Utang Whoosh: Aneh Gak Sih, APBN yang Kena Getah-nya?

You are currently viewing Utang Whoosh: Aneh Gak Sih, APBN yang Kena Getah-nya?

Membayangkan ‘skenario film’ di mana ada proyek besar-besaran, yang awalnya digembar-gemborkan sebagai pesta private para konglomerat, lalu tiba-tiba di tengah jalan, amplop tagihan justru mendarat di meja kasir warung sebelah? Nah, begitulah kira-kira gambaran yang dirasakan banyak orang ketika mendengar kabar terbaru soal Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh.

Dulu, kita semua kompak tepuk tangan, “Wah, keren nih, B2B murni, enggak pakai duit rakyat!” Sekarang, meskipun pemerintah bilang APBN aman, aroma-aroma “tolong-menolong” dengan uang negara kok makin kencang tercium. Ibaratnya, ini seperti janji teman yang bilang dia akan traktir makan malam, tapi begitu tagihan datang, dia pura-pura ke toilet dan dompet kita yang jadi sasaran.

Masalah utang Whoosh yang membengkak hingga puluhan triliun rupiah ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal kejujuran narasi di awal proyek. Awalnya, proyek ini diposisikan sebagai “anak mandiri” yang dibiayai tanpa jaminan pemerintah.

Eh, begitu si anak kesulitan bayar utang ke China Development Bank, tiba-tiba ibunya (negara) mulai bisik-bisik soal “solusi kreatif.” Solusi inilah yang membuat kita, sebagai rakyat yang iuran PPh dan PPN, merasa ada yang janggal.

Di satu sisi kita bangga punya Whoosh, di sisi lain kita bertanya, kenapa harus ada drama ganti baju di tengah jalan? Inilah yang akan kita kuliti bersama-sama: Apakah APBN benar-benar aman, ataukah ini hanya sulap akuntansi tingkat tinggi?

 

Klaim “Bersih” APBN: Mengingat Kembali Komitmen B2B Whoosh

Mari kita tarik rem sebentar dan mundur ke masa lalu, tepatnya saat proyek Whoosh ini masih berupa pitching ide ala konsultan cari proyek.

Komitmen awalnya sangat tegas dan bombastis: Whoosh adalah proyek B2B (Business to Business), murni urusan korporasi antara konsorsium BUMN Indonesia (melalui PT Kereta Cepat Indonesia China/KCIC) dan pihak Tiongkok. Ini adalah mantra yang terus diulang-ulang, tujuannya sederhana: meyakinkan rakyat bahwa proyek ini tidak akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

 

Narasi itu berhasil menciptakan ilusi independensi finansial.

Kita percaya, BUMN-BUMN besar Indonesia pasti mampu mengelola risiko ini sendiri. Anggapan kita, mereka punya duit segunung dan manajemen sekelas dewa yang bisa memastikan proyek ini untung. Namun, begitu biaya membengkak (dikenal sebagai cost overrun) dan skema pembiayaan memusingkan, wajah mandiri Whoosh mulai berubah pucat.

Dana yang dibutuhkan tidak sedikit, mencapai puluhan triliun, dan tiba-tiba saja, kita mulai mendengar bisikan-bisikan dari lingkaran Istana.

Pada titik inilah kejengkelan publik muncul. Bukankah B2B seharusnya berarti kerugian ditanggung korporasi, dan keuntungan pun dinikmati korporasi? Jika proyek untung, kita sebagai rakyat hanya bisa tepuk tangan. Tapi jika proyek rugi, kenapa wajah pemerintah justru ikut tegang mencari “jalan keluar”?

Ini seolah-olah BUMN kita memiliki lisensi rugi, di mana jika untung itu milik mereka, dan jika rugi, ujung-ujungnya tagihan disodorkan ke pintu belakang negara.

Komitmen B2B yang dikhianati inilah yang menjadi akar masalah. Saat Menteri Keuangan yang sekarang menjadi: Hero kita yang baru: Bapak Purbaya Yudhi Sadewa, misalnya, dengan lantang menyatakan penolakan tegasnya agar APBN tidak menyentuh utang Whoosh, respons itu patut diapresiasi.

Beliau ingin ada pemisahan jelas antara tanggung jawab swasta (korporasi) dan pemerintah. Sayangnya, Istana sendiri mengakui sedang mencari “skema” lain. Dan skema inilah yang membuat kita harus curiga, sebab dalam dunia birokrasi, kata “skema” seringkali berarti “cara halus agar uang negara tetap bisa dipakai tanpa terlihat.”

 

Ini  Kemungkinan yang Bahkan Seorang Rocky Gerung Pun Tidak Sadar

Baiklah, Paman-Paman yang budiman, mari kita lupakan sejenak kata-kata manis dari birokrat. Pemerintah sudah jelas bilang APBN “aman” karena yang akan menalangi utang adalah Danantara (Badan Pengelola Investasi). Tapi, tunggu dulu. Danantara itu adalah anak perusahaan dari BUMN, yang sumber dananya pun berasal dari dividen BUMN, yang notabene adalah bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Ini adalah permainan “Ganti Baju Finansial” paling elegan.

Untuk membongkar keanehan ini, kita akan bahas lima kemungkinan yang membuat klaim “APBN Aman” terasa menggelikan, bahkan bisa jadi membuat seorang Rocky Gerung (kalau beliau mau repot-repot memikirkan ini) mengernyitkan dahi. Apa itu?

 

1. Hidden Cost: Skema Danantara dan Ilusi Keamanan

Katanya: Danantara dibentuk untuk mengelola aset dan menalangi proyek seperti ini. Sumber utamanya? Dividen BUMN. Jika dividen BUMN (yang seharusnya masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP dan memperkuat APBN) dialihkan untuk bayar utang Whoosh, maka APBN kehilangan potensi pemasukan.

Ini bukan kerugian langsung, tapi kerugian kesempatan. Mereka tidak “mengambil” uang rakyat, tapi mereka “menghilangkan” kesempatan uang itu masuk ke kas negara. Licik, tapi legal.

 

2. Moral Hazard: Lisensi Rugi BUMN

Ketika pemerintah selalu punya “skema penyelamat” seperti Danantara, hal itu menciptakan risiko moral hazard bagi BUMN yang menggarap proyek. Mereka tidak perlu terlalu ketat dalam perhitungan awal dan risiko, karena mereka tahu, jika gagal, back-up negara selalu ada.

Prinsip business to business pun hancur lebur di tangan intervensi finansial business to government. Kelar ini deh. Jadi pecundang sejati. Dikit-dikit back to Bapak.

 

3. Tersangka Utama: Utang China dan Jaminan Terselubung

Whoosh dibiayai mayoritas oleh utang dari China Development Bank (CDB). Meskipun pemerintah menegaskan tidak ada jaminan utang, penunjukan Danantara dan keseriusan negara mencari “skema penyelamat” adalah bentuk jaminan terselubung paling nyata.

Negara tidak mau kehilangan muka, dan risiko gagal bayar yang berpotensi merusak hubungan internasional membuat negara bergerak cepat: sekali lagi, menggunakan dana yang punya getah negara di dalamnya.

 

4. The KAI Effect: Beban Utang Jangka Panjang

Konsorsium BUMN Indonesia, terutama PT KAI, adalah pemegang saham mayoritas di Whoosh. Beban utang Whoosh yang masif ini otomatis memengaruhi neraca KAI. Jika KAI kesulitan, pemerintah akhirnya harus menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) lagi di masa depan.

Dan, PMN itu jelas-jelas dari APBN. Ini hanya penundaan kerugian, bukan penghapusan kerugian.

 

5. The Missing Link: Mengapa Harus Secepat Ini?

Pertanyaannya, kenapa harus ada solusi secepat ini? Mengapa tidak fokus pada peningkatan okupansi dan profitabilitas Whoosh terlebih dahulu?

Solusi finansial yang terburu-buru mengindikasikan bahwa masalah utang ini jauh lebih mendesak dan besar daripada yang diakui secara publik. Ini seperti menambal kebocoran kapal dengan lem stiker, tanpa benar-benar mencari sumber kebocoran utamanya.

Dan untuk kesekian kalinya, Kami Rakyat:

 

Mempertanyakan Narasi Resmi Pemerintah

Sebagai rakyat yang setiap hari bangun pagi, kerja keras, dan patuh membayar pajak dari beras yang kami beli, kita berhak bertanya. Ketika narasi resmi mengatakan APBN aman, tapi solusi yang disajikan adalah “ganti baju” melalui BUMN, rasanya seperti dipermainkan.

Kita tidak menolak Whoosh “Sudah pasti ini mah”. Kita pun yaa cukup bangga-lah punya kereta cepat. Namun, kita menolak penggunaan uang rakyat (sekalipun itu uang BUMN) yang seolah-olah seenaknya dipakai untuk menalangi kerugian akibat perhitungan bisnis yang keliru di awal.

Tapi, bukankah moda transportasi ini sangat dibutuhkan masyarakat? Tentu.

Di sinilah letak dilema negara. Negara sebagai pengelola pemerintahan harusnya bertindak atas dasar kepentingan banyak orang. Jika Whoosh terancam, bukan berarti kita harus langsung pasrah menyuntikkan uang, tapi pemerintah harus bertindak sebagai “fasilitator solusi kreatif”.

Solusi itu tidak melulu tentang uang, tapi tentang strategi agar Whoosh bisa mandiri dan survive. Poin-nya adalah Jangan minta solusi ini ke Tedi 😁.. Canda Om.

Mari:

 

Kita bisa belajar dari negara lain.

Ambil contoh di Jepang, saat JR Group menghadapi utang besar pasca-privatisasi, fokus utama mereka adalah efisiensi operasional dan diversifikasi bisnis di sekitar stasiun (properti, retail).

Pemerintah Jepang tidak menalangi utang, tapi membuat regulasi yang mendukung pengembangan kawasan bisnis transit-oriented development (TOD) di sekitar stasiun. Ini membuat stasiun menjadi pusat laba, bukan hanya tempat naik turun penumpang.

Pemerintah kita juga bisa mendorong integrasi Whoosh secara radikal. Misalnya, menerapkan kebijakan pembatasan ekstrem bagi mobil pribadi yang masuk Jakarta atau Bandung di hari kerja, sekaligus memberikan diskon/subsidi pada feeder Whoosh. Ini bukan sekadar menyuruh rakyat naik Whoosh, tapi membuat rakyat tidak punya pilihan lebih baik selain naik Whoosh.

Negara bertindak tegas untuk kepentingan umum.

 

Solusi Lain?

Solusi lain yang lebih menarik adalah menerapkan skema Debt-for-Equity Swap yang keras dengan pihak Tiongkok.

Pemerintah bisa bernegosiasi agar porsi utang diubah menjadi kepemilikan saham Tiongkok yang lebih besar, namun dengan batasan kepemilikan yang ketat dan jadwal pengembalian kendali yang jelas. Tujuannya: menggeser risiko finansial dari BUMN Indonesia ke pihak Tiongkok tanpa menambah beban APBN.

Pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer. Jika Whoosh memang sangat berguna, tunjukkan komitmen dengan strategi yang cerdas.

Misalnya, menciptakan “Zona Whoosh Prioritas” di mana kawasan sekitarnya mendapatkan kemudahan izin usaha atau insentif pajak, sehingga mendorong investasi swasta masuk dan meningkatkan traffic penumpang sekaligus pendapatan non-tiket.

Singkatnya, Paman-Paman di Istana, rakyat mendukung Whoosh.

Tapi, jangan jadikan kebergunaan Whoosh sebagai tameng untuk menutupi kesalahan tata kelola finansial awal. Negara wajib memecahkan masalah tanpa mengorbankan dana publik yang sudah dijanjikan untuk kebutuhan lain.

 

Harapan Transparansi dan Tantangan Whoosh di Masa Depan

Pada akhirnya, polemik utang Whoosh ini mengajarkan kita satu hal: tidak ada makan siang gratis dalam proyek infrastruktur megah. Setiap janji B2B harus dicatat dengan tinta emas dan diawasi ketat. Kita mengapresiasi upaya pemerintah mencari “jalan keluar” non-APBN melalui Danantara, namun kita juga menuntut penjelasan detail dan transparan tentang sumber dana tersebut.

Publik berhak tahu, uang dari dividen BUMN yang digunakan itu seharusnya bisa jadi tambahan gizi anak-anak stunting atau perbaikan jalan di daerah terpencil. Jangan biarkan getah utang ini terus menguap di antara klaim-klaim heroik.

Tantangan Whoosh di masa depan bukan hanya melunasi utang triliun rupiah “Haaah kesal hitungnya”, tapi juga membuktikan bahwa proyek ini layak secara bisnis. Whoosh harus bertransformasi dari sekadar moda transportasi cepat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di koridor Jakarta-Bandung, mulai dari pengembangan TOD yang agresif hingga efisiensi operasional tanpa henti.

Jika tidak, “Ganti Baju Finansial” hari ini hanyalah awal dari drama tagihan yang lebih besar di masa depan.

Maka, untuk menutup drama finansial yang menguras energi dan menguji kepercayaan publik ini, ada baiknya kita membuka jalan pikiran yang luas. Ingatlah: Jalan yang panjang tidak akan terasa jika kita tahu ke mana tujuan kita. Namun, utang yang besar akan selalu terasa pahit jika kita tak tahu siapa yang sesungguhnya membayar.

Ooh ya, koreksi jika ada yang salah, atau koreksi juga jika kurang keras narasinya. Saya Budi Ompong😁 tapi mudah senyum. Untuk Indonesia Raya.

 

Salam Dyarinotescom.

Leave a Reply