Pernahkah kamu bertemu seseorang yang begitu ‘Pede’ dengan pendapat mereka, bahkan ketika statement tersebut bertentangan dengan fakta atau bukti yang ada? Atau mungkin kamu nih orangnya, 🤭 pernah merasa sangat yakin dengan suatu hal, tapi kemudian sadar bahwa pemahaman itu sangatlah minim, alias kulitnya doang. Haha… Jika ya, maka kamu mungkin sudah pernah mengalami yang namanya Dunning-Kruger Effect.
Dunning-Kruger Effect adalah semacam ‘gaya-gayaan’ di mana seseorang dengan sedikit atau bahkan tidak mengerti sama sekali pengetahuan “keterampilan dalam suatu bidang”, justru cenderung lebih percaya diri dan memperkirakan kemampuan mereka jauh di atas rata-rata. Dengan kata lain, orang-orang yang ngomongnya ‘gak nyambung’ dan terkesan ngawur atas sesuatu yang ia bicarakan. Mereka begitu yakin bahwa mereka sangat ahli, padahal kenyataannya jauh dari itu.
Misal-nya: Banyak orang merasa menjadi ahli dalam berbagai topik setelah membaca beberapa artikel di internet. Mereka kemudian dengan percaya diri membagikan pendapat mereka, tanpa mempertanyakan akurasi informasi yang mereka dapatkan.
Atau,
Seringkali kita temui orang-orang yang sangat yakin dengan pandangan politik mereka “alias melek politik”, bahkan ketika pandangan tersebut tidak didukung oleh fakta. Mereka sulit menerima pendapat yang berbeda dan cenderung menyerang orang yang tidak sependapat dengan mereka.
Dunning-Kruger Effect, Mengapa Bisa Terjadi?
Beberapa faktor saling terkait berkontribusi pada fenomena Dunning-Kruger Effect. Salah satunya adalah kurangnya ‘metacognitive skill’. Kemampuan untuk merenungkan dan memahami proses berpikir sendiri ini hampir dipastikan rendah. Ketika seseorang kekurangan keterampilan ini, mereka seringkali kesulitan mengenali celah dalam pengetahuan mereka.
Selain itu, ‘bias konfirmasi’ juga berperan besar. Kita cenderung mencari informasi yang sejalan dengan apa yang sudah kita yakini, mengabaikan fakta-fakta yang bertentangan. Dan menolak sesuatu berbeda dari apa yang kita percayai. Hal ini menciptakan semacam labirin nya setan, memperkuat keyakinan kita yang bisa saja itu salah.
Terakhir, ‘overconfidence’ atau kepercayaan diri yang berlebihan seringkali menjadi pemicu. Ketika seseorang terlalu yakin dengan kemampuannya, mereka cenderung meremehkan “gurita suatu masalah” dan kurang termotivasi untuk belajar lebih dalam.
Kombinasi dari ketiga faktor ini menciptakan kondisi di mana kamu merasa sangat percaya diri lagi memiliki kompeten, padahal kenyataannya masih banyak yang perlu dipelajari. Layaknya Bocah kecil yang debatin tentang jenggot lol😁.
Bagaimana Cara Agar Tidak Memalukan akibat Dunning-Kruger Effect?
Untuk menghindari jebakan Dunning-Kruger Effect dan menjaga diri dari “hal-hal yang memalukan” sesuatu yang tidak kita inginkan, kita perlu menumbuhkan sikap rendah hati dan terbuka terhadap pembelajaran. Ini berarti, berperan aktif mencari pengetahuan baru dari mana saja. Baik melalui membaca, training misalnya, atau berdiskusi.
Selain itu, jangan pernah takut untuk menerima kritik. Justru kritik adalah sebuah hadiah kecil yang berharga, karena dapat membantu kita menemukan area yang perlu diperbaiki. Berkonsultasi dengan ahli-nya juga sama pentingnya kok. Mereka memiliki pengalaman dan wawasan yang lebih banyak lagi luas, sehingga dapat memberikan kita perspektif yang berbeda.
Terakhir, mau dan berusaha mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Dengan berpikir kritis, kita dapat mengevaluasi informasi secara objektif, menghindari bias, dan membuat keputusan yang lebih baik dari sebelumnya. Terus belajar, terbuka terhadap masukan, dan berpikir kritis, secara bertahap dapat mengurangi dampak buruk dari Dunning-Kruger Effect dan menjadi seseorang yang lebih berisi, bukan malah berisik.
Reminder: Jika Dunning-Kruger Effect terus dipertahankan hingga tahun-tahun kedepan, akan memperpanjang munculnya fenomena ‘Matinya Kepakaran’.
Fenomena “Matinya Kepakaran”
Fenomena “Matinya Kepakaran” sedikit nyambung dengan Dunning-Kruger Effect.
Ini suatu kondisi di mana keahlian atau pengetahuan dari seorang ‘narasumber’ seolah-olah kehilangan nilainya. Era di mana “kapan pun atau siapa pun” bisa mengakses informasi hanya dengan sekali klik. Semua orang beranggapan bahwa “Kami memiliki kapasitas yang sama untuk memahami dan menilai suatu isu.” Akibatnya, suara para ahli seringkali tenggelam di tengah gemuruhnya opini publik.
Misal-nya: marak penyebaran informasi yang salah atau hoax di media sosial.
Platform media sosial telah menjadi “ruang publik bebas tanpa batas” di mana siapa saja bisa berbicara. Namun, di balik kemudahan ini, tersimpan bahaya penyebaran informasi yang menyesatkan. Informasi yang salah “ketika disebarluaskan secara masif”, dapat dengan cepat membentuk opini publik dan bahkan memicu konflik.
Apalagi ketika masuk dalam dunia politik.
Banyak orang yang ikut serta dalam perdebatan politik tanpa memiliki pemahaman yang baik tentang isu-isu yang sedang diperdebatkan. Mereka lebih mengandalkan emosi dan afiliasi politik daripada fakta dan data. Akibatnya, polarisasi politik semakin tajam dan sulit untuk menemukan solusi bersama.
Inilah yang namanya demokratisasi informasi.
Di satu sisi, demokratisasi informasi adalah hal yang positif karena memungkinkan setiap orang untuk mengakses pengetahuan. Namun, di sisi lain, hal ini juga membuka peluang bagi penyebaran informasi yang salah dan manipulasi opini publik.
Selain itu, algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna juga turut berperan dalam memperkuat fenomena ini. Algoritma ini cenderung menyajikan informasi yang sesuai dengan preferensi pengguna, sehingga menciptakan “gelembung filter” yang memperkuat keyakinan yang sudah ada.
Dunning-Kruger: Sindrom ‘Si Aku Paling Tahu’
Dunning-Kruger Effect bukan hanya masalah personal, tetapi juga masalah sosial. Fenomena ini bisa saja memicu perdebatan yang sia-sia, polarisasi, dan bahkan konflik. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu menciptakan tatanan yang mendorong dialog berbobot, terbuka dan saling menghormati.
PoV-nya: Setiap orang berhak untuk memiliki pendapat, tetapi kita juga harus menghargai pendapat orang lain yang berbeda dari kita.
Singkat-nya: Ini sebuah tantangan yang harus kita hadapi bersama. Dengan kesadaran diri, kerendahan hati, dan semangat untuk terus belajar, kita dapat mengatasi sindrom “si aku paling tahu” dan membangun sesuatu yang bermanfaat.
Ingat-nya: Tidak ada ruginya untuk kamu mengakui bahwa “kita tidak lebih tau.” Justru dengan mengakui ketidaktahuan itu, kita sebenarnya tau bagaimana membuka peluang untuk belajar dan bertumbuh.
Salam Dyarinotescom.