Ada banyak kebiasaan yang seringkali mencuat menjelang satu peristiwa, Pemilu misalnya. Semua kebiasaan ini menjadi tidak lazim, jika ‘seorang’ tersebut nyata-nyata adalah personal yang berbeda dari biasanya. Lantas detik ini berubah. Aneh. Yaa, aneh memang. Satu kebiasaan yang membuat ia menjadi “Agak lain”.
Menjelang pemilu, berbagai fenomena menarik dan unik muncul di tengah masyarakat Indonesia. Kebiasaan-kebiasaan ini mencerminkan antusiasme dan partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi, meskipun beberapa di antaranya terkesan nyeleneh.
Kebiasaan Yang Seringkali Mencuat
Kita orang Indonesia memiliki beberapa kebiasaan berbeda yang seringkali mencuat menjelang Pemilu. Mengapa bisa terjadi? Apakah ini bukti bahwa acara ini hanya “kutipan drama” atau “kebenaran yang dibuka paksa” bahwa kita ini suka dijanjikan dan mudah terbius. Kebiasaan yang seringkali mencuat kala Pemilu, misalnya:
1. Penggunaan Identitas Minoritas
Sebagian masyarakat Indonesia sering merasa bahwa identitas mereka sebagai “kelompok minoritas” di manfaatkan oleh para calon presiden. Isu-isu yang sensitif sering digunakan sebagai alat politik identitas untuk menjatuhkan kandidat lain. Meskipun banyak orang berani menyuarakan aspirasi mereka melalui media sosial, mereka masih sering di pandang sebagai “pulsa” oleh para politisi.
Mereka di janjikan “akan ini dan itu”. Akan aman tinggal di Negara ini, usahanya akan dibantu, dan seterusnya. Kebenarannya, Negara ini jelas menjamin keamanan dan kenyamanan penduduknya. Tanpa harus di iming-imingkan “Semua akan indah pada waktunya”.
2. Suara Yang Harus Didengar
Masa pemilu semua orang terlihat paham politik. “Orang ini bagus” ucapnya. Saling bertanding argumen di warung kopi, tapi lupa janji menjemput anak pulang sekolah. Membela orang yang hanya di kenal dari gambar di baliho dan videonyanya saja.
Banyak orang berharap agar suara mereka di dengar dan isu-isu yang mereka perjuangkan menjadi prioritas para calon pemimpin negara. Mereka “menyangka” bahwa pada akhirnya, mereka di jadikan produktif di negara ini dan berhak untuk didengar. Ingat! “Didengar kala Pemilu saja”. Pada gilirannya suara ini menjadi pahit ditahun berikutnya.
3. Partai Politik Terlihat Batangnya
Banner dan baleho mulai di pasang dipinggiran jalan, mengotori indahnya kota dan kampung halaman. Partai politik mulai terlihat batang hidungnya. Walau awalnya sembunyi karena takut rumahnya di minta sumbangan.
Partai politik cenderung memandang suara pemilih usia produktif sebagai sesuatu yang harus di raih, dan bukan sebagai kelompok yang memiliki kepentingan. Menjadi perhatian karena mereka akan menjadi generasi tenaga kerja utama di masa depan. Masa yang membutuhkan robot berdaging. Menjadi tenaga kerja para pemilik modal.
4. Hoax dan Disinformasi
Walau sudah tidak di pedulikan masyarakat lagi, hoax dan disinformasi melalui media sosial dan platform online lainnya meningkat drastis. Menjelang pemilu semua aktif menjadi wartawan samaran. Hal yang membingungkan dan menyesatkan, memicu perselisihan dan perpecahan. Siapa yang lemah akan termakan kebohongan. Siapa yang bodoh akan terbuang. Dan yang lelet akan di tinggal.
5. Kampanye Unik
Para kandidat dan tim kampanyenya sering kali menggunakan cara-cara unik dan kreatif untuk menarik perhatian dari suara-suara pemilih. Hal ini dapat berupa kampanye melalui musik, tari, dan budaya tradisional, atau bahkan menggunakan media sosial dan influencer untuk menjangkau pemilih muda.
Padahal maaf kata “memangnya para influencer itu perduli dengan kita”. Bukanya ada amplop dibawah meja. Mereka mendukung tidak dengan Cuma-Cuma bro. Walu begitu-begitu, mereka paling tidak bersikap tegas menunjukkan “Warnamu apa?”. Itu saja.
Menjelang Pemilu
Ketika memasuki masa Pemilu, kita semua berharap agar pemimpin yang terpilih nantinya, dapat memperhatikan aspirasi dari berbagai kalangan dan mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk kemajuan tanah ait beta.
Ada satu kisah tentang Nenek yang bernama Sarah Kamunanti, yang berubah ketika pemilu akan datang menghampiri.
Ketika langit pagi di hiasi hujan rintik-rintik, menandakan di mulainya hari yang baru. Di jalanan, hiruk pikuk kampanye mulai terasa. Spanduk dan bendera partai politik berjejer semerawut, menghiasi setiap sudut kota. Suara pengeras suara menggema, mengantarkan orasi para calon pemimpin.
Namun, di tengah gemuruh kampanye ini, ada sebuah rumah yang terasa berbeda. Di dalam rumah itu, seorang wanita tua bernama: Nenek Sarah Kamunanti, duduk termenung di teras. Matanya tertuju pada surat suara yang tergeletak di pangkuannya.
Keraguan
Wajah Nenek Sarah memancarkan keraguan. Seumur hidupnya, ia selalu mengikuti pemilu dengan penuh semangat. Ia selalu datang ke tempat pemungutan suara, memilih pemimpin yang ia anggap terbaik.
Namun, kali ini berbeda. Nenek Sarah merasa ragu dengan semua janji yang di lontarkan para calon pemimpin. Mereka saling menghina dan menjelek-jelekan lawan tandingnya. Ia merasa semua janji itu terdengar sama, seperti obrolan kosong yang di ulang tanpa satu makna.
Nenek Sarah teringat masa lalunya, ketika pemilu masih menjadi momen penuh harapan. Namun, kini, Nenek Sarah melihat pemilu telah menjadi ajang pertarungan kepentingan. Politik uang dan politisasi agama merajalela, mencederai nilai demokrasi yang seharusnya di junjung tinggi.
Nenek Sarah menghela nafas panjang. Ia masih bimbang dengan pilihannya. Ia ingin memilih pemimpin yang membawa perubahan, tetapi ia tidak tahu siapa yang dapat di percaya.
Renungan Panjang
Di tengah kebisingan kampanye, Nenek Sarah memilih untuk merenung. Ia mencari jawaban di dalam hatinya, mencari pemimpin yang bukan hanya pandai berbicara, tetapi juga memiliki hati yang tulus untuk membangun bangsa.
Saatnya tiba. Di hari pemungutan suara, Nenek Sarah melangkah dengan mantap menuju TPS. Ia tidak lagi ragu. Ia telah menemukan jawabannya. Ia memilih pemimpin bukan karena janji-janji, tetapi karena keyakinannya bahwa pemimpin itu dapat membawa perubahan yang nyata.
Salam Dyarinotescom.