America First: Nego Keras Ala Pragmatis, “Short-term Profit Loss”

You are currently viewing America First: Nego Keras Ala Pragmatis, “Short-term Profit Loss”

Dunia mendadak oleng, terguncang bukan karena gempa tektonik, melainkan “plot twist” kebijakan seorang pemimpin yang bikin semua orang geleng-geleng kepala. Bukan krisis moneter klasik, tapi “Tarif Trump” yang sontak jadi trending topic dan bikin deg-degan seantero jagat. Kebijakan ini, yang mengusung bendera “America First”, bukan cuma gimmick ekonomi biasa.

Ini adalah cermin raksasa yang memperlihatkan betapa rapuhnya stabilitas dunia, yang selama ini seolah digantungkan pada satu negara adidaya. Sebuah tamparan keras yang menyadarkan kita: sekuat apa pun sebuah negara, keandalan global itu bukan tanggung jawab tunggal.

Tarif Trump ini ibarat “wake-up call” yang bikin mata dunia terbelalak. Ketika seorang pemimpin negara adidaya bisa seenaknya mengubah arah kebijakan luar negeri cuma karena kalkulasi politik domestik yang “short-term thinking”, maka legitimasi moral dan keandalan sistem internasional, termasuk di bidang ekonomi, ikut “ambyar”.

Inilah momen ketika kita harus mengakui, AS telah bertransformasi. Dari yang dulu dikenal sebagai “leader” global yang menjunjung multilateralisme, kini berubah jadi ‘negosiator keras yang pragmatis’, yang mengusung diplomasi “short-term profit loss”.

 

Politik ‘America First’ dan Lahirnya Negosiator Pragmatis Tanpa Batas

Di bawah komando Donald Trump, Amerika Serikat memang tampil beda level. Slogan “America First” bukan sekadar jargon kampanye, melainkan filosofi yang merombak total cara AS berinteraksi dengan dunia. Diplomasi multilateral yang selama ini jadi DNA mereka, tiba-tiba digantikan dengan pendekatan bilateral yang sarat tekanan ekonomi.

Bayangkan saja, dalam sekejap mata, Zzzzzeeepppp! AS cabut dari Trans-Pacific Partnership (TPP) yang sudah susah payah dirancang, menolak Paris Agreement tentang iklim yang vital bagi masa depan planet ini, bahkan tak segan mengancam perannya di NATO karena dianggap “cuma beban finansial doang”.

Pendekatan “America First” ini benar-benar mematikan semangat kolektif global yang selama ini dibangun. AS mulai berperilaku sebagai aktor transaksional, ibarat pedagang yang cuma lihat untung rugi jangka pendek. Komitmen jangka panjang terhadap tatanan dunia yang adil dan stabil, seolah terlupakan.

Mereka lebih milih keuntungan sesaat daripada investasi jangka panjang pada sistem global. Fenomena ini melahirkan apa yang bisa kita sebut sebagai negosiator pragmatis tanpa batas, yang hanya berorientasi pada kepentingan diri sendiri, tanpa peduli dampak domino pada stabilitas global.

 

Tarif Trump dan Pembelajaran Indonesia

Fenomena Tarif Trump jelas jadi “insight” berharga bagi Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan posisi geografis yang super strategis di persimpangan dua samudra dan dua benua, Indonesia punya “bargaining power” yang tak bisa diremehkan. Kita adalah demokrasi terbesar ketiga di dunia, anggota G20, dan kekuatan ekonomi utama di Asia Tenggara.

“Beras kita banyak!” Hehe…

Modal ini memberi kita potensi gede banget untuk jadi kekuatan pengimbang di tengah kontestasi global yang makin ruwet ini.

Indonesia gak perlu repot-repot jadi negara hegemonik untuk memainkan peran penting. Yang kita butuhkan adalah diplomasi yang cerdas, ekonomi yang tangguh, dan ketajaman geopolitik untuk membaca arah perubahan dunia. Kita harus lihai dalam bermain catur global, nggak cuma reaktif terhadap manuver-manuver kekuatan besar, melainkan juga proaktif dalam membangun tatanan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Ini saatnya kita tunjukkan bahwa ketidaktergantungan dengan asing itu bukan cuma slogan, tapi strategi nyata.

Lalu apa?

Dalam konteks ketidakpastian ini, misalnya, Indonesia bisa banget gaspol kerja sama kawasan lewat ASEAN, memperkuat hubungan Selatan-Selatan (Global South), serta jadi suara moderat di berbagai forum multilateral. Di dunia yang makin terpolarisasi, di mana loyalitas mudah berpindah dan keuntungan sesaat lebih di utamakan, prinsip non-blok dan kedaulatan kolektif yang kita junjung tinggi bisa jadi jembatan vital antara kekuatan besar dan negara-negara berkembang. Kita bisa jadi mediator, peredam ketegangan, dan pembangun konsensus.

Posisi Indonesia di mata dunia, dengan segala modal yang kita punya, adalah sebuah privilege. Kita punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan hanya tentang dominasi, tapi tentang kemampuan untuk berkolaborasi dan menciptakan keadilan. Ini adalah momen untuk membuktikan bahwa kita mampu berdiri tegak, mandiri, dan tidak mudah didikte oleh kepentingan asing, sambil tetap menjadi bagian integral dari solusi global.

Masa depan global setelah era Tarif Trump bukanlah kehancuran, melainkan sebuah fase “re-organizing”. Ini adalah momen historis bagi negara-negara seperti Indonesia untuk nggak cuma jadi penonton, tapi juga pemain kunci. Kita punya kesempatan untuk jadi arsitek di balik arus baru globalisasi yang lebih adil, di mana kepemimpinan nggak lagi di ukur dari kekuatan militer atau ekonomi semata, tapi dari kapasitas diplomasi, integritas kelembagaan, dan kemampuan menjembatani kepentingan yang beragam.

 

Memahami AS di Bawah Bayang-bayang Tarif Trump

“Bro, lu tahu nggak, ini semua tuh kayak drama Korea yang plot twist-nya nggak ketebak,” celetuk Bang Jampang, “Duda anak lima”, seorang pakar yang kami temui di warung kopi langganan, dengan gaya santai tapi sorot matanya tajam.

Sekedar info, bang Jampang ini, dengan mental berani, saklek, tanpa basa-basi, punya kemampuan menganalisis pasar dunia yang bikin orang-orang melongo. “AS itu sekarang kayak investor retail yang cuma mikir untung rugi harian, padahal dia fund manager global,” lanjutnya, sambil menyeruput kopi hitamnya.

Menurut Bang Jampang, apa yang terjadi dengan Amerika Serikat di era Trump itu refleksi dari pergeseran orientasi politik domestik yang brutal. “AS jadi negara yang ‘negosiator keras yang pragmatis’ karena adanya dorongan politik populis ‘America First’,” ujarnya. “Ini bukan tentang kehilangan kekuatan, tapi kehilangan arah dan konsistensi. Dua hal krusial buat mimpin sistem global yang kompleks.

Sembari Ngopi

Ibaratnya, dia punya power tapi nggak punya compass.” Ia menambahkan, perubahan ini bikin negara-negara sekutu AS jadi lebih skeptis, nggak bisa lagi sepenuhnya “trust” Washington kayak dulu.

Bang Jampang juga menyoroti gimana ketidakkonsistenan sikap AS ini membuka celah bagi kekuatan besar lain, kayak Cina dan Rusia, buat ekspansi pengaruh. “Ada semacam ‘kekosongan kepemimpinan global’ yang di manfaatkan dengan sangat baik sama Beijing dan Moskow,” jelasnya. “Mereka lihat ini sebagai kesempatan emas buat ngisi ruang yang di tinggal AS, baik secara ekonomi maupun geopolitik. Ini bisa mengubah balance of power dunia dalam jangka panjang, bro!”

Kredibilitas AS sebagai pemimpin moral dan ekonomi dunia memang mulai goyah, bukan karena mereka melemah, melainkan karena mereka mengedepankan untung rugi jangka pendek ketimbang komitmen terhadap tatanan dunia. Bang Jampang menegaskan, “Dunia udah belajar bahwa dominasi tanpa tanggung jawab dan konsistensi itu justru bisa lebih berbahaya daripada nggak adanya kepemimpinan sama sekali.

Kita nggak bisa lagi berharap pada satu hegemon baru; yang kita butuhkan itu tatanan dunia yang lebih seimbang, kolaboratif, dan berbasis keadilan. Ini peluang emas buat yang lain!”

 

Pergeseran Paradigma, Dari Pemimpin Global menjadi Negosiator

Era pasca-Trump dan fenomena Tarif Trump telah mengubah lanskap diplomasi global secara fundamental. Amerika Serikat, yang dulu kita kenal sebagai arsitek dan penjaga tatanan dunia, kini telah bergeser paradigmanya.

Dari seorang pemimpin global yang menjunjung tinggi multilateralisme dan komitmen jangka panjang, kini ia tampil sebagai negosiator keras yang pragmatis, hanya mengedepankan kalkulasi “short-term profit loss”. Ini adalah cerminan dari dinamika politik domestik yang kuat, yang sayangnya, berdampak pada stabilitas dan kepercayaan di panggung internasional.

Pada akhirnya, kepemimpinan global nggak lagi sekadar soal siapa yang paling kuat secara militer atau ekonomi, melainkan siapa yang paling bisa di percaya, konsisten, dan mampu menjawab kompleksitas zaman. Seperti kata mamang, “Kepercayaan itu kayak kertas, sekali di remas, nggak akan kembali sempurna.”

Dunia kini di tuntut untuk beradaptasi, berkolaborasi, dan membangun tatanan yang lebih adil, di mana setiap negara, termasuk Indonesia, punya peran signifikan untuk memastikan bahwa “America First” tidak berarti “Dunia akan berakhir jika kau tak ada di sisi ku”.

 

Salam Dyarinotescom.

Leave a Reply