Hari ini, lagi-lagi aku melihatnya. Senyumnya lebar, tawa renyahnya di pagi setia. Semua mata tertuju padanya, seolah dia adalah definisi dari ‘perfect life’ yang biasa kita lihat di media sosial. Tapi, aku tahu, di balik facade itu, ada badai yang bergejolak. “Seperti orang mau teriak!” Kita tahu semua orang punya topeng, bukan? Topeng yang kita pakai untuk menyembunyikan ‘real stress’ yang menggerogoti dari dalam. Aku jadi teringat tentang istilah Duck Syndrome. Benar-benar menggambarkan apa yang kulihat hari ini.
Kita cukup tahu kok kentutnya bau.
Aku bertanya-tanya, kapan kita berhenti berpura-pura? Kapan kita berani menunjukkan sisi rapuh kita? Mungkin, kita terlalu takut dianggap lemah. Padahal, mengakui kelemahan adalah bentuk resilience “aku sanggup bangkit” yang sejati.
Pun, aku sendiri masih belajar.
Jujur saja, kadang kala kita larut ke dalam arus ‘kehidupan para sultan’, membandingkan diri dengan standar tinggi yang tidak realistis. Tapi, di dalam hati aku tahu kok, kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam pengakuan orang lain, melainkan dalam penerimaan diri sendiri.
Duck Syndrome “Enak ya jadi mereka”
Pernahkah kamu melihat bebek yang berenang dengan tenang di permukaan air?
Sebenarnya tidak setenang yang kita lihat. Di bawah sana, kakinya terus mengayuh dengan keras. Itulah gambaran dari Duck Syndrome. Menggambarkan bagaimana seseorang tampak tenang dan sempurna di luar, tapi di dalam hatinya berkecamuk stres dan tekanan.
“Sisip dikit … gila atau bisa juga penjara”
Mereka termasuk juga kita, membangun facade kesempurnaan, menyembunyikan perjuangan dan lelahnya kerja dari dunia luar. “Pinggang rasanya mau patah!” Duck Syndrome menjadi semakin parah di mana kita terus-menerus terpapar dengan ‘kehidupan sempurna’ orang lain.
“Enak ya jadi mereka, karir meningkat, pasangan memikat, dan aset ada dimana-mana tanpa ketahuan KPK, plus beking noda bintang lima”. Senggol dong!
Apakah Berdosa Karena Berusaha Sempurna?
Dalam era hyper-connectivity ini, kita terus-menerus dipertunjukkan citra kesempurnaan “Superman celana dalam merah pakai diluar”. STATUS di sosmed, menjadi panggung di mana setiap orang menampilkan versi terbaik dari diri mereka. Tak heran, kita pun terjebak dalam rat race tanpa akhir, berusaha mencapai standar yang seringkali tidak masuk akal dan bekal.
Apakah berusaha sempurna itu dosa?
Jawabannya tentu tidak salah kan, dan tidak pula benar.
Gini lho kak, keinginan untuk menjadi lebih baik adalah sesuatu yang manusiawi, bahkan bisa menjadi pendorong untuk mencapai nilai tertinggi dari potensi. Namun, ketika keinginan itu berubah menjadi obsesi, di situlah masalahnya kita awali.
Obsesi akan kesempurnaan seringkali berakar dari insecurities yang mendalam. Kita takut di nilai, di tolak, atau di anggap tidak cukup pantas masuk circle mereka. Kita membangun facade kesempurnaan untuk melindungi diri dari rasa sakit itu.
Namun, tanpa kita sadari, kita justru menciptakan penjara bagi diri kita sendiri. Kita hidup dalam ketakutan terus-menerus, takut topeng itu akan jatuh dan orang lain akan melihat siapa kita sebenarnya. “Ampun malunya tujuh turunan”
Di sinilah letak ‘dosa’ itu: bukan dalam keinginan untuk sempurna, tetapi dalam ketidakmampuan untuk menerima diri kita apa adanya.
Jadi bagaimana?
Jangan Tertipu ‘Filter’ Bahagia, Kenali ‘Realita’
Bagimana mengatasi Duck Syndrome agar tidak tertipu filter bahagia, dan bagaimana mengenali realitanya?
Di era social media frenzy ini, kita seringkali ‘tertangkap’ dalam ilusi gaya-gaya sultan settingan. Duck Syndrome mengintai, membuat kita terjebak dalam pusaran tekanan untuk selalu tampil serba mahal. Namun, jangan biarkan diri kita tertipu oleh ‘filter’ bahagia. Mari kita bongkar facade tersebut dan kenali realita dengan 5 langkah resilience berikut.
Poin-poin mengatasi duck syndrome, sebut saja:
1. Mindful Disconnection – Detoksifikasi dari Dunia Maya
Langkah pertama adalah melakukan ‘mindful disconnection’. Sadari bahwa media sosial hanyalah representasi sebagian kecil kehidupan seseorang, bukan keseluruhan realita. “Coba bayangkan mereka itu sedang bersih-bersih rumah, pasti bentuknya juga jelek”.
Batasi waktu penggunaan media sosial, dan fokuskan energi pada interaksi nyata dengan dunia sekitar. Authenticity itu lebih berharga daripada virtual validation.
2. Emotional Audit – Kenali dan Validasi Emosi Diri
Lakukan ‘emotional audit’ secara berkala. Jangan takut untuk mengakui bahwa kita iitu sedang merasa stres, lelah, atau tidak baik-baik saja. Validasi emosi kita sendiri, dan jangan biarkan orang lain mendikte bagaimana perasaan yang kita alami.
Self-compassion adalah kunci untuk keluar dari jeratan Duck Syndrome.
3. Boundary Setting – Tetapkan Batasan yang Sehat
Pelajari cara menetapkan ‘boundary setting’ yang sehat. “Batasan kita apa?” Jangan ragu untuk mengatakan ‘tidak’ pada hal-hal yang membebani diri. Prioritaskan kesehatan mental kamu di atas segalanya. Ingat, kita tidak bertanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi semua orang.
Self-care bukanlah egois, melainkan kebutuhan.
4. Authentic Connection – Bangun Relasi yang Mendukung
Cari dan bangun ‘authentic connection’ dengan orang-orang yang menerima kita dengan apa adanya. Kadang-kadang berbagi cerita dan perasaan dengan orang-orang terpercaya dapat meringankan beban. Ingat, kamu tidak sendirian.
Vulnerability adalah kekuatan, bukan kelemahan.
5. Growth Mindset – Ubah Perspektif, Fokus pada Proses
Adopsi ‘growth mindset’. Alih-alih fokus pada hasil akhir yang sempurna, hargai setiap proses dan pembelajaran yang kamu alami. Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
Ingat, resilience kita bangun dari kemampuan untuk bangkit kembali setelah “ku terjatuh berkali-kali”
Silent Killer’ di Era Media Sosial
Di tahun 2025 yang serba terhubung ini, ‘Duck Syndrome’ menjelma menjadi ‘silent killer’ yang mengintai di algoritma balik layar sosial media. Bukan hanya tekanan dari media sosial yang menampilkan kehidupan palsu, tetapi juga lingkungan sekitar yang mungkin tidak banyak membantu.
Lingkaran pertemanan yang toxic, tuntutan pekerjaan yang tak berkesudahan tapi minim penghasilan, atau bahkan ekspektasi keluarga yang tinggi karena pergi pagi pakai dasi. Semuanya bisa menjadi pemicu.
Di bulan Ramadan yang penuh berkah ini, mari kita jadikan momen untuk introspeksi tentang “Ada apa sih ini”. Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Kenali batasan diri, prioritaskan kesehatan mental, dan jangan biarkan ‘Duck Syndrome’ merenggut kebahagiaan dan nafas Ramadan.
Salam Dyarinotescom.