Kita buka dengan pie permasalahan di garis start. Gini cerita-nya: Ada sebuah toko yang bilang, “Saya rugi besar tahun ini, habis uangnya!” Tapi, saat kamu intip-intip ke belakang, pegawainya malah sedang pesta lobster dan naik mobil Eropa terbaru. Woy! Jika saya mengalami hal tersebut, tak gampar-in bolak balik. Mau lokal atau asing sama saja. Anjeeenggg!
Kedengarannya seperti komedi satir yang konyol, tapi sayangnya, ini adalah vibe yang kerap kita rasakan saat mendengar kabar dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kita, misalnya.
Mereka adalah raksasa ekonomi negara, lho, tapi lah kok laporan keuangannya seringkali bikin kita geleng-geleng kepala, seolah-olah mengelola BUMN itu lebih rumit daripada merakit lemari IKEA tanpa juknis. Padahal, urusan rugi-laba ini bukan drama sinetron, ini uang rakyat!
Uniknya, raksasa-raksasa ini seolah punya imunitas khusus.
Kalau perusahaan swasta bonafit rugi parah dua tahun berturut-turut, dijamin direksinya langsung ‘diganti ban’ dalam hitungan hari. Tapi di BUMN? Prosesnya bisa selemot siput di musim kemarau, dan anehnya, para pimpinan yang sudah jelas-jelas gagal atau terlibat masalah, bukannya dipecat, malah seringkali dimutasi ke posisi “basah” lainnya.
Seolah-olah, gagal adalah tiket untuk mendapat “kursi tunggu” yang lebih nyaman. Fakta bahwa kegagalan bisa terkesan dinormalisasi inilah yang membuat kita bertanya: seberapa serius kita ingin BUMN ini sehat?
Ini yang secara pribadi harus kita tanya kepada Hokage kita saat ini.
Menggandeng Lokal-an, Mana Hasilnya?
Jujur saja, melihat kondisi beberapa BUMN saat ini sungguh memuakkan.
Mereka secara konsisten berbicara tentang pentingnya transformasi digital, efisiensi, dan mengoptimalkan aset, tapi yang kita lihat di lapangan justru skandal yang berulang, proyek mangkrak, dan tentu saja: tumpukan kerugian yang fantastis!
Paling menjijikkan adalah melihat ironi ini: mereka mengumumkan kerugian triliunan rupiah, tapi di sisi lain, berita tentang bonus tahunan (tantiem) yang super besar bagi jajaran direksi dan komisaris tetap mengalir deras.
Gaji mereka sudah di level jetset, tapi kontribusi nyata dalam memangkas kerugian dan meningkatkan layanan publik, bisa kita katakan nyaris kosong. Kita sudah terlalu lama disuguhi narasi heroik tentang “Putra-Putri Terbaik Bangsa” yang diamanahkan memimpin BUMN.
Local Heroes nih Bos!
Eits…
Alih-alih menjadi Local Heroes yang membawa perubahan, banyak dari mereka justru terlihat sibuk mengurus hal-hal di luar “kompetensi inti perusahaan”. Ada yang sibuk dengan urusan politik, ada yang terlihat ngotot berburu proyek yang sebenarnya bukan prioritas, dan yang paling parah, ada yang menjadikan BUMN sebagai kasir pribadi atau tempat menampung teman-teman sejawatnya.
Ujung-ujungnya, yang dikorbankan adalah kita, sebagai konsumen layanan dan pemilik negara. “Enak yaa jadi rakyat: marah marah melulu! 😎” Tapi sering kena Tipu😂 omongan manis mereka. Seringkali, masalah utama bukan sekadar korupsi, tapi inefisiensi kronis.
Coba kita lihat dari kacamata yang agak pinter sedikit saja, misalnya: jika kamu memimpin sebuah perusahaan yang asetnya sangat besar dan diberikan privilege monopoli atau semi-monopoli, bagaimana mungkin kamu bisa rugi?
Ini hanya bisa terjadi kalau di dalamnya ada manajemen yang jeblok (parah), pengambilan keputusan yang didasari kepentingan pribadi, atau lingkaran setan nepotisme yang mengebiri segala bentuk meritokrasi.
Keadaan ini lantas memaksa kita untuk berpikir keras: jika solusi lokal sudah berulang kali gagal, haruskah kita mencari bala bantuan dari luar? Inilah mengapa pertanyaan “Haruskah BUMN Diisi Profesional Asing?” bukan lagi sekadar pertanyaan bocah kosong yang dungu.
Ini adalah pertanyaan putus asa, yang muncul karena kita sudah lelah melihat “pemain lokal” gagal membawa pulang piala. Pertanyaan-nya seperti ini: Kelebihan apa sih yang dimiliki profesional asing, yang seolah-olah tidak bisa dimiliki oleh para pemimpin BUMN lokal kita saat ini?
Kelebihan Yang Lokal Tidak Punya. Apa Itu?
Mungkin kamu bertanya-tanya, apa istimewanya para profesional dari luar negeri ini? Bukannya mereka juga sama-sama manusia? Tentu saja. Tapi, ada beberapa keunggulan fundamental “sebuah paket upgrade yang seringkali dibawa oleh para profesional asing dari korporasi kelas dunia”, yang sayangnya, belum mengakar kuat dalam budaya kepemimpinan BUMN di Indonesia.
Kita tidak sedang bicara soal mereka lebih pintar. Tidak sama sekali! Tapi, tentang mindset dan kebiasaan yang sudah teruji di medan perang bisnis global. Dan, kita harus mengakui, terkadang obat yang paling pahit justru yang paling manjur untuk menyembuhkan penyakit kronis.
Jadi, inilah beberapa jurus andalan yang mereka punya, dan boleh jadi membuat para direksi BUMN kita tertawa geli, atau sebaliknya, cenat-cenut. Apa itu?
1. Zero Tolerance (Anti-Kompromi dengan Korupsi)
Profesional asing yang datang dari perusahaan blue chip biasanya membawa kultur “Zero Tolerance” terhadap segala bentuk penyelewengan.
Di negara maju, satu kasus fraud kecil saja bisa menghancurkan karier seumur hidup dan reputasi perusahaan. Mereka tidak akan mau berurusan dengan “uang kaget” atau proyek “titipan” karena risikonya jauh lebih besar daripada keuntungannya.
Mereka terbiasa dengan sistem yang rigid dan audit yang tanpa ampun. Jadi, jangan harap bisa mengajaknya “ngopi-ngopi sambil atur proyek”, sebab sistem di kepala mereka sudah terprogram untuk bersih.
2. Meritokrasi Murni (Bukan Papan Nama)
Inilah yang paling langka di BUMN: Meritokrasi Murni.
Profesional asing terbiasa dinilai hanya berdasarkan Key Performance Indicators (KPI) yang terukur, bukan berdasarkan kedekatan politik, hubungan alumni, atau jabatan ayah mereka. Mereka datang, mereka bekerja, mereka menghasilkan. Jika tidak, ya angkat kaki.
Mereka tidak punya beban moral untuk mengakomodasi “tim sukses” atau “keluarga jauh”. Jadi, tidak ada lagi cerita “anak emas” yang dapat jabatan strategis padahal kerjanya jeblok.
3. Budgeting ala ‘Do or Die’
Di dunia korporat global, anggaran adalah senjata yang harus digunakan seefisien mungkin.
Para pemimpin asing terbiasa dengan prinsip “Do or Die” dalam budgeting. Mereka akan memangkas biaya-biaya operasional yang tidak perlu sampai ke akar-akarnya, termasuk ngotot memotong biaya seremonial yang menghabiskan banyak dana.
Mereka tidak akan menganggarkan renovasi kantor mewah hanya karena “biar terlihat keren,” sebab fokus mereka adalah bottom line dan return on investment.
4. Customer Centricity (Pelanggan adalah Raja, Bukan Negara)
Banyak pimpinan BUMN lokal yang masih merasa perusahaan adalah “milik negara” sehingga kualitas layanan menjadi nomor sekian. Profesional asing, terutama dari sektor swasta yang kompetitif, membawa mentalitas Customer Centricity.
Bagi mereka, pelanggan adalah darah perusahaan.
Keterlambatan layanan, produk yang cacat, atau respons yang lambat akan dianggap sebagai dosa besar. Mereka akan berfokus pada user experience yang prima, bukan sekadar memenuhi Standard Operating Procedure yang usang.
5. Transparansi dan Open Book Management
Mereka terbiasa dengan standar transparansi global.
Segala keputusan besar, termasuk laporan keuangan, harus terbuka dan mudah diakses oleh publik (pemegang saham). Konsep Open Book Management membuat mereka kesulitan menyembunyikan “kerugian tersembunyi” atau “proyek fiktif”.
Dengan kata lain, mereka tidak punya banyak ruang gerak untuk bermain petak umpet dengan data perusahaan.
6. Visi Jangka Panjang (Beyond Lima Tahun)
Pimpinan BUMN lokal seringkali rentan pada visi jangka pendek karena masa jabatan mereka seringkali terkait dengan siklus politik lima tahunan. Sebaliknya, profesional asing yang digaji mahal seringkali dituntut untuk membuat Visi Jangka Panjang (10-20 tahun) yang berkelanjutan, terlepas dari siapa menteri yang berkuasa.
Mereka fokus pada legacy dan keberlanjutan perusahaan, bukan pada proyek-proyek yang hanya akan “terlihat bagus” di akhir masa jabatan.
7. Independent Stakeholder Management
Mereka punya Independensi yang lebih besar dalam mengelola stakeholder. Mereka tidak punya utang budi politik dan tidak peduli dengan siapa yang menjadi “orang kuat” di lingkaran kekuasaan.
Ini memungkinkan mereka membuat keputusan bisnis yang murni logis dan rasional, tanpa harus terbebani oleh tekanan dari partai, endorsement pejabat, atau kepentingan kelompok tertentu.
Local Heroes Lemah. Kita Harus Bagaimana?
Lemah yaa lemah saja!
Hokage harus melihat dan bertindak cepat atas kondisi ini. JIka tidak, mau jadi apa nih Negara.
Mengganti semua direksi BUMN dengan profesional asing hanyalah solusi tambal sulam yang mahal. Mengapa? Karena penyakitnya bukan pada wajah atau paspor pimpinannya, tapi pada lingkungan bisnis yang meracuninya.
Apa yang sering tidak kita sadari adalah bahwa keberanian untuk berkata ‘TIDAK’ adalah komoditas yang paling mahal di BUMN. Seorang pemimpin lokal, sesukses apapun track record-nya di swasta, seringkali harus berhadapan dengan tembok tebal intervensi, baik dari pemilik (Kementerian BUMN) maupun dari pihak lain yang punya kepentingan.
Ketika seorang direksi lokal menolak proyek titipan atau menolak mengakomodasi “orang kuat”, risiko yang dia hadapi bukan hanya pemecatan, tapi mungkin juga isolasi atau bahkan ancaman hukum.
Ketakutan ini secara perlahan menggerus integritas dan mengubah Local Hero menjadi yes-man yang patuh.
Kita harus mulai menyadari, meritokrasi di BUMN saat ini adalah fatamorgana.
Seringkali, proses seleksi yang dilakukan seolah-olah transparan, padahal di belakang layar, nama-nama yang lolos sudah “dikunci” jauh hari. Kita harus ngotot menuntut agar Dewan Komisaris, yang seharusnya menjadi mata dan telinga negara, diisi oleh figur-figur yang benar-benar independen dan anti-politik.
Jangan sampai Dewan Komisaris hanya menjadi “tempat parkir” bagi pensiunan pejabat atau politikus yang ingin nongkrong sambil mendapat gaji besar. Sampah itu mah.
Solusi jangka panjang kita seharusnya fokus pada “Imunitas Institusi”. Kita perlu membuat BUMN punya perisai yang kebal terhadap intervensi politik dan korupsi. Ini bisa dilakukan dengan memperkuat KPK dan Kejaksaan agar mereka tidak terintimidasi dalam mengusut kasus BUMN, serta membuat aturan yang menjamin bahwa kerugian BUMN adalah kerugian negara yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana.
Jika kita bisa menciptakan lingkungan yang berbahaya bagi para koruptor dan aman bagi para profesional berintegritas, tidak peduli dari mana asalnya, maka kita akan berhasil.
Gagal yaa Gagal! Cari Bala?
Wacana untuk mengisi BUMN dengan profesional asing harus dipandang sebagai alarm darurat, bukan solusi permanen. Itu adalah tamparan keras bagi kita, yang telah gagal mencetak dan melindungi talenta-talenta lokal yang berintegritas. Jika profesional asing kita undang hanya untuk menutupi lubang yang ditinggalkan oleh budaya kolusi dan nepotisme lokal, maka hasilnya hanya akan menjadi kegagalan yang lebih mahal.
Pelajaran paling berharga dari seluruh drama BUMN ini adalah: masalah utama BUMN bukan pada ketiadaan orang pintar, tapi pada keroposnya integritas dan amburadulnya tata kelola.
Indonesia punya banyak profesional kelas dunia, yang bekerja gemilang di Silicon Valley. Namun, mereka enggan pulang dan memimpin BUMN karena tahu, begitu masuk, mereka harus berhadapan dengan hantu birokrasi dan intervensi politik yang mematikan.
Kita harus berani mengatakan Gagal yaa Gagal!. Kita tidak perlu mencari “bala” dari luar negeri.
Yang kita butuhkan adalah komitmen total untuk membersihkan rumah sendiri, membangun sistem yang adil, dan menempatkan orang terbaik di tempat yang seharusnya, tanpa memandang latar belakang.
PoV-nya: Integritas adalah melakukan hal yang benar, bahkan ketika tidak ada yang melihat. Sesuatu yang harus ditanamkan, jauh sebelum kita bicara soal paspor dan kompetensi.
Saya Tania LBH. Say Hallo to (Havard Labs)
Salam Dyarinotescom.