM, cenah! 😁

 

Jeritan Para Korban: Antara Trauma dan Ketidakberdayaan

Kisah-kisah pilu para korban pemalakan seringkali tidak muncul ke permukaan karena rasa kesal yang di pendam bukan karena takut atau ketidakberdayaan. Tapi lebih karena tak mau membesar-besarkan masalah. Tapi, jika itu terjadi pada para pedagang kecil yang hanya memiliki modal pas-pasan harus rela sebagian keuntungannya “melayang” begitu saja, bagaimana?

Pun, yang terjadi pada:

Para pengemudi transportasi daring yang berjuang mencari nafkah harus menghadapi risiko “di cegat” dan di mintai “setoran” yang tidak jelas. Sementara itu, para pengusaha besar pun tidak luput dari incaran oknum-oknum yang memanfaatkan celah kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

“Capek Mas, setiap hari harus kasih ‘jatah’. Kalau nggak, dagangan bisa diacak-acak,” keluh seorang pedagang kaki lima di pinggir jalan. “Mau lapor juga bingung, takutnya malah jadi masalah,” timpal seorang pengemudi ojek online dengan nada getir.

Ungkapan-ungkapan ini hanyalah secuil dari realita pahit yang di hadapi banyak orang di Indonesia. Mereka merasa terjebak dalam lingkaran setan pemalakan yang sulit untuk negara ini putus.

Sejati-nya: Pemalakan adalah benih ketidakpercayaan dan permusuhan dalam masyarakat. Dan, bangsa yang kuat, di bangun di atas keadilan dan kesetaraan, bukan di atas praktik pemerasan.

 

Negara Hadir atau Makin ‘Ambyar’?: Harapan di Tengah Kegelapan

Fenomena pemalakan yang merajalela tentu menjadi tamparan keras bagi citra Negeri sebagai negara hukum. Pertanyaan besar pun muncul: sampai kapan praktik “ngeri-ngeri sedap” ini akan terus berlanjut? Di mana peran negara dalam memberikan perlindungan dan rasa aman bagi seluruh warganya, termasuk para pelaku usaha yang berkontribusi pada perekonomian?

Tentu, harapan masih ada.

Beberapa langkah penegakan hukum terhadap praktik pungli dan premanisme telah di lakukan. Namun, upaya ini harus lebih masif, terstruktur, dan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pemerintah perlu hadir secara nyata, bukan hanya dengan retorika, tetapi dengan tindakan tegas dan transparan.

Aparat penegak hukum harus bertindak profesional dan tidak terlibat dalam praktik kotor ini. Masyarakat pun perlu berani “speak up” dan melaporkan segala bentuk pemalakan yang di alaminya.

Mengurai benang kusut pemalakan di Indonesia memang bukan pekerjaan mudah. Namun, dengan kesadaran kolektif, penegakan hukum yang tanpa pandang bulu, dan komitmen yang kuat dari seluruh pihak, bukan tidak mungkin kita bisa menciptakan Indonesia yang lebih aman, adil, dan kondusif bagi semua.

Jangan sampai “kena palak” terus menjadi bagian dari “plot twist” kehidupan sehari-hari di negeri ini. Sudah saatnya kita bersama-sama “unboxing” realita ini dan mencari solusi yang tuntas.

 

Masih di Palak? Bela Diri Boleh Dong!

PoV-nya: “No more drama” soal pemalakan ini! Kesabaran memang ada batasnya, dan ketika “red flag” sudah berkibar tinggi akibat ulah para “tukang palak” yang makin menjadi-jadi, membela diri tentu bukan sesuatu yang “lebay”. Dalam situasi “darah mendidih” atau terdesak, tindakan untuk melindungi diri dari ancaman fisik jelas bukan “ghosting” tanggung jawab hukum. Pecahkan kepala anjing-anjing itu, misalnya.

Ingat-nya: negara hadir untuk melindungi warganya, dan membela diri adalah hak asasi yang fundamental ketika nyawa atau harta terancam.

Namun, penting untuk diingat, “vibes” yang kita pancarkan dalam membela diri harus tetap proporsional dan sesuai dengan ancaman yang di hadapi. Jangan sampai “spill the tea” kekerasan justru berbalik menjadi bumerang.

Kita tentu tidak ingin “FYP” di berita kriminal karena main hakim sendiri yang kebablasan, dong.

Solusi terbaik tetaplah jalur hukum dan melaporkan segala bentuk premanisme, kriminalisasi, dan juga pemalakan kepada pihak berwajib. Bersatu, bersama, dan saling mendukung, serta tidak kenal takut untuk “speak up”, kita bisa memberikan cahaya yang lebih baik dalam memberantas praktik “ngeri-ngeri sedap” ini di Indonesia.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan